Sunday, November 15, 2020

Kembalinya Pamor Sang Pangeran

Magelang, 28 Maret 1830. Bertepatan dengan Lebaran hari kedua. Namun suasana di rumah residen Kedu terlhat penuh ketegangan. Hari itu, Pangeran Diponegoro ditangkap tentara Hindia Belanda, menandai berhentinya Perang Jawa yang telah berlangsung selama 5 tahun. Terlihat Hendrik Merkus Baron De Kock, Panglima Besar Hindia Belanda, tersenyum penuh muslihat. Sebaliknya, ekspresi Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya memancarkan kemarahan. 

Poster Pameran di Dinding Gedung Arca
Peristiwa ini merupakan salah satu episode yang diceritakan dalam sesi dongeng yang mengawali kunjungan saya di Pameran “Pamor Sang Pangeran” pada tanggal 13 November 2020 yang lalu. Pameran yang dilaksanakan antara tanggal 31 Oktober sampai dengan 26 November 2020 di Museum Nasional Indonesia ini sangat sayang untuk dilewatkan. Semula pandemik Covid membuat saya ragu-ragu untuk hadir. Namun setelah melihat aturan bahwa ada pembatasan jam kunjungan, pembatasan jumlah pengunjung dalam setiap sesi, serta calon pengunjung pameran harus mendaftar terlebih dahulu, akhirnya saya memutuskan untuk hadir.

Yang membuat pameran ini menarik adalah sosok Pangeran Diponegoro ditampilkan dalam media yang kekinian. Dalam setiap sesi kunjungan, pengunjung akan diajak mendengarkan dongeng kisah Pangeran Diponegoro. Dongeng tidak sekadar disampaikan secara lisan, namun menggunakan teknologi video mapping yang ditembakkan pada layar yang dibentuk menggunakan buku lipat. Karakter sang pangeran juga ditampilkan dengan gaya manga Jepang yang sangat kekinian.

Pendongeng Menceritakan Kisah Pangeran Diponegoro
Setelah dongeng selesai, pengunjung pameran dipersilakan melihat koleksi pusaka Pangeran Diponegoro. Sehari-hari, beberapa pusaka tersebut disimpan di museum, dan pengunjung tidak diperkenankan mengambil gambar. Namun hari ini, pusaka-pusaka tersebut dipamerkan kepada publik. Pusaka-pusaka ditampilkan dalam kotak kaca, yang dikelilingi racikan daun pandan dan bunga melati, sehingga menyebarkan aroma yang wangi. Suasana mistis dalam ruang pameran yang remang-remang ini ditambah dengan alunan Kidung Sunan Kalijaga yang menceritakan tentang ketabahan dalam menghadapi cobaan dan bagaimana menghalau segala hal negatif. Hal ini membuat saya mencoba membayangkan kembali seperti apa perasaan Sang Pangeran ketika mempertahankan haknya di Perang Jawa.


Kanjeng Kiai Rondhan

Setiap pusaka memiliki kisahnya masing-masing. Seperti tombak Kanjeng Kiai Rondhan yang dipercaya memberikan perlindungan dan peringatan (wangsit). Tombak ini tertinggal saat penyergapan tentara Belanda di pegunungan Gowong, tahun 1829. Setelah dipersembahkan kepada Raja Willem I, Kanjeng Kiai Rondhan disimpan di Museum Veteran Tentara Belanda di Bronbeek, Arnhem. Tahun 1977, tombak Kiai Rondhan dikembalikan kepada pemerintah Indonesia. 

Pelana Kanjeng Kiai Gentayu

Saat tinggal di Puri Tegalrejo, Pangeran Diponegoro memiliki banyak kuda. Di antaranya adalah Kanjeng Kiai Gentayu, kuda kesayangan Diponegoro, yang sering disebut sebagai pusaka yang hidup (living legacy). Kiai Gentayu digambarkan sebagai kuda berwarna hitam yang tinggi besar, dengan kaki berwarna putih. Pameran ini “menghidupkan” kembali Kanjeng Kiai Gentayu dalam bentuk hologram, agar kita bisa membayangkan seperti apa bentuk fisiknya di masa lalu. Pelana Kiai Gentayu termasuk dalam pusaka yang tertinggal saat penyergapan tentara Belanda di pegunungan Gowong, tahun 1829. Bersama tombak Kanjeng Kiai Rondhan, pelana Kiai Gentayu dipersembahkan kepada Raja Willem I, dan baru dikembalikan kepada pemerintah Indonesia pada tahun 1977.

Babad Diponegoro

Koleksi yang tak kalah istimewa adalah kitab Babad Diponegoro, yang merupakan otobiografi sang pangeran yang ditulis saat pengasingan di Manado. Kitab ini ditulis dengan aksara Arab pegon berbahasa Jawa, terdiri dari 1151 halaman. Syair dalam Babad Diponegoro berawal dari zaman Majapahit, masa Mataram Islam, hingga menceritakan Perang Jawa secara rinci dari sudut pandang Pangeran Diponegoro. Pada 21 Juni 2013, Babad Diponegoro telah ditetapkan sebagai Memory of The World (warisan dokumenter dunia) oleh UNESCO.

Namun primadona dari pameran ini adalah keris Kanjeng Kiai Nogo Siluman. Pusaka ini sangat istimewa, karena memiliki kisah yang sangat berliku. Kiai Nogo Siluman diserahkan Diponegoro pada awal tahun 1830 kepada Kolonel Jan-Baptist Cleerens, perwakilan tentara Hindia Belanda, sebagai tanda kepercayaan Diponegoro yang disertai janji jika perundingan tidak memberikan hasil sesuai keinginan Diponegoro, maka Diponegoro dan pasukannya diperkenankan kembali ke pegunungan Bagelen tanpa cedera. Namun ternyata Cleerens ingkar janji, dan pada 28 Maret 1830 Diponegoro ditangkap.

Keris Kiai Nogo Siluman kemudian dipersembahkan kepada Raja Belanda Willem I pada tahun 1831 sebagai rampasan perang, dan kemudian disimpan di koleksi khusus Kabinet Kerajaan Belanda. Tahun 1883, koleksi khusus ini dibubarkan, dan Keris Kiai Nogo Siluman diserahkan kepada Museum Volkenkunde di Leiden. Setelah itu, keris ini sempat dinyatakan hilang selama 150 tahun. Namun setelah melalui pencarian yang cukup lama dan berliku sejak tahun 1983, akhirnya pada 3 Maret 2020 Kanjeng Kiai Naga Siluman dikembalikan Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia melalui Menteri Kebudayaan Belanda Ingrid van Engelshoven, dan diserahkan kepada Duta Besar Indonesia untuk Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja di Den Haag.

Keris Kanjeng Kiai Nogo Siluman
Dan hari ini, saya berdiri di depan keris tersebut. Keris dan sarungnya diletakkan di dalam sebuah kotak kaca, di ruangan yang terpisah dari pusaka yang lain. Keris Kiai Nogo Siluman terbuat dari besi berwarna hitam, dan memiliki sebelas luk. Gandik atau pangkal keris berbentuk kepala naga berwarna emas, dan terdapat badan naga memanjang mengikuti bilah keris. Paduan warna emas dan hitam disertai tatahan yang sangat detail membuat keris ini terlihat sangat gagah. Ditambah sarung keris yang bergaya branggah, yang walaupun sederhana tanpa banyak hiasan, namun secara keseluruhan semakin menonjolkan kemegahan keris tersebut.

Rasanya berat untuk mengakhiri kunjungan di pameran kali ini, selain mengingat bahwa ada batas waktu kunjungan maksimal 1 jam di setiap sesi. Sambil menatap keris Kiai Nogo Siluman sekali lagi sebelum meninggalkan ruang pameran, saya membayangkan mungkin masih banyak pusaka Pangeran Diponegoro – atau pusaka dari pahlawan-pahlawan kita yang lain -- yang belum kita ketahui dan kita temukan. Mungkin hanya waktu yang bisa menjawab. Adalah tugas kita sebagai penerus bangsa untuk bisa menjaga dan merawat pusaka-pusaka ini, untuk mempertebal rasa nasionalisme kita.

Tuesday, September 29, 2020

Misteri Sang Arjuna di Dataran Tinggi Dieng

Hari ini, 29 September 2020. Masih segar dalam ingatan saya, tepat 2 tahun yang lalu saya dan beberapa teman menikmati cuaca cerah di Dataran Tinggi Dieng. Sore itu kami baru saja turun dari mobil untuk meluruskan kaki, setelah perjalanan dari Kawah Sikidang. Di depan mobil, terlihat bangunan bertuliskan Pendopo Soeharto-Whitlam. Walau penasaran mengenai informasi terkait bangunan bersejarah tersebut, namun saya tak punya waktu untuk berlama-lama di sini. Kaki saya langsung mengikuti rombongan, menuju jalan setapak yang mengarah pada Kompleks Candi Arjuna.

Sambil melangkah cepat, saya mencoba menggali apa yang pernah saya baca tentang candi-candi di Dieng. Ternyata tidak banyak, selain saya diingatkan kembali tentang asal nama Dieng. Konon “Dieng” berasal dari kata dihyang, yang bermakna tempat para leluhur atau dewa. Dalam kepercayaan Hindu Kuno, dewa bertempat tinggal di tempat yang tinggi, yang melambangkan puncak Mahameru. Bisa jadi di masa lalu dataran tinggi ini diberi nama “Dieng”, karena dianggap sebagai tempat sakral yang mempertemukan antara manusia dan hyang atau dewa. Untuk itulah didirikan candi-candi yang menjadi tempat pemujaan kepada dewa.

Situs Candi Arjuna (foto koleksi pribadi)

Setibanya kami di Kompleks Candi Arjuna, baru saya bisa melihat secara jelas sosok salah satu cagar budaya kebanggaan Dieng. Bentuk candi di tempat ini sangat mirip dengan candi-candi di Gedong Songo. Dari sinilah para ahli menyimpulkan bahwa Kompleks Candi Arjuna didirikan pada masa yang sama dengan candi Gedong Songo, di antara abad ke-7 hingga abad ke-9, pada masa pemerintahan Wangsa Sanjaya. Para ahli juga memperkirakan candi-candi ini merupakan bangunan keagamaan tertua di Jawa Tengah. Namun, kapan persisnya dan alasan candi-candi ini didirikan, masih menjadi misteri. Prasasti-prasasti yang ditemukan di Dieng pun tidak ada yang secara tegas menjelaskan mengenai tahun pendirian candi atau alasan pendirian candi.

Sambil berkeliling melihat bangunan candi, sebuah pertanyaan timbul di benak saya: mengapa candi-candi di Dieng diberi nama seperti nama wayang? Kemungkinan besar nama-nama ini diberikan oleh penduduk setempat di abad ke-19, setelah candi-candi ini ditemukan pada tahun 1814 oleh Letnan H.C. Cornelius dan Captain Godfrey Phipps Baker, dalam sebuah ekspedisi arkeologi atas perintah dari Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jendral Hindia Belanda pada masa itu. Dalam sketsa yang dibuat oleh Cornelius dan Baker, mereka tidak menyebutkan nama candi-candi tersebut, hanya menyebut sebagai “Candi Bramin”. Nampaknya nama-nama ini berasal dari imajinasi penduduk setempat berdasarkan bentuk candi yang mereka lihat. Seperti nama “Arjuna” diberikan pada candi yang terlihat paling gagah. Sedangkan nama “Semar” diberikan pada candi yang pendek dan melebar di depan Candi Arjuna, seolah mengikuti “Sang Arjuna” sebagai punakawan.

Candi Arjuna dan Candi Semar (foto koleksi pribadi)

Kompleks Candi Arjuna merupakan kompleks candi Dieng yang pertama ditemukan pada tahun 1814, dengan jumlah bangunan terbanyak dan dalam kondisi yang relatif utuh. Saat itu lahan yang ditempati Kompleks Candi Arjuna tergenang membentuk danau kecil. Penyelamatan candi-candi Dieng dilakukan sejak tahun 1856 ketika seorang fotografer arkeologi bernama Isidore van Kinsbergen memimpin upaya pengeringan danau dengan tujuan memotret candi-candi tersebut dengan lebih jelas. Setelah itu dilakukan upaya pemugaran dan penelitian, yang diteruskan hingga hari ini.

Kompleks Candi Arjuna terdiri dari 5 bangunan candi. Membentang dari utara ke selatan, tersebar candi-candi yang berbentuk untuk pemujaan, seperti Candi Arjuna, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, dan Candi Sembadra. Di depan Candi Arjuna terdapat Candi Semar, candi sarana yang kemungkinan digunakan sebagai tempat menyimpan sarana upacara. Dari bentuk candi-candi tersebut, sangat logis jika para ahli menyimpulkan tempat ini merupakan pusat kegiatan relijius. Hal ini didukung oleh isi Prasasti Kuti berangka tahun 809 M yang ditemukan di dekat Candi Arjuna, yang menyebutkan bahwa Gunung Dihyang merupakan pusat kegiatan religious.

Candi Srikandi dan Candi Puntadewa (foto koleksi pribadi)

Saya mendekat ke bangunan candi, untuk melihat lebih dekat seperti apa detail dari candi tersebut. Dari kelima candi yang ada di kompleks ini, terlihat Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Srikandi, dan Candi Puntadewa berdiri dengan utuh, sedangkan Candi Sembadra dalam proses pemugaran. Namun hanya Candi Arjuna dan Candi Semar yang dapat dimasuki wisatawan. Sekilas bentuknya memang tipikal candi-candi Hindu dari Jawa bagian utara: candi tunggal dengan ukuran kecil dan memiliki ornamen sederhana. Hal ini sangat kontras dengan candi-candi di Jawa bagian Selatan yang berukuran besar dan kaya dekorasi, seperti Candi Prambanan.

Perbedaan gaya ornamen Kala yang terletak di atas pintu candi menunjukkan perbedaan masa pembangunan keempat candi tersebut. Dari gaya ornamen Kala, diduga Candi Arjuna dan Candi Semar merupakan candi yang dibangun pertama kali, antara tahun 760-812 M. Di masa berikutnya antara tahun 812-928 M, dibangun Candi Puntadewa. Sedangkan Candi Sembadra dan Candi Srikandi diperkirakan dibangun setelah tahun 928 M. Ini dipertegas dengan gaya arsitektur keempat candi yang sedikit berbeda satu dengan yang lain. Jika Candi Arjuna dipengaruhi gaya candi India yang memiliki relung yang menjorok ke dalam, candi-candi pemujaan lainnya justru memiliki lebih banyak pengaruh budaya lokal dengan relung yang menjorok keluar.

Yoni di Candi Arjuna (foto koleksi pribadi) 

Jaladwara di Dinding Utara Candi Arjuna (foto koleksi pribadi)

Saya mencoba masuk ke Candi Arjuna, walaupun tidak bisa berlama-lama karena berebutan dengan wisatawan lain. Di dalam ruangan candi terlihat yoni berukuran sedang. Yoni merupakan bagian dari upacara suci, di mana biasanya digunakan berpasangan dengan lingga. Lingga dan yoni biasanya merupakan lambang kesuburan. Dalam upacara, air dituangkan di atas lingga, yang akan mengalir ke yoni. Dari yoni air mengalir ke luar candi melalui saluran air dengan ornamen jaladwara, untuk diterima umat di luar. Di Candi Arjuna, jaladwara tersebut terpasang di dinding utara candi, tepat di bawah relung.

Sebuah info menyebutkan bahwa jumlah candi yang tersebar di kawasan ini diperkirakan berjumlah 400 buah. Saat ini hanya tersisa 8 bangunan yang tersebar dalam 4 kelompok. Seperti candi-candi di daerah lain, kemungkinan candi-candi lain rusak akibat bencana alam, aus karena cuaca, dijarah pencuri, atau terkena gusur karena perluasan pemukiman. Namun di Dieng ada faktor lain yang membuat candi-candi ini lebih cepat rusak, yaitu karena adanya uap solfatara dari kawah Sikidang yang bersifat korosif. Untuk itu perlu dipikirkan bagaimana melindungi candi-candi yang sudah dipugar agar tidak cepat rusak termakan cuaca dan uap solfatara.


Para Seniman Berpakaian Wayang di Candi Arjuna
(foto koleksi pribadi)

Setelah selesai dipugar pada tahun 2008, Kompleks Candi Arjuna resmi ditetapkan sebagai cagar budaya, sesuai dengan UU RI No. 11 tahun 2010. Hal ini menandakan pemerintah menyadari bahwa Situs Candi Arjuna memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, agama dan kebudayaan, sehingga wajib untuk dilestarikan. Agar cagar budaya dalam bentuk situs ini juga berfungsi untuk melindungi warisan budaya lainnya, Dinas Pariwisata Banjarnegara dan Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) memanfaatkan Situs Candi Arjuna sebagai venue acara budaya tahunan Dieng Culture Festival sejak tahun 2010. Berbagai acara dilaksanakan di tempat ini, termasuk tradisi Ruwatan Rambut Gimbal, serta ibadah Galungan bagi umat Hindu.

Saya dan Rekan-Rekan Seperjalanan (foto koleksi pribadi)

Sayang sekali, karena hari sudah sore, dan kami sudah letih setelah paginya mengejar matahari terbit di Posong, kami tak sempat melihat candi-candi lain. Dalam perjalanan kembali ke Temanggung, terlihat sosok Candi Bima yang berdiri dengan gagah, seolah memanggil kami untuk singgah. Sabar ya, setelah pandemi ini berakhir, saya akan kembali untuk menemui kalian...

Monday, August 17, 2020

Jejak Sang Pangeran di Balai Kota Batavia

 “Aku melihatnya turun di Batavia dari kapal uap yang telah membawanya dari Semarang. Kereta gubernur dan para ajudan berada di dermaga untuk menyambutnya. Dengan kereta itulah ia diangkut ke penjara, tempat ia diasingkan, tak ada yang tahu letaknya di mana, dan sejak itu tak terdengar lagi kabar beritanya.”

George Frank Davidson menjadi saksi ketika Pangeran Diponegoro tiba di Pelabuhan Sunda Kelapa pada tanggal 8 April 1830 menggunakan kapal uap SS Van Der Capellen yang dinahkodai oleh kakak Davidson, pasca peristiwa penangkapan oleh Jendral Hendrik Merkus Baron De Kock pada tanggal 28 Maret 1830 di Magelang. Bertolak belakang dengan catatan Davidson yang menyatakan tak ada yang tahu di mana lokasi tempat Pangeran Diponegoro diasingkan, sejarah mencatat Pangeran Diponegoro diasingkan di Stadhuis Batavia (sekarang Museum Sejarah Jakarta), di sebuah kamar yang berada di atas penjara wanita. Tidak heran Davidson tidak mengetahui di mana lokasi pengasingan Pangeran Diponegoro di Batavia, karena peristiwa kedatangan Pangeran Diponegoro di Batavia tidak diberitakan sama sekali dalam Javasche Courant (Lembaran Negara) dan koran-koran lainnya.

Suasana di kamar yang digunakan Pangeran Diponegoro

Kamar yang digunakan oleh Pangeran Diponegoro sebenarnya merupakan kamar pribadi kepala penjara Batavia, yang difungsikan sebagai kamar sementara jika ada tahanan politik yang berstatus tinggi. Seperti kita ketahui, beberapa pahlawan nasional kita juga pernah mendekam di penjara Stadhuis Batavia,  seperti Untung Suropati, Kyai Maja, dan Tjoet Nyak Dien. Namun Pangeran Diponegoro merupakan tahanan politik berstatus tinggi yang disegani oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, sehingga beliau tidak menempati penjara bawah tanah Stadhuis Batavia.

Di kamar ini Pangeran Diponegoro tinggal bersama istrinya Raden Ayu Retnoningsih, adiknya Raden Ayu Dipowiyono, iparnya Raden Tumenggung Dipowiyono, serta 16 abdi yang terdiri dari punakawan, pelayan, dan koki. Mereka menghabiskan waktu 26 hari di kamar ini, sebelum pada 30 April 1830 Gubernur Jendral Johannes Graaf Van den Bosch mengeluarkan besluit (surat keputusan) mengenai pengasingan seumur hidup Diponegoro di Sulawesi Utara. Bagi Pangeran Diponegoro, perjalanan meninggalkan Tanah Jawa menuju tempat pengasingan di Sulawesi ini mengakhiri tiga “tsunami” besar dalam kehidupannya. Tsunami pertama adalah pada tahun 1793, ketika Diponegoro keluar dari Keraton Yogyakarta dan diasuh oleh nenek buyutnya. Tsunami kedua adalah pada 20 Juli 1825, ketika kediamannya di Tegalrejo diserbu tentara Hindia Belanda. Sedangkan tsunami ketiga adalah pada 28 Maret 1830 ketika Diponegoro dikhianati dan ditangkap di Magelang.

Lukisan Kuilkorvet Pollux

Tanggal 3 Mei 1830, Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya bertolak dengan Kuilkorvet Pollux menuju Manado. Setelah tiga tahun menjalani masa pengasingannya di Fort Nieuw Amsterdam, Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya dipindahkan ke Fort Rotterdam Makassar, hingga akhir hayatnya pada 8 Januari 1855. Pangeran Diponegoro dimakamkan di Kampung Melayu, Makassar, di dekat makam putra keduanya, Raden Mas Sarkumo.

Sejak tahun 2018, kamar tempat pengasingan Pangeran Diponegoro tersebut ditata dengan koleksi terkait peristiwa tersebut, dan mulai tanggal 1 April 2019 kamar tersebut dibuka untuk umum. Koleksi ruangan ini ditata dengan dibantu oleh Sejarawan Peter Carey sebagai kurator. Untuk berkunjung ke Ruang Diponegoro, pengunjung harus melepas alas kaki dan menggantinya dengan sandal yang sudah disiapkan, serta jumlahnya dibatasi maksimum 20 orang dalam satu waktu. Hal ini untuk menjaga agar lantai kayu ruangan tersebut lebih awet.


Lukisan Diponegoro 

Saat menaiki tangga menuju Ruang Diponegoro, koleksi pertama yang ditemui adalah foto lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh, yang dibuat pada tahun 1857. Lukisan yang asli merupakan koleksi Istana Kepresidenan RI. Raden Saleh membuat lukisan ini setelah mendapat inspirasi dari lukisan kejadian serupa karya Pieneman dengan judul “De onderwerping van Diepo Negoro aan Luitenant-Generaal De Kock, 28 Maart 1830” (penyerahan diri Dipo Negoro kepada Letnan Jendral De Kock, 28 Maret 1830). Lukisan Pieneman ini semula dimiliki ahli waris De Kock, yang kemudian diserahkan kepada Rijksmuseum di Amsterdam.

Replika lukisan "Penangkapan Pangeran Diponegoro"

Dalam lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro yang dibuat Raden Saleh, digambarkan ekspresi Pangeran Diponegoro yang sangat marah, dipertegas dengan tangan kiri yang mengepal. Di belakang Sang Pangeran, istri beliau Raden Retnaningsih terlihat menangis. Jika diperhatikan, sosok orang-orang Belanda yang ada di lukisan tersebut digambarkan memiliki kepala lebih besar dibandingkan badannya. Hal ini seolah menggambarkan mereka sebagai monster yang licik. Yang menarik, di dalam lukisannya Raden Saleh selalu menyelipkan sosok dirinya. Jika ingin tahu seperti apa wajah Raden Saleh, cari saja tiga orang anggota pasukan Belanda yang berblangkon dengan wajah yang sama, itulah wajah Raden Saleh.

Lukisan Pangeran Diponegoro di Fort Rotterdam

Selain lukisan karya Raden Saleh yang terkenal, di ruangan ini juga terpasang foto lukisan khayali berwarna yang menggambarkan Pangeran Diponegoro di Fort Rotterdam sedang membaca teks tentang ilmu mistik Islam (tasawuf) didampingi istri beliau Raden Ayu Retnoningsih, putri bupati Keniten (Madiun) dan seorang putra – disebut Pangeran “Ali Basah” – yang sedang melihat bayangan mahluk halus atau sedang ditegur punakawan Diponegoro, Banteng Wareng, seorang bertubuh pendek, yang bertindak sebagai tutor untuk anak Diponegoro yang lahir si Sulawesi. Lukisan ini merupakan koleksi Snouck Hurgronje, dan foto yang dipamerkan di ruangan ini berasal dari Leiden Codex Orientalis 7398 atas ijin Universitetsbibliotheek Leiden.


Aktivitas Pangeran Diponegoro di Batavia

Kamar yang digunakan Pangeran Diponegoro tidak memiliki banyak jendela, dan jendela yang ada hanya mengarah ke stadhuisplein. Dapat dibayangkan saat itu Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya hanya bisa melihat aktivitas yang terjadi di halaman depan balai kota Batavia. Konon selama di Batavia, Pangeran Diponegoro beraktivitas sambil mengunyah sirih dan minum jamu (temu lawak dan beras kencur), untuk mengatasi penyakit malaria yang dideritanya. 

Satu-satunya jendela di kamar dengan pemandangan ke stadhuisplein

Kamar ini dilengkapi dengan dipan kayu berhias kelambu, 1 set meja kerja, dan beberapa pusaka yang pernah dibawa Sang Pangeran. Benda-benda ini bukan merupakan perabot asli, hanya merupakan replika untuk menggambarkan situasi pada saat Pangeran Diponegoro mendiami kamar ini. Dapat dibayangkan ketika Pangeran Diponegoro duduk di meja kerja di ruangan ini, untuk menulis surat kepada keluarga dekatnya. Surat pertama ditujukan kepada ibunda beliau, Raden Ayu Mangkorowati, yang meminta agar ibunda beliau tidak khawatir kepada nasibnya. Sedangkan surat kedua ditujukan kepada putra sulung beliau, Pangeran Diponegoro Muda, yang berisi pesan untuk menjaga adik-adiknya.

Kehadiran Pangeran Diponegoro di Batavia diabadikan dalam sketsa pensil oleh Hakim Batavia Adrianus Johannes Bik, yang bertugas mengawasi Pangeran Diponegoro selama berada di Batavia. Bik minta ijin untuk melukis Diponegoro di sela-sela masa penahanan beliau, tak lama sebelum Diponegoro berangkat menuju Sulawesi. Bik sendiri memiliki keahlian sebagai pelukis piring porselen di Belanda, sebelum merantau ke Hindia Belanda pada tahun 1821.

Atas: foto Adrianus Johannes Bik
Bawah: lukisan Diponegoro karya Bik

Bik mencitrakan Diponegoro sebagai ulama sekaligus panglima perang. Diponegoro digambarkan mengenakan pakaian ulama selama Perang Jawa, yaitu sorban, baju koko tanpa kerah, dan jubah. Di bahu kanannya tersampir selempang, serta terselip keris pusaka Kanjeng Kiai Ageng Bondoyudo Sripaduka Petarung Tanpa Senjata pada ikat punggang yang terbuat dari bahan sutra. Diponegoro sendiri digambarkan memiliki pipi cekung akibat serangan malaria yang diperoleh saat bergerilya di daerah Bagelen dan Banyuurip pada akhir masa Perang Jawa. Lukisan ini sangat hidup sekali. Setelah Bik wafat di Amsterdam pada tahun 1872, lukisan ini dihibahkan keponakannya ke Rijkmuseum.


Saturday, May 9, 2020

Lorong Waktu STOVIA

Kita mengenal Museum Kebangkitan Nasional sebagai tempat berdirinya Boedi Oetomo, organisasi modern pertama yang menjadi pelopor pergerakan nasional. Namun lorong-lorong gedung yang dibangun pada tahun 1899 ini juga merupakan saksi terbentuknya generasi pertama dokter-dokter Indonesia, sekaligus menjadi cikal bakal pendidikan tinggi kedokteran di Indonesia.

Fasad depan Museum Kebangkitan Nasional
Pendidikan tinggi kedokteran di Indonesia berawal dari munculnya wabah penyakit pada abad ke-19 di Hindia Belanda. Untuk mendatangkan dokter dari Belanda akan memakan biaya besar, sehingga pada tanggal 2 Januari 1849 pemerintah kolonial Hindia Belanda memutuskan untuk membuka pendidikan kedokteran bagi masyarakat pribumi. Dua tahun kemudian berdirilah Sekolah Dokter Jawa di Rumah Sakit Militer Weltevreden (sekarang RSPAD Gatot Subroto), dan lulusannya dipekerjakan sebagai mantri cacar. Di antara para lulusan pada masa itu tersebut terdapat dr. Wahidin Sudirohusodo, dr. RM Soekardi, dan dr. Abdoel Rivai.

Pada tahun 1898, dr. Hermanus Frederik Roll, Direktor Sekolah Dokter Jawa, mengusulkan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk menyelenggarakan pendidikan kedokteran yang setara dengan pendidikan kedokteran di Belanda.  Tahun 1902, berdirilah School tot Opleiding van Indlandsche Artsen (STOVIA), atau Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera. Setahun kemudian, dibangun gedung baru di sebelah rumah sakit militer Weltevreden, menjadi gedung yang sekarang kita kenal sebagai Museum Kebangkitan Nasional. Gedung baru ini digunakan sebagai tempat pendidikan, sekaligus dilengkapi dengan asrama.

Suasana Asrama STOVIA yang ditampilkan dalam Ruang Asrama STOVIA
Siswa STOVIA semula berasal dari golongan bangsawan tamatan sekolah Belanda. Namun pada masa Politik Etis, STOVIA mulai menerima siswa dari sekolah pribumi, dan membebaskan biaya sekolah. Kebijakan ini melahirkan golongan priyayi baru, yaitu kelompok terdidik yang berasal dari rakyat biasa. Dari sinilah muncul tokoh-tokoh pergerakan bangsa, antara lain dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan dr. Sutomo.

Diorama yang Menggambarkan Suasana Ruang Kelas Terbuka di STOVIA
Dalam aktivitas belajar mengajar, para siswa STOVIA juga melakukan praktek di laboratorium atau praktek seperti dokter. Peralatan yang digunakan sama seperti yang digunakan di rumah sakit pada masa itu. Di antara peralatan yang digunakan terdapat Alat Pemecah Kepala yang digunakan untuk memecahkan kepala pada mayat. Tujuannya adalah mempelajari isi kepala dan otak sebagai pusat utama organ tubuh manusia. Peralatan lain adalah Elektrokardiograf tempoe doeloe, yang digunakan untuk mendukung fisiologi jantung.


Alat Pemecah Kepala
Peristiwa penting yang pernah terjadi di STOVIA adalah berdirinya Boedi Oetomo, organisasi modern pertama dalam pergerakan nasional. Peristiwa tanggal 20 Mei 1908 ini terjadi di Ruang Anatomi. Situasi saat para siswa STOVIA mendeklarasikan Boedi Oetomo ini diabadikan dalam diorama di Ruang Anatomi. Untuk mempertahankan suasana asli pada saat itu, di ruangan masih terpasang meja bedah sebuah kerangka manusia asli yang digunakan untuk belajar anatomi. Seolah mengingatkan bahwa peristiwa ini diprakarsai oleh para siswa STOVIA, di dinding selatan terdapat cuplikan Sumpah Hippocrates dalam bahasa Latin.  Sumpah ini merupakan sumpah wajib bagi seluruh dokter di dunia tentang etika yang harus dilakukan dalam menjalankan praktik profesinya.

Ruang Memorial Boedi Oetomo yang menempati kelas Ruang Anatomi
Karena keberaniannya mendirikan Boedi Oetomo, Soetomo menimbulkan keresahan di staf pengajar STOVIA. Para staf pengajar sempat memperdebatkan hukuman pemecatan Soetomo dari STOVIA, karena takut dinilai gagal membina anak didiknya. Namun H.F. Roll yang saat itu masih menjabat sebagai Direktur STOVIA memberikan pandangan dalam rapat dosen, yang berakhir dengan keputusan Soetomo tetap diperkenankan menyelesaikan pendidikannya di STOVIA. Suasana rapat ini terekam dalam diorama di Ruang Dosen.

Diorama suasana rapat di Ruang Dosen
STOVIA menjalankan fungsinya untuk meluluskan dokter-dokter terbaik dari kalangan bumiputra. Beberapa di antara para lulusannya memberikan andil yang besar dalam perkembangan kesehatan di Indonesia. Seperti dr. Tjipto Mangoenkoesoemo yang terjun langsung dalam memberantas wabah pes di Malang, dr. Soeradji Tirtonegoro yang berperan penting dalam pemberantasan wabah busung lapar di Klaten, dr. Jacob Bernadus Sitanala yang meneliti penyakit kusta, dr. Achmad Mochtar yang merupakan orang Indonesia pertama yang menjadi kepala Lembaga Eijkman, dr. Djoehana Wiradikarta yang merupakan orang Indonesia pertama yang menjadi kepala Lembaga Pasteur, dan dr. Margono Soekardjo selaku ahli bedah pertama Indonesia.

Gedung STOVIA di Hospitaalweg mengakhiri tugasnya pada tahun 1920 sebagai tempat menggodok calon-calon dokter Indonesia, setelah dibangun gedung baru yang lebih representatif di Salemba, bersebelahan dengan rumah sakit terpadu yang dapat menampung lebih banyak siswa pendidikan kedokteran. Selama beberapa waktu, gedung ini masih berfungsi sebagai asrama dan tempat tinggal, sebelum digunakan untuk Museum Kebangkitan Nasional. Keberadaan Museum Kebangkitan Nasional tidak hanya sekadar menampilkan koleksi terkait sejarah pergerakan nasional, namun juga menjadi lorong waktu yang menampilkan bukti-bukti keberadaan lembaga pendidikan STOVIA sebagai pendidikan tinggi kedokteran pertama di tanah air.

Saturday, February 22, 2020

Samudramanthana dari Sirah Kencong

Kisah Samudramanthana – atau pengadukan Lautan Susu – merupakan salah satu kisah mitologi Hindu yang termuat dalam kitab Adiparwa, yang merupakan bagian dari kisah Mahabharata. Berasal dari India, Samudramanthana telah dikenal luas di daerah-daerah yang dipengaruhi budaya India, termasuk di Kamboja, Thailand, dan Indonesia. Kisah ini telah dikenal oleh masyarakat Jawa, dan telah disalin ke dalam bahasa Jawa Kuno sejak jaman Dharmawangsa Teguh, Raja Mataram Hindu yang memerintah sekitara tahun 991-1016 Masehi.

Samudramanthana menceritakan perburuan air keabadian (Tirta Amrita) di Ksirarwana / Ksira Arnawa (Samudra Susu) yang melibatkan penyu Akupa, naga Basuki, gunung Mandaragiri, para dewa, dan para asura (raksasa). Gunung Mandara digunakan sebagai alat pengaduk Samudra Susu. Kura-Kura Akupa – yang merupakan penjelmaan dewa Wisnu -- menjadi tumpuan Mandaragiri agar tidak tenggelam ke dasar Samudra Susu. Naga Basuki yang melilit Mandaragiri berfungsi sebagai tali untuk mengaduk Samudra Susu. Bagian kepala naga ditarik oleh para asura, sedangkan ekornya ditarik oleh para dewa. Dewa Indra duduk di puncak Mandaragiri, agar gunung tersebut tidak melambung. Dari pengadukan tersebut muncul ratna (benda-benda berharga), dan yang terakhir keluar adalah Dhanwantari, penyembuh surga yang membawa air keabadian Tirta Amrita. Dengan keluarnya Tirta Amrita, rencana para dewa untuk memperoleh Tirta Amrita telah selesai, sehingga mereka mengirim para asura dari surga kembali ke neraka.

Arca Samudramanthana dari Sirah Kencong, disimpan di Museum Nasional
Terinspirasi dari tulisan arkeolog M. Dwi Cahyono tentang arca Samudramanthana dari perkebunan teh Sirah Kencong di lereng barat Gunung Suci Kawi, kabupaten Blitar, Jawa Timur, saya membongkar foto-foto saat saya main ke Museum Nasional di mana arca tersebut disimpan. Ternyata arca tersebut masuk dalam pengamatan saya ketika saya berkunjung ke museum tersebut. Arca batu andesit setinggi kurang lebih 1 meter ini berasal dari abad ke 13-14 Masehi, diperkirakan dari masa kerajaan Majapahit. Arca ini diduga berfungsi sebagai jaladwara (pancuran), karena memiliki lubang di bagian bawah yang tembus ke bagian atas.  Diduga arca ini menaungi sumber air (tuk) yang diyakini sebagai air suci, karena keberadaannya di lereng Gunung Kawi yang dianggap sebagai “gunung suci”.

Bagian bawah arca berupa pedestal berbentuk padma (teratai merekah), perlambang bunga suci seolah menegaskan bahwa benda-benda di atasnya merupakan perangkat keagamaan yang suci. Di atas padmasana terdapat figur Kura-Kura Akupa, sebagai alas putar puncak Mandaragiri. Di sisi luar Mandaragiri berbentuk pahatan tokoh-tokoh yang berperan dalam kisah Samudramanthana. Di atas kepala Akupa terdapat Naga Basuki yang dililitkan pada Mandaragiri. Di sisi kanan Basuki terdapat dewa-dewa, sedangkan di sisi kiri Basuki terdapat para asura. Di bagian atas arca terdapat binatang-binatang mitologis dalam kepercayaan Hindu yang keluar selama proses pengadukan, antara lain sapi Kamadhenu, kuda Ucchaiswara, dan gajah Airawata.

Tugu Pancuran Ampelgading di Museum Trowulan


Arca dari Sirah Kencong bukan satu-satunya peninggalan purbakala di Indonesia yang merekam kisah Samudramanthana. Kisah ini juga dipahatkan pada tugu pancuran yang ditemukan di Ampelgading, Kabupaten Malang, yang saat ini disimpan di Museum Trowulan. Bagian bawah tugu memiliki lubang, dan di atas lubang tersebut berdiri figure Kura-Kura Akupa. Di atas Akupa terdapat tiang persegi empat yang dikelilingi panel berpahat figure dewa-dewa dan para asura. Di atas tiang terdapat ornament pahatan menara-menara kecil yang bertingkat, yang kemungkinan melambangkan Mandaragiri.

Teras Ketiga Candi Sukuh
Sedangkan di Jawa Tengah, kisah Samudramanthana juga divisualisasikan di Candi Sukuh, tepatnya di teras ketiga. Di teras ini terdapat bangunan induk berbentuk piramida terpancung, serta arca kura-kura. Bangunan induk diibaratkan sebagai Mandaragiri yang berfungsi sebagai alat pengaduk Samudra Susu. Arca kura-kura berukuran besar yang terletak di depan bangunan induk merupakan simbol dari Akupa. Candi Sukuh sendiri diduga berasal dari masa akhir kerajaan Majapahit.

Patung "The Churning of The Milk Ocean"
Di Thailand, kisah Samudramanthana divisualisasikan di bandara Suvarnabhumi dalam bentuk patung berukuran besar yang menggambarkan Mandaragiri yang diletakkan di atas Kura-Kura Akupa, dililit oleh Naga Basuki yang berkepala tiga. Bagian kepala Basuki ditarik oleh para asura, sedangkan bagian ekor Basuki ditarik oleh para dewa. Di atas Mandaragiri, berdiri Dewa Indra untuk memastikan gunung tersebut tidak melambung. Patung ini sangat menarik perhatian, karena berukuran cukup besar dan terletak di terminal internasional, tepat setelah penumpang menyelesaikan proses imigrasi dan masuk menuju area duty free shopping.

Saturday, January 11, 2020

Kedai Kopi di (bekas) Toko Buku Tempo Doeloe

Sore itu menjelang perayaan Natal di tahun 2019, cuaca Bandung agak sendu manja. Namun ini tidak menyurutkan hasrat para wisatawan untuk berpartisipasi dalam keramaian di kawasan Braga. Dari arah Braga Permai, terlihat etalase toko berkaca bening, bertuliskan " Kopi Toko Djawa". Masih segar dalam ingatan saya sebuah toko buku kecil di tempat yang sama. Toko Buku Djawa. Toko buku tempo doeloe yang berdiri sejak tahun 1955, bersamaan dengan penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Di masa jayanya antara dekade 1960-1980-an, toko ini direferensikan oleh banyak pelajar di Bandung. Salah satu pelanggannya adalah mantan presiden Republik Indonesia B.J. Habibie.

Toko Buku Djawa di Tahun 2011
Di masa ketika saya masih berkeliaran di Bandung pada akhir dekade 1990-an, saya masih terbayang-bayang ketika tiap kali saya mampir ke toko buku ini. Walaupun tampak jadoel, namun sebenarnya mereka cukup canggih, karena pada masa itu buku dan majalah yang dijual cukup update. Saat itu, belum banyak toko buku kecil yang mau bertransaksi dengan credit card, namun saya pernah membeli majalah berbahasa Inggris di Toko Buku Djawa dan membayarnya dengan credit card.

Kopi Toko Djawa di tahun 2019
Ketika melihat berita di internet, hati kecil saya sempat trenyuh, Toko Buku Djawa ternyata harus tergerus kemajuan jaman. Tahun 2015, toko buku kecil ini terpaksa tutup karena kalah bersaing. Namun rasa trenyuh itu terobati dengan kenyataan bangunan tua itu tidak dibongkar. Sejak tahun 2017, bangunan dan difungsikan sebagai café yang digunakan untuk tempat kongkow yang kekinian. Bahkan papan nama Toko Buku Djawa masih terpampang, untuk mengenang masa jayanya saat menjadi sebuah toko buku.

Kopi Gula Aren dan Merchandise di event Semasa di Kota Tua

Setelah sempat mencicipi Kopi Gula Aren Kopi Toko Djawa (yang nendang banget) di event Semasa Di Kota Tua di akhir November yang lalu di Jakarta, akhirnya saya berkesempatan untuk hadir di Toko Kopi Djawa. Seperti halnya toko-toko kopi kekinian, Kopi Toko Djawa telah dikelola secara modern, dan antrian para pembeli kopi pun tampak mengular. Sebagian besar tampak duduk di dekat meja barista, menunggu pesanan kopi mereka selesai untuk di-take away. Sebagian yang lain duduk di meja-meja, mungkin bermaksud menghabiskan waktu lebih lama di tempat ini. Bahkan ada yang hanya sekadar duduk-duduk di kursi depan café, menikmati hawa dingin di Kawasan Braga.


Saya memang tak bermaksud untuk berlama-lama di sana, hanya sekadar membeli minuman panas sambil mencicipi apakah vibe dari masa lalu masih terasa hingga kini. Pada dasarnya suasana cafenya cozy, namun tidak menghilangkan hawa-hawa tempo doeloe-nya. Hal yang "diwariskan" dari Toko Buku Djawa adalah cafe ini menyediakan buku-buku bacaan untuk para pengunjungnya. Seandainya ada waktu , rasanya ingin tinggal lebih lama untuk menikmati suasana jadoel di tempat ini.