Sunday, November 15, 2020

Kembalinya Pamor Sang Pangeran

Magelang, 28 Maret 1830. Bertepatan dengan Lebaran hari kedua. Namun suasana di rumah residen Kedu terlhat penuh ketegangan. Hari itu, Pangeran Diponegoro ditangkap tentara Hindia Belanda, menandai berhentinya Perang Jawa yang telah berlangsung selama 5 tahun. Terlihat Hendrik Merkus Baron De Kock, Panglima Besar Hindia Belanda, tersenyum penuh muslihat. Sebaliknya, ekspresi Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya memancarkan kemarahan. 

Poster Pameran di Dinding Gedung Arca
Peristiwa ini merupakan salah satu episode yang diceritakan dalam sesi dongeng yang mengawali kunjungan saya di Pameran “Pamor Sang Pangeran” pada tanggal 13 November 2020 yang lalu. Pameran yang dilaksanakan antara tanggal 31 Oktober sampai dengan 26 November 2020 di Museum Nasional Indonesia ini sangat sayang untuk dilewatkan. Semula pandemik Covid membuat saya ragu-ragu untuk hadir. Namun setelah melihat aturan bahwa ada pembatasan jam kunjungan, pembatasan jumlah pengunjung dalam setiap sesi, serta calon pengunjung pameran harus mendaftar terlebih dahulu, akhirnya saya memutuskan untuk hadir.

Yang membuat pameran ini menarik adalah sosok Pangeran Diponegoro ditampilkan dalam media yang kekinian. Dalam setiap sesi kunjungan, pengunjung akan diajak mendengarkan dongeng kisah Pangeran Diponegoro. Dongeng tidak sekadar disampaikan secara lisan, namun menggunakan teknologi video mapping yang ditembakkan pada layar yang dibentuk menggunakan buku lipat. Karakter sang pangeran juga ditampilkan dengan gaya manga Jepang yang sangat kekinian.

Pendongeng Menceritakan Kisah Pangeran Diponegoro
Setelah dongeng selesai, pengunjung pameran dipersilakan melihat koleksi pusaka Pangeran Diponegoro. Sehari-hari, beberapa pusaka tersebut disimpan di museum, dan pengunjung tidak diperkenankan mengambil gambar. Namun hari ini, pusaka-pusaka tersebut dipamerkan kepada publik. Pusaka-pusaka ditampilkan dalam kotak kaca, yang dikelilingi racikan daun pandan dan bunga melati, sehingga menyebarkan aroma yang wangi. Suasana mistis dalam ruang pameran yang remang-remang ini ditambah dengan alunan Kidung Sunan Kalijaga yang menceritakan tentang ketabahan dalam menghadapi cobaan dan bagaimana menghalau segala hal negatif. Hal ini membuat saya mencoba membayangkan kembali seperti apa perasaan Sang Pangeran ketika mempertahankan haknya di Perang Jawa.


Kanjeng Kiai Rondhan

Setiap pusaka memiliki kisahnya masing-masing. Seperti tombak Kanjeng Kiai Rondhan yang dipercaya memberikan perlindungan dan peringatan (wangsit). Tombak ini tertinggal saat penyergapan tentara Belanda di pegunungan Gowong, tahun 1829. Setelah dipersembahkan kepada Raja Willem I, Kanjeng Kiai Rondhan disimpan di Museum Veteran Tentara Belanda di Bronbeek, Arnhem. Tahun 1977, tombak Kiai Rondhan dikembalikan kepada pemerintah Indonesia. 

Pelana Kanjeng Kiai Gentayu

Saat tinggal di Puri Tegalrejo, Pangeran Diponegoro memiliki banyak kuda. Di antaranya adalah Kanjeng Kiai Gentayu, kuda kesayangan Diponegoro, yang sering disebut sebagai pusaka yang hidup (living legacy). Kiai Gentayu digambarkan sebagai kuda berwarna hitam yang tinggi besar, dengan kaki berwarna putih. Pameran ini “menghidupkan” kembali Kanjeng Kiai Gentayu dalam bentuk hologram, agar kita bisa membayangkan seperti apa bentuk fisiknya di masa lalu. Pelana Kiai Gentayu termasuk dalam pusaka yang tertinggal saat penyergapan tentara Belanda di pegunungan Gowong, tahun 1829. Bersama tombak Kanjeng Kiai Rondhan, pelana Kiai Gentayu dipersembahkan kepada Raja Willem I, dan baru dikembalikan kepada pemerintah Indonesia pada tahun 1977.

Babad Diponegoro

Koleksi yang tak kalah istimewa adalah kitab Babad Diponegoro, yang merupakan otobiografi sang pangeran yang ditulis saat pengasingan di Manado. Kitab ini ditulis dengan aksara Arab pegon berbahasa Jawa, terdiri dari 1151 halaman. Syair dalam Babad Diponegoro berawal dari zaman Majapahit, masa Mataram Islam, hingga menceritakan Perang Jawa secara rinci dari sudut pandang Pangeran Diponegoro. Pada 21 Juni 2013, Babad Diponegoro telah ditetapkan sebagai Memory of The World (warisan dokumenter dunia) oleh UNESCO.

Namun primadona dari pameran ini adalah keris Kanjeng Kiai Nogo Siluman. Pusaka ini sangat istimewa, karena memiliki kisah yang sangat berliku. Kiai Nogo Siluman diserahkan Diponegoro pada awal tahun 1830 kepada Kolonel Jan-Baptist Cleerens, perwakilan tentara Hindia Belanda, sebagai tanda kepercayaan Diponegoro yang disertai janji jika perundingan tidak memberikan hasil sesuai keinginan Diponegoro, maka Diponegoro dan pasukannya diperkenankan kembali ke pegunungan Bagelen tanpa cedera. Namun ternyata Cleerens ingkar janji, dan pada 28 Maret 1830 Diponegoro ditangkap.

Keris Kiai Nogo Siluman kemudian dipersembahkan kepada Raja Belanda Willem I pada tahun 1831 sebagai rampasan perang, dan kemudian disimpan di koleksi khusus Kabinet Kerajaan Belanda. Tahun 1883, koleksi khusus ini dibubarkan, dan Keris Kiai Nogo Siluman diserahkan kepada Museum Volkenkunde di Leiden. Setelah itu, keris ini sempat dinyatakan hilang selama 150 tahun. Namun setelah melalui pencarian yang cukup lama dan berliku sejak tahun 1983, akhirnya pada 3 Maret 2020 Kanjeng Kiai Naga Siluman dikembalikan Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia melalui Menteri Kebudayaan Belanda Ingrid van Engelshoven, dan diserahkan kepada Duta Besar Indonesia untuk Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja di Den Haag.

Keris Kanjeng Kiai Nogo Siluman
Dan hari ini, saya berdiri di depan keris tersebut. Keris dan sarungnya diletakkan di dalam sebuah kotak kaca, di ruangan yang terpisah dari pusaka yang lain. Keris Kiai Nogo Siluman terbuat dari besi berwarna hitam, dan memiliki sebelas luk. Gandik atau pangkal keris berbentuk kepala naga berwarna emas, dan terdapat badan naga memanjang mengikuti bilah keris. Paduan warna emas dan hitam disertai tatahan yang sangat detail membuat keris ini terlihat sangat gagah. Ditambah sarung keris yang bergaya branggah, yang walaupun sederhana tanpa banyak hiasan, namun secara keseluruhan semakin menonjolkan kemegahan keris tersebut.

Rasanya berat untuk mengakhiri kunjungan di pameran kali ini, selain mengingat bahwa ada batas waktu kunjungan maksimal 1 jam di setiap sesi. Sambil menatap keris Kiai Nogo Siluman sekali lagi sebelum meninggalkan ruang pameran, saya membayangkan mungkin masih banyak pusaka Pangeran Diponegoro – atau pusaka dari pahlawan-pahlawan kita yang lain -- yang belum kita ketahui dan kita temukan. Mungkin hanya waktu yang bisa menjawab. Adalah tugas kita sebagai penerus bangsa untuk bisa menjaga dan merawat pusaka-pusaka ini, untuk mempertebal rasa nasionalisme kita.