Sunday, June 4, 2023

Waterfront Batavia Tempo Doeloe

 Hari ini, Minggu 29 Mei 2023, PTD komunitas Sahabat Museum yang kesekian kalinya, bertepatan dengan 20 tahun Sahabat Museum. Saya tertarik untuk hadir di PTD kali ini, karena kami akan eksplorasi Menara Syahbandar, Museum Bahari, tembok kota Batavia, dan juga Pelabuhan Sunda Kelapa, Yay! Kapan lagi bisa ke tempat-tempat aneh tapi rame-rame, plus dapat cerita-cerita sejarahnya?

Setelah semua berkumpul di Menara Syahbandar, kami berjalan menuju Pelabuhan Sunda Kelapa. Sunda Kelapa merupakan cikal bakal kota Jakarta. Kala itu Kalapa – nama aslinya – merupakan pelabuhan Kerajaan Sunda, yang direbut oleh pasukan Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah. Di jaman VOC, Sunda Kelapa merupakan pintu masuk Batavia di abad ke-17.

Pelabuhan Tradisional Sunda Kelapa

Saat ini Pelabuhan Sunda Kelapa dikelola oleh PT Pelindo II, dan hanya melayani kapal antar pulau. Kapal-kapal tradisional yang bersandar umumnya mengangkut barang kelontong, sembako, dan tekstil dari Jakarta, ditukar dengan kayu, rotan, dan kopra dari luar Jawa. Menurut petugas HSSE yang kebetulan kami temui, pemilik kapal-kapal kayu di Sunda Kelapa umumnya orang-orang Bugis. Kapal-kapal tradisional ini mengangkut barang ke perairan yang bisa dijangkau kapal, seperti Palembang atau Kalimantan.

Dari Pelabuhan Sunda Kelapa, rombongan PTD kembali ke Menara Syahbandar, yang terletak di Jalan Pasar Ikan Nomor 1, Penjaringan, Jakarta Utara. Menara tersebut (Uitkijk Post atau Lookout Post) dibangun sekitar tahun 1839 yang berfungsi sebagai menara pemantau bagi kapal-kapal yang keluar-masuk Kota Batavia lewat jalur laut serta berfungsi kantor "pabean" Pelabuhan Sunda Kelapa.

Menara Syahbandar Yang "Baru"

Menara ini menempati bekas bastion Culemborg yang dibangun sekitar 1645, seiring pembuatan tembok Kota Batavia oleh Gubernur Jenderal Antolo van Dieman. Nama “Culemborg” merujuk tempat kelahiran Dieman. Pada awal abad ke-19, dengan perpindahan pusat Kota Batavia ke Weltevreden, tembok kota dan banteng tidak lagi diperlukan dan sebagian besar telah dibongkar, hanya menyisakan bastion Culemborg dan Zeeburg. Bastion Culemborg kemudian digunakan sebagai tempat untuk memasang alat bantu navigasi. 

Prasasti Penanda Meridian 0 Batavia

Pada tahun 1839, menara pertama dibangun memiliki tinggi sekitar 18 meter. Di bangunan ini juga pernah terdapat kronometer yang sangat akurat, untuk menentukan meridian Batavia. Penetapan garis bujur nol Batavia juga didokumentasikan dalam prasasti dengan tulisan Tionghoa, yang menyatakan bahwa berdasarkan hasil survey, tempat tersebut merupakan garis bujur nol Batavia. Titik nol meridian Batavia masih digunakan untuk memproduksi peta Indonesia sampai tahun 1942, mesikpun sejak 1883 meridian Greenwich sudah diterima secara universal sebagai meridian utama. 

Di menara ini dipasang bola waktu yang digunakan untuk menyesuaikan jam kapal dengan waktu standar, sekaligus mengkalibrasi alat yang digunakan untuk menentukan posisi kapal saat di laut. Karena menara kemudian digunakan untuk kegiatan lain, pada tahun 1850 didirikan menara sinyal yang baru setinggi 40 meter, sekaligus berfungsi sebagai menara pengamat untuk mengawasi kapal-kapal di depan pelabuhan.  

Tugu Penanda Nol Kilometer Jakarta

Di masa kemerdekaan, dilakukan penataan kembali bangunan, dan pada tanggal 7 Juli 1977, bersamaan dengan peresmian Museum Bahari, Menara Syahbandar diresmikan kembali. Saat itu juga dilakukan peresmian tugu penanda kilometer 0 Jakarta oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Selama beberapa tahun, tempat ini masih digunakan sebagai penanda kilometer 0 Jakarta, sebelum pada tahun 1980 titik kilometer 0 Jakarta dipindahkan ke Monas.

Walaupun bangunan Menara Syahbandar diberitakan perlahan miring karena usia yang semakin tua, adanya penurunan muka tanah, serta getaran kendaraan berat yang melintas di Jalan Pasar ikan, namun bangunan tersebut masih cukup terawat. Peserta PTD hari ini bergantian naik tangga kayu jati yang cukup curam ke lantai 3 menara. Dari jendela-jendela pantau kita bisa memandang deretan perahu di Pelabuhan Sunda Kelapa, Museum Bahari di utara, Kafe VOC yang dulunya merupakan galangan, serta pemandangan jalan raya.

Salah Satu Bagian Bekas Tembok Kota Batavia

Sebelum masuk ke Museum Bahari, kami melihat situs tembok Kota Batavia. Tembok ini semula setinggi 5 meter, namun saat ini ketinggiannya sudah berkurang karena pendangkalan/sedimentasi. Saat ini tembok yang masih tersisa adalah di Jl. Tongkol dan bagian utara tembok di dekat Museum Bahari. Keadaannya sudah parah, tak terawat, hampir roboh, dan penuh tanaman liar. Di beberapa bagian tembok terlihat lapisan keramik seperti dari dapur atau kamar mandi. Kemungkinan besar tembok ini pernah dimanfaatkan sebagai tembok pemukiman warga. 

PTD kami hari ini berakhir di Museum Bahari. Kompleks bangunan museum ini dibangun antara tahun 1652-1773. Dan berfungsi sebagai gudang komoditas VOC untuk menyimpan rempah (pala, cengkeh), kopi, teh, tembaga, timah, dan tekstil. Gedung yang digunakan di Museum Bahari semula adalah Gudang Barat (Westzijdsche Pakhuizen). Ketika masa pendudukan Jepang, bangunan beralih fungsi menjadi gudang logistik tentara Jepang. Setelah Indonesia Merdeka, bangunan digunakan untuk gudang PLN dan PTT. Tahun 1976, bangunan ini mengalami pemugaran, dan pada tanggal 7 Juli 1977 gedung ini diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin sebagai Museum Bahari.

Museum Bahari

Gedung yang digunakan sebagai tempat Museum Bahari ini dibangun di atas rawa, menggunakan teknologi bangunan di Belanda pada masa itu. Seperti kita ketahui, Belanda sangat ahli dalam mengeringkan lahan dan memanfaatkannya. Tembok dibuat dari batu bata dengan tebal dinding 1 meter, karena harus memikul seluruh beban bangunan. Untuk menopang lantai dua, digunakan balok-balok kayu jati sepanjang 4 meter. 

Perahu Borobudur

Koleksi museum yang berjumlah kurang lebih 1835 koleksi sangat terkait dengan sejarah kebaharian dan kenelayanan Indonesia, termasuk perahu tradisional dan peralatan navigasi. Sayangnya sebagian koleksi ini habis terbakar pada 16 Juni 2017. Salah satu koleksi istimewa yang tak boleh dilewatkan adalah replika dari relief yang ada di candi Borobudur, yang menggambarkan perahu bercadik dengan 2 tiang layar dan konstruksi 3 kaki. Mengingat candi Borobudur dibangun pada abad ke-8 Masehi, berarti pada masa itu bangsa Indonesia sudah dapat membuat perahu yang mampu mengarungi samudra. 

Fakta menarik lain yang diungkap saat PTD hari ini, di depan Museum Bahari pernah digunakan untuk Stasiun Kleine Boom (pabean pelabuhan), dengan jalur rel yang menghubungkan tempat ini hingga Stasiun Gambir (Koningsplein). Stasiun Kleine Boom digunakan untuk lalu lintas komoditas dagang, seperti batubara, kopi, teh, dan kina. Setelah pemerintah Hindia Belanda membangun pelabuhan baru di Tanjung Priok beserta jalur rel kereta api pendukungnya, Stasiun Kleine Boom tidak digunakan lagi.