Wednesday, July 19, 2023

Belajar Kriptologi Yang Seru di Museum Sandi

Pilihan yang tepat untuk orang yang traveling sendirian, tentu saja museum. Dan jika kita “terpaksa” ke Yogyakarta sendirian, Yogya punya banyak pilihan museum. Kali ini saya memilih ke Museum Sandi, satu-satunya museum kriptologi di Indonesia. Mengapa didirikan di Yogya? Karena cikal bakal lembaga yang bergerak di bidang persandian ini berawal di Yogyakarta.

Saya berkeliling museum ditemani mas Haris, pemandu dari Museum Sandi. Menurut mas Haris, pemilihan Kotabaru sebagai lokasi Museum Sandi tidak lepas dari lokasi berdirinya Dinas Kode sebagai cikal bakal BSSN. Bangunan yang saat ini dijadikan Museum Sandi di Jl. Faridan Muridan Noto 21 sebenarnya tidak berkaitan dengan sejarah Dinas Kode. Bangunan yang ada sejak tahun 1917 ini semula merupakan rumah dokter Belanda yang melayani Kesultanan Yogyakarta, dan di awal masa Kemerdekaan digunakan oleh Kementerian Luar Negeri. 

Scytale, Alat Sandi Bangsa Yunani dan Sparta

Di lorong pertama, Mas Haris menjelaskan mengenai sejarah perkembangan sandi di dunia. Dapat dikatakan, dunia kriptologi berkembang seiring dengan perkembangan aksara manusia serta kebutuhan mengirimkan pesan rahasia saat berperang. Salah satu penjelasan yang menarik adalah tentang Scytale, yang digunakan bangsa Yunani dan Sparta di masa peperangan. Scytale digunakan dengan melilit gulungan perkamen (kulit) pada tongkat. Setelah pesan dituliskan, perkamen tersebut dilepas dari tongkat dan dikirimkan. Penerima dapat membacanya dengan cara melilitkan perkamen pada tongkat lain yang memiliki diameter yang sama.

Ruangan berikutnya adalah diorama yang menggambarkan pemberian instruksi pembentukan Dinas Kode pada 4 April 1946 oleh Menteri Pertahanan Amir Syarifudin kepada dr. Roebiono Kertopati. Mengapa perintah tersebut diberikan kepada dr. Roebiono? Saat bergabung dengan KNIL setelah lulus dari NIAS, dr. Roebiono pernah dilatih Sekutu di Papua Nugini dan ditugaskan di bagian intelijen sebagai petugas kode. 

Di ruangan ini terdapat Buku Kode C, koleksi unggulan Museum Sandi. Buku ini merupakan dasar Pedoman pengiriman sandi yang menggunakan system substitusi. Uniknya, master buku berisi 10.000 kata ini ditulis tangan oleh dr. Roebiono secara ambidextrous (tangan kanan dan kiri sekaligus) sebelum digandakan dengan cara diketik menjadi 6 jilid. Selain Buku Kode C, Dinas Kode juga membuat Buku Kode B. Buku Kode B merupakan Pedoman persandian dalam versi yang mudah dibawa, dengan sampul luar berbentuk tas. Dapat dibayangkan betapa canggihnya dr. Roebiono dan tim Dinas Kode, ketika Republik ini masih belia, mereka sudah bisa membuat sistem persandian yang canggih dan tidak mudah dipecahkan oleh pihak lawan.

Buku Kode C

Kami kemudian memasuki Lorong yang menunjukkan diorama Rumah Sandi Dukuh. Saat terjadi Agresi Militer II Belanda, pemerintah RI melakukan evakuasi keluar Yogya, tidak terkecuali Dinas Kode. Para Code Officer (CDO) kemudian mendirikan Rumah Sandi di Desa Dukuh, Kulonprogo. Meja kursi dan dinding gedhek dari Rumah Sandi ikut dipamerkan di Museum Sandi. Saat ini rumah tersebut dijadikan monumen dengan nama Rumah Sandi Dukuh. 

Ruangan berikutnya berisi koleksi terkait persandian di masa perang kemerdekaan. Terdapat maket Surau Bulian di Bidar Alam, Solok Selatan, yang berfungsi sebagai stasiun radio AURI semasa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Stasiun radio AURI ini hanya beroperasi di malam hari, agar radiogram tidak disadap, serta menghindari upaya musuh untuk mendeteksi letak stasiun radio. 

Di tengah ruangan, terdapat sepeda onthel. Semula saya agak bingung, apa hubungan sandi dan sepeda onthel? Ternyata sepeda onthel adalah salah satu alat transportasi yang digunakan kurir untuk mengirimkan berita rahasia pada masa Kemerdekaan RI. Surat atau pesan rahasia ini dimasukkan ke dalam stang yang sudah dimodifikasi agar dapat membawa pesan rahasia tanpa diketahui Belanda, jika sewaktu-waktu ada penggeledahan. 

Koleksi yang membuat saya mengernyitkan dahi sekaligus bergairah adalah mesin-mesin sandi yang digunakan untuk kegiatan komunikasi rahasia. Membayangkan bagaimana mesin-mesin itu dipakai untuk mengirim dan menerima pesan rahasia, wow… Di antara mesin-mesin itu, terdapat mesin sandi BC 543 buatan Stockhold Swedia yang dan merupakan salah satu dari 5 mesin yang diserahkan Belanda pasca pengakuan Kedaulatan tahun 1949.

Mesin Sandi SR-64 buatan anak bangsa

Tak butuh waktu terlalu lama, di tahun 1960-an Indonesia telah berhasil membuat mesin sandi. Mesin sandi pertama buatan anak bangsa adalah SR-64. Sampai tahun 1968, Jawatan Sandi telah membuat 49 unit mesin SR-64. Tak hanya membuat mesin sandi, Indonesia juga telah membuat Telepon Anti Sadap SN-011. Telepon produksi tahun 1990-an ini merupakan mesin sandi berbasis suara, yang dilengkapi dengan modul penyandi sehingga dapat berfungsi sebagai telepon persandian.

Mas Haris kemudian mengajak saya ke lantai 2 museum. Ruangan tengah di lantai 2 didedikasikan untuk para tokoh Lembaga Sandi Negara, khususnya dr. Roebiono. Mendengar cerita mas Haris, saya merasa dr. Roebiono sangat istimewa, seolah garis tangannya sudah ditakdirkan untuk menjadi pelopor persandian di Indonesia. Lahir di Ciamis dari keluarga dokter, Roebiono muda menempuh Pendidikan di Nederlandsch Indishe Arten School (NIAS) Surabaya untuk menjadi dokter. Tahun 1941 dr. Roebiono bergabung dengan dinas medis KNIL. Setelah Indonesia merdeka, dr. Roebiono dimanfaatkan NEFIS untuk masuk ke Jawa bersama tentara Sekutu. Mereka ditangkap para pejuang, karena dicurigai sebagai mata-mata. Dengan ketrampilannya sebagai ahli kunci, dr. Roebiono bisa keluar masuk selnya tanpa ketahuan oleh penjaga. Perlengkapan membongkar kunci ini turut dipamerkan di Museum Sandi. Namun dr. Roebiono bukan orang yang haus kekuasaan. Dalam karirnya, ia tak pernah terlibat dalam perpolitikan, sehingga dr. Roebiono dapat memimpin Jawatan Sandi lebih dari separuh hidupnya, melewati Orde Lama dan Orde Baru, hingga akhir hayatnya. 

Diorama dr. Roebiono dan Amir Syarifudin

Selain memamerkan memorabilia dari dr. Roebiono dan beberapa tokoh Lembaga Sandi Negara, di ruangan ini terdapat gambar bulu-cabe. Menurut mas Haris, bulu-cabe adalah Semacam kode yang menandai kurir atau CDO Indonesia pada masa perang Kemerdekaan. Cabe yang berwarna merah dan bulu yang berwarna putih merupakan lambang merah putih, bendera Indonesia. Bulu-cabe kemudian selalu dipasang pada lambang Jawatan Sandi, Lembaga Sandi Negara, dan BSSN.

Mesin Sandi Kryha buatan Jerman

Di ruangan lain, terdapat mesin-mesin sandi dari luar negeri. Di antara mesin-mesin tersebut, terdapat Mesin Sandi KL-7 buatan National Security Agency Amerika tahun 1940. Mesin yang ada di Museum Sandi semula digunakan oleh Fretilin saat Operasi Seroja di Timor Leste tahun 1975. Selain itu terdapat mesin sandi Kryha, mesin sandi Jerman yang dibuat oleh Alexander von Kryha. Mesin sandi ini digunakan pada era 1920-an hingga 1950-an oleh korps diplomatic Jerman. Mesin Kryha memiliki berat sekitar 5 kg dan beroperasi secara mekanik. Sebelum mengakhiri pendampingannya, dengan bercanda mas Haris berkata sayangnya Museum Sandi belum memiliki koleksi mesin sandi Enigma dari Jerman yang terkenal saat PD II. Wah, seru kayanya kalau museum ini sampai punya Enigma!