Saturday, August 26, 2023

Curug Nangka, Curug Tersembunyi di Antara Tebing

Gerbang bertuliskan "Selamat Datang di Wana Wisata Curug Nangka" baru saja kami lewati. Terlihat warna langit di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak ini cerah, secerah hati kami yang (akhirnya) bisa melarikan diri sejenak dari polusi ibu kota. Adrenalin rombongan kami sedang tinggi-tingginya, tak sabar untuk melihat keindahan Curug Nangka. 

 

Curug Nangka terletak di lereng Gunung Salak, di Desa Sukajadi, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, di dalam Kawasan wana wisata seluas 17 hektar, yang dibuka untuk umum sejak tahun 1991. Tidak sulit untuk mencapai Curug Nangka, dengan berkendara kurang lebih 1 jam ke arah Selatan Kota Bogor. Curug (air terjun) ini merupakan salah satu destinasi wisata alam yang cukup populer di Bogor.

Melangkah menuju hutan pinus, terlihat berbagai pasang mata memandang dengan tatapan penasaran. Namun saya berusaha cuek, karena kalau sampai mereka tertarik untuk mendekat, bisa runyam! Kera-kera ini merupakan penghuni asli dari kawasan wana wisata, dan konon mereka cukup nakal, jika iseng mereka bisa mengambil barang kita dengan paksa. Makanya saya memilih cuek, supaya tidak diganggu.


Menempuh jalan setapak beraspal menuju Curug Nangka, terlihat beberapa warung yang menjajakan makanan dan minuman. Di dekatnya ada toilet, serta beberapa lahan yang bisa dijadikan tempat berkemah. Lumayan, kalau pas perjalanan balik terus lapar atau kehabisan minum, bisa top up logistik di sini!

Di titik percabangan menuju Curug Nangka, terlihat papan petunjuk yang mengarah ke bawah. Kami mengikuti petunjuk tersebut, dan bertemu anak sungai yang diapit 2 tebing. Pemandu kami sejak awal sudah menyampaikan bahwa untuk mencapai Curug Nangka, harus menyusuri anak sungai terlebih dahulu. Untung saya sudah menyiapkan diri dengan sandal gunung dan celana quick dry, jadi kaki tercelup air? No problem!

Ternyata dari ujung anak sungai menuju curug tidak dekat. Makin mendekati curug, terdapat beberapa bagian yang dalamnya hampir sebetis orang dewasa. Setiap melangkah harus hati-hati, jangan sampai tergelincir. Menurut teman-teman yang survey sebelumnya, saat survey air tidak setinggi ini. Kelihatannya karena hari sebelumnya sempat hujan, maka debit airnya naik. Pemandu kami pun berulang kali mengingatkan agar barang bawaan kami dijaga, terutama yang tidak boleh basah.

Setelah menyusuri anak sungai kurang lebih 10 menit, dari kejauhan terlihat Curug Nangka, obyek primadona dari kawasan ini. Nama "Nangka" konon berasal dari pepohonan nangka yang dulu pernah berada di sekitar area ini. Namun mata saya tertumbuk pada rangkaian janur di atas sebuah batu yang cukup besar. Saya mengenali rangkaian janur itu sebagai banten, semacam sajen khas kepercayaan Hindu Bali.


"Tak jauh dari sini kan ada Pura Parahyangan, jadi banyak juga yang beribadah dan meletakkan sajen di sini." Pemandu kami menjelaskan keberadaan banten di batu tersebut. Ah, ternyata demikian. Dari berbagai sumber, diketahui bahwa menurut kepercayaan penduduk setempat, lokasi air terjun ini pernah menjadi tempat semedi para leluhur, antara lain Raden Surya Kencana, Bah Haji Gempor, dan Bah Jamrong, dan lainnya. Dan jika diperhatikan lebih jauh, dalam radius beberapa km dari curug banyak situs-situs purbakala. Mungkin air terjun ini memang dianggap salah satu tempat suci di kawasan ini.


Kami akhirnya tiba di lokasi Curug Nangka. Curug ini memiliki ketinggian 25 meter, dan berlokasi di ketinggian 750 dpl. Airnya selalu  mengalir dan tidak pernah habis, walaupun sedang musim kemarau. Aliran airnya sangat jernih dan sejuk. Kolam yang terbentuk di bawah curug pun bisa direnangi dan tidak terlalu dalam, hanya sekitar sebetis orang dewasa. Namun disarankan untuk menghindari bagian yang terlalu dalam di dekat air terjun.

Masih di kawasan yang sama, sekitar 1 km dari Curug Nangka terdapat 2 air terjun lainnya, yaitu Curug Kawung dan Curug Daun. Ketiga curug ini sejatinya merupakan rangkaian aliran air, mulai dari Curug Kaung yang paling atas dengan ketinggian 17 meter, Curug Daun dengan ketinggian hanya 2 meter, dan Curug Nangka yang paling bawah. Curug Kawung dan Curug Daun memiliki debit lebih kecil dibandingkan Curug Nangka, sehingga keduanya kurang populer dibandingkan Curug Nangka.

Dari pengalaman menyusuri anak sungai menuju Curug Nangka, ternyata memerlukan fisik yang prima dan stamina yang cukup. Jika fisik dirasa kurang siap, sebaiknya tidak perlu memaksakan diri untuk melakukan trekking hingga ke Curug Nangka. Selain itu perhatikan juga cuaca. Jika cuaca kurang mendukung, terutama jika mendung dan berpotensi hujan, sebaiknya mengurungkan niat untuk pergi ke curug, karena ketika hujan maka debit alir bisa tiba-tiba meningkat.


Wednesday, August 9, 2023

Museum Pendidikan Surabaya, Wisata Edukasi di Tepi Kalimas

Surabaya dapat dikatakan mulai menjadi destinasi baru wisata sejarah. Bukan hanya menjadi tempat terjadinya peristiwa penting dalam upaya mempertahankan kemerdekaan, namun banyak tahap kehidupan tokoh bangsa yang terjadi di Surabaya. Bung Karno lahir di Surabaya. WR Supratman wafat di Surabaya. Dan saat ini peninggalan-peninggalan tersebut telah dirawat menjadi museum-museum yang menarik dan edukatif.

Salah satunya adalah Museum Pendidikan Surabaya yang terletak di Jl. Genteng Kali no. 10, Surabaya. Diresmikan walikota Surabaya Tri Rismaharini pada peringatan Hari Guru 25 November 2019, museum tematik ini memilik 860 koleksi memorabilia terkait dunia pendidikan, sekaligus sebagai obyek wisata edukasi di Surabaya 

Fasad Bangunan Museum yang Menghadap ke Kalimas

Museum ini menempati bangunan bekas Sekolah Taman Siswa yang terletak di tepi Kalimas. Bangunan museum diperkirakan sudah ada sejak tahun 1910, dan saat itu merupakan rumah tinggal keluarga Tionghoa yang berada. Terdapat teras yang menghadap ke halaman tengah serta teras belakang yang menghadap ke arah Kalimas. Di atas bangunan terdapat tulisan “Villa Rivierzicht” yang bermakna “villa tepi sungai”, yang mungkin terkait dengan pemandangan ke arah Kalimas.

Setelah kemerdekaan, pada tahun 1952 bangunan tersebut pernah dipakai sebagai sekolah menengah pertama YPPI (Yayasan Pendidikan dan Pengajaran Indonesia). Setelah itu kemudian ditempati oleh SMP/SMA Taman Siswa.sampai tahun 2004. Gedung eks Taman Siswa itu tak ada satu pun yang diubah dari bentuk aslinya, yang dilakukan Pemkot Surabaya hanya memperbaiki.

Bel Sekolah Taman Siswa

Koleksi Museum Pendidikan Surabaya berupa informasi dan artefak yang merepresentasikan dinamika perjalanan pendidikan di Indonesia sejak era pra aksara hingga masa kini. Koleksi diatur mengikuti alur linimasa, dari masa Pra Sejarah, masa Hindu Buddha, masa Kolonial, hingga masa Kemerdekaan.

Koleksi di Zona Pra Aksara yang diwakili dengan diorama Manusia Purba menerangkan bahwa pendidikan telah dimulai sejak awal peradaban manusia, bahkan sebelum manusia menemukan aksara sebagai medium komunikasi dan pengetahuan. Pada masa itu, pengetahuan utama yang diajarkan dan masih sangat relevan hari ini adalah pengetahuan bertahan hidup. Pada masa itu, pengetahuan ditukarkan bukan melalui tulisan, melainkan melalui pengalaman langsung di alam, sensasi indra yang menubuh, dan "ingatan otot".

Koleksi di masa Hindu-Buddha menunjukkan pada masa itu telah terjadi asimilasi antara pengaruh luar nusantara dengan budaya lokal, menjadikan pendidikan pada masa itu menjadi sangat dinamis. Aktivitas niaga dan syiar agama turut mempengaruhi corak pendidikan pada masa itu. Di masa Hindu-Buddha mulai terbentuk lembaga-lembaga pendidikan seperti padepokan yang dipimpin Mpu atau Begawan, Pura, Pencantrikan, dan Pertapaan.

Pengetahuan dasar yang diajarkan pun didasarkan atas sistem Triwangsa yang merupakan pengaruh budaya India. Wangsa Brahmana belajar kitab suci dqn kitab Sastra dari India. Wangsa Ksatria belajar tentang pemerintahan dan strategi perang. Sedangkan wangsa Waisya mempelajari ketrampilan yant menopang kehidupan, seperti bertani, metalurgi, peternakan, pertukangan, perdagangan dll.

Masuknya Islam ke Nusantara membuat corak pendidikan di Nusantara semakin beragam. Pada penghujung abad ke-19, berbagai macam bentuk penyelenggaraan dan institusi pendidikan Islam seperti pendidikan dalam bentuk rumah, surau/langgar, masjid, dan pesantren sederhana mulai dikenal. Perkembangan pesantren pada abad ke-17 merupakan titik puncak dari proses perkembangan pendidikan Islam sebelum akhir abad ke-19, ketika Sultan Agung -Raja Mataram- mulai memerintah antara 1613-1645.

Naskah Surat Yusuf

Di masa Islam inilah banyak manuskrip yang dibuat untuk media pendidikan. Di antaranya adalah Naskah Surat Yusuf yang dibuat dari bahan kulit, ditulis dalam aksara Arab serta ada terjemahan bahasa Jawa dengan aksara Arab Pegon. Naskah lainnya adalah kisah Nabi Muhammad yang ditulis dalam bentuk tembang macapat pada kertas bergaris beraksara Jawa.

Era kolonial barangkali merupakan masa terberat bagi pendidikan bangsa Indonesia. Kedatangan bangsa Eropa yang mengeksploitasi hasil bumi Nusantara dengan menggunakan keringat manusia Nusantara nyaris menghentikan proses pendidikan bangsa. Titik kecil harapan muncul seiring dengan merebaknya politik etis di Eropa. Akses terhadap pendidikan bagi warga non Eropa yang awalnya hanya bisa dijangkau oleh kalangan elit saja, perlahan mulai meluas di beberapa kota besar. Dengan meningkatnya kualitas pendidikan, maka tumbuhlah kesadaran dan keberanian untuk melawan ketidakadilan. Tak perlu menunggu lama bagi munculnya para pemuda aktivis yang dikemudian hari akan mengalirkan arus besar pendidikan dan perlawanan terhadap kolonialisme. Merekalah yang kini kita kenal sebagai pendiri, guru, dan pahlawan bangsa. Dr. Wahidin Soedirohoesodo, R.M. Tirto Adhi Soerjo, H.O.S. Tjokroaminoto, Ernest Douwes-Dekker, Ki Hajar Dewantara, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, dr. Soetomo, Ir. Sukarno, Mochammad Hatta, dll.

Bangku Kuliah Dari Kayu

Di era kolonialisme Jepang yang relatif singkat, terjadi perbaikan sistem pendidikan dan transfer pengetahuan yang sangat signifikan dibanding sebelumnya. Mulai dari pengadaan sekolah hingga ke pelosok, penajaman kurikulum, reformasi sistem pengajaran dan pelatihan guru. Semua upaya ini tak lepas dari kesadaran Jepang melihat potensi pendidikan dan kebudayaan sebagai elemen penting yang mendukung propaganda mereka sebagai Saudara Tua serta Pemimpin, Pelindung, dan Cahaya Asia dalam konstelasi perang dunia kedua.

Artefak-artefak di bagian ini ditandai dengan benda-benda yang menjadi ciri khas dunia pendidikan di masa itu. Salah satunya adalah lampu kuno yang digunakan untuk belajar di malam hari, sepeda kebo yang digunakan oleh guru, dan bangku kayu yang digunakan di sekolah. Koleksi yang menarik adalah mesin handpress milik KH Ahmad Dahlan yang digunakan di Percetakan Muhammadiyah di Karangkajen, Yogyakarta.

Mesin Handpress Milik KH Ahmad Dahlan

Memasuki awal era kemerdekaan, tidak serta merta nasib pendidikan bangsa Indonesia menjadi lebih mudah. Indonesia yang masih sangat muda masih tidak stabil, khususnya dalam situasi sosial politik. Tantangan lainnya adalah keragaman sosial budaya di sepanjang Nusantara. Koleksi di bagian ini terdiri dari bukti materiil dunia pendidikan dari periode 1945-1990-an. Mulai dari batu tulis, buku-buku pelajaran, peralatan laboratorium, hingga peralatan ekstrakurikuler. 

Display "Ini Ibu Budi"

Yang tidak boleh dilewatkan di museum ini adalah satu display tentang "Ini Ibu Budi". Kalimat "Ini Ibu Budi" muncul di tahun 1980-an dalam buku paket pelajaran bahasa Indonesia di SD, hingga tahun 2014. Ibu Siti Rahmani Rauf menciptakan metode ini berangkat dari kegelisahan terhadap metode pembelajaran membaca saat itu, dan berupaya menciptakan metode agar anak-anak dapat lebih mudah dalam belajar membaca. Ibu Siti Rahmani wafat di Jakarta pada 10 Mei 2016.

Air Force One Indonesia Tempo Doeloe

Bolak balik ke Museum Dirgantara Mandala, apa gak bosan? Bagi saya, museum punya banyak koleksi yang kalau dikulik secara mendalam, banyak cerita-cerita menarik di dalamnya. Apalagi Dirgantara Mandala punya koleksi pesawat lebih dari 50, yang masing-masing menjadi saksi sejarah kejayaan kita di udara.

Di pertengahan Juni yang lalu, saya berkunjung untuk kesekian kalinya ke Dirgantara Mandala. Misi utama hari ini adalah melihat C-140 Jetstar "Pancasila". Di kunjungan-kunjungan sebelumnya, saya melewatkan pesawat ini, karena lebih tertarik dengan pesawat tempur. Tapi setelah membaca-baca tentang pesawat "Pancasila", saya memutuskan untuk melihat lebih dekat pesawat “Pancasila” yang pernah menjadi pesawat kepresidenan RI.

Jetstar "Pancasila" sejatinya bukan pesawat kepresidenan RI yang pertama. Pesawat kepresidenan RI yang pertama adalah Ilyushin Il-14 Avia, hadiah dari pemerintah Uni Sovyet di tahun 1957 sebagai tanda persahabafan antara Uni Sovyet dan Indonesia. Pesawat diserahkan pada 24 Januari 1957 oleh Zukhov, Duta Besar Uni Sovyet untuk Indonesia, di Lanud Halim Perdanakusuma.

Ilyushin Il-4 Avia T-414

Pesawat angkut bermesin ganda ini kemudian diberi nomor registrasi T-401 dan diberi nama Dolok Martimbang, nama sebuah gunung di Kabupaten Tapanuli Utara. Pemberian nama ini dengan pertimbangan saat itu di Sumatera Tengah sedang terjadi pergolakan. Dolok Martimbang sendiri memiliki makna “gunung yang seimbang”. Menurut legenda, Dolok Martimbang merupakan tempat melakukan perjanjian perdamaian antar kepala daerah yant bermusuhan. Tempat ini juga menjadi tempat perjanjian perdamaian antara Belanda dengan pemimpin lokal. 

Pesawat berbadan sedang dengan kapasitas 60-100 penumpang ini tidak dirancang secara khusus sebagai pesawat kepresidenan. Walaupun sudah diserahkan sejak Januari 1957, pesawat baru digunakan pada 16 Mei 1957 darj Surabaya ke Jakarta. Banyak yang menduga jarak 4 bulan itu dikarenakan Presiden Soekarno menahan diri untuk tidak terlihat bermewah-mewah dalam kondisi Republik Indonesia yang tengah mengalami pergolakan.

T-401 Dolok Martimbang menjadi cikal bakal berdirinya Skadron Udara 17 atau Satuan Udara Angkut Khusus VIP/VVIP yang didirikan tahun 1963. Jika hari ini kita mengunjungi Skadron Udara 17 di Lanud Halim Perdanakusuma, kita bisa melihat pesawat-pesawat VIP/VVIP, termasuk pesawat kepresidenan Indonesia yang dioperasikan oleh TNI AU. Pesawat yang digunakan cukup bervariasi, termasuk Boeing 737 dan C-130 Hercules yang didesain khusus untuk VIP. (lihat artikel berikut

Boeing 737 milik Skadron Udara 17

Dolok Martimbang hanya beroperasi sebagai pesawat kepresidenan sampai tahun 1962. Tahun 1975, pesawat ini resmi dipurnabaktikan karena faktor usia dan ketiadaan suku cadang. Saat ini nasib T-401 Dolok Martimbang tidak diketahui rimbanya. Namun kita masih bisa melihat pesawat serupa dengan nomor registrasi T-414, yang sempat dijadikan monumen di Lanud Abdulrachman Saleh. Pesawat ini kemudian direstorasi oleh tim gabungan dari Lanud Adisucipto dan Lanud Abdulrachman Saleh untuk diabadikan di Museum Dirgantara Mandala pada tahun 2018.

Pada tahun 1961, presiden Soekarno pergi ke Amerika Serikat. Beliau tidak menggunakan Dolok Martimbang, namun menyewa Boeing 707 PanAm lengkap dengan pilot dan pramugarinya. Sekembalinya Soekarno dari Amerika Serikat, pada tahun 1962 Presiden AS John F. Kennedy memberikan hadiah kepada Indonesia 3 buah pesawat Lockheed C-140 Jetstar berkapasitas 8-10 penumpang, yang merupakan pesawat jet bisnis pertama di dunia. Pesawat-pesawat inilah yang kemudian menggantikan peran Dolok Martimbang sebagai pesawat kepresidenan.

C-140 JetStar "Pancasila" T-1645

Ketiga pesawat C-140 tersebut kemudian diberi nama Saptamarga (T-9446), Irian (T-17845), dan Pancasila (T-1645). Jika diperhatikan, ketiga pesawat ini diberi kode Registrasi dengan “nomor cantik”. Pancasila mendapat nomor T-1645, yang merupakan tanggal lahir Pancasila 1 Juni 1945. Irian mendapat nomor T-17845 yang merupakan tanggal kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Sedangkan Saptamarga mendapat nomor T-9446 yang merupakan hari lahir TNI AU 9 April 1946.

Pada masanya, C-140 merupakan salah satu pesawat ternyaman dan tercanggih. Salah satu dari ketiga pesawat ini sempat dijadikan sebagai pesawat kepresidenan yang standby di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma untuk mengevakuasi presiden, manakala bila terjadi ancaman.Saat ini kita masih bisa melihat pesawat “Pancasila” yang sejak tahun 1987 menjadi koleksi Museum Dirgantara Mandala, serta Sapta Marga yang dijadikan monumen di Garuda Training Center, Duri Kosambi. Adapun pesawat “Irian” tidak diketahui nasibnya. Dari beberapa informasi, konon pesawat ini berada di Amerika Serikat dalam kondisi pretelan.


Wisata Pemakaman PD II (3): Ereveld Kembang Kuning

Jalan Kembang Kuning barangkali identic dengan pemakaman, khususnya bagi warga Surabaya. Di tempat ini memang merupakan TPU untuk berbagai kepercayaan, termasuk untuk muslim, Nasrani, Tionghoa, dan bahkan ada pemeluk agama Yahudi. Bahkan di salah satu sudut jalan, terdapat kompleks pemakaman elite warga Belanda, yang saat ini tampaknya kurang terurus. Kompleks pemakaman Kembang Kuning dibuka pada tahun 1917 oleh walikota Surabaya G.J. Dijkerman.

Di dalam kompleks pemakaman Kembang Kuning inilah terletak Ereveld (Taman Makam Kehormatan) Kembang Kuning, yang secara resmi beralamat di Jl. Makam Kembang Kuning I Atas. Untuk mencapai Ereveld Kembang Kuning, kita harus masuk lebih dalam lagi ke Kawasan TPU Kembang Kuning, melewati tugu malaikat yang menjadi penanda dibukanya kompleks pemakaman ini pada tahun 1917. Berbelok kiri dari tugu malaikat, tak jauh dari tugu tersebut akan terlihat gerbang bertuliskan “Ereveld Kembang Kuning”. Kami diijinkan masuk oleh petugas, dan dipersilakan memarkir mobil di dalam. Petugas menanyakan apakah saya mau ziarah ke salah satu makam. Saya menyampaikan bahwa saya hanya mau melihat-lihat. Tujuan utama saya adalah melihat monumen Karel Doorman. 

Ereveld Kembang Kuning

Ereveld Kembang Kuning merupakan tempat peristirahatan terakhir bagi lebih dari 5000 korban personil militer dari KNIL, Koninklijke Landmacht, dan Koninklijke Maritime, serta warga sipil yang gugur di kamp konsentrasi di Jawa Timur, yang merupakan korban Periode Bersiap pada tahun 1945. Ereveld Kembang Kuning juga menampung makam yang dipindahkan dari ereveld Tarakan (1964), Kupang (1966), Ambon (1967), Balikpapan (1967), Makassar (1968), dan New Guinea (1974).

Seluas mata memandang, yang terlihat adalah nisan berwarna putih, yang didominasi bentuk salib. Dari bentuk nisannya, dapat diketahui agama dari yang dimakamkan di tempat tersebut. apakah Kristen, Islam, Buddha, atau Yahudi. Jika yang bersangkutan adalah personil militer, biasanya disebutkan pangkat dan dari satuan mana yang bersangkutan berasal. Beberapa makam terlihat bertuliskan “Onbekend”, yang berarti “tidak dikenal”. Beberapa makam juga memiliki tulisan yang menjelaskan makam tersebut merupakan pindahan dari ereveld lain. Khusus pemakaman muslim, mereka dikumpulkan dalam 1 blok tersendiri, dan diatur menghadap ke kiblat.

Petugas makam mengingatkan saya, jika saya akan memotret makam, mohon agar tidak memperlihatkan nama-nama pada nisan. “Aturan” serupa pernah saya dengar sebelumnya, ketika saya berkunjung ke Ereveld Ancol dan Ereveld Menteng Pulo. Alasannya masuk akal: tidak semua ahli waris berkenan nama-nama mereka yang dimakamkan di ereveld beredar secara luas.

Suasana ereveld Kembang Kuning tidak jauh berbeda dengan Ereveld Menteng Pulo. Letaknya menempel dengan pemakaman umum Kembang Kuning, dan dibatasi oleh pagar. Dari jauh terlihat beberapa gedung tinggi yang menjulang ke atas langit Surabaya, walaupun tidak sebanyak gedung pencakar langit yang mengepung Ereveld Menteng Pulo. Suasana sangat hening, namun saya tidak merasa kesepian, karena terlihat beberapa petugas makam tengah melakukan perawatan taman makam.

Monumen Karel Doorman dan Monumen Peti Mati
Untuk Pelaut Tak DIkenal

Tanpa menunggu terlalu lama, saya menelusuri jalan berpaving di bagian tengah ereveld. Dari jauh sudah terlihat bangunan yang menjadi tujuan saya: Monumen Karel Doorman. Monumen ini dirancang oleh W.J.G. Zeedijk dan didirikan pada 7 Mei 1954. Monumen ini menandai peristiwa Pertempuan Laut Jawa pada 27 Februari 1942, di mana saat itu pasukan Belanda dan pasukan Sekutu mengalami kekalahan telak dari pasukan Jepang. Dalam pertempuran tersebut, kapal Hr.Ms. De Ruyter yang ditumpangi Laksamana Karel Doorman ditenggelamkan kapal Jepang Haguro, bersama HMAS Perth, USS Houston, Hr.Ms. Java, dan 915 awak kapal di Laut Jawa. 

Di depan monumen Karel Doorman, terdapat monumen kecil berbentuk peti mati bertuliskan "De Onbekende Zeeman". Monumen ini ditujukan bagi awak kapal yang namanya tak dikenal dan gugur semasa perang. Walaupun monumen kecil itu bukan merupakan peti mati dan hanya terbuat dari batu, namun berdiri di dekat monument tersebut membuat saya merenung sekaligus merinding: berapa banyak korban yang telah jatuh selama masa peperangan, termasuk 915 awak 3 kapal perang Sekutu yang tidak pernah kembali dari Pertempuran Laut Jawa, yang bahkan jasadnya tidak dimakamkan di ereveld ini karena berada di dasar laut.

Di bagian depan monumen, terdapat tiga buah plakat. Plakat pertama adalah penjelasan mengenai Laksamana Karel Willem Frederik Marie Doorman, pimpinan pasukan Komando American-British-Dutch Australian (ABDA) di Pasifik, yang memilih tetap tinggal di atas kapal Hr. Ms. De Ruyter saat kapal tersebut mulai tenggelam akibat tak bisa mengatasi serangan kapal tempur Angkatan Laut Kekaisaran Jepang. Dalam plakat tersebut tertuang perkataan terakhirnya kepada awak kapal: "Ik val aan, volg mij!" (saya sedang menyerang, ikuti saya). 

Di plakat sebelah kiri adalah relief kapal The Seven Province yang dikomandoi Michiel Adriaenszoon de Ruyter, laksamana Angkatan Laut Kerajaan Belanda dari masa Perang Anglo-Belanda di abad ke-17, yang namanya digunakan untuk kapal pemimpin armada Sekutu. Terdapat tulisan yang merupakan kutipan dari Laksamana de Ruyter dalam Bahasa Belanda, yang setelah saya terjemahkan dengan bantuan aplikasi, saya menginterpretasikan artinya bahwa beliau rela melaksanakan perintah dari penguasa negara untuk mempertahankan tanah air, bahkan jika itu harus mempertaruhkan nyawa. Sedangkan di plakat sebelah kiri terdapat relief kapal Hr. Ms. De Ruyter, HMAS Perth, dan Hr. Ms. Java. Tulisan pada plakat menunjukkan bahwa plakat ini didedikasikan untuk menghormati seluruh prajurit Sekutu yang tidak pernah kembali dari Pertempuran Laut Jawa, 27 Februari 1942.

Tampak Belakang Monumen Karel Doorman
dengan Plakat Nama-Nama Awak Kapal yang Gugur
di Pertempuran Laut Jawa
 

Nama-nama 915 awak dari 3 kapal perang yang gugur dalam Pertempuran Laut Jawa tersebut terdaftar dalam 15 prasasti perunggu yang terdapat di sisi belakang monumen Karel Doorman. Di antara nama-nama prajurit tersebut, sekitar 20-30% adalah bangsa Indonesia yang bergabung dengan Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Jadi, sejatinya korban dari pertempuran tersebut bukan semata-mata pasukan Sekutu yang terdiri dari orang-orang Eropa. Bahkan bangsa kita yang saat itu menjadi awak kapal perang Belanda pun turut menjadi korban.

Dalam peristiwa Pertempuran Laut Jawa, Hr.Ms. De Ruyter merupakan kapal pemimpin armada tempat Laksamana Karel Doorman memimpin armada kapal perang Sekutu. Kapten De Ruyter sendiri adalah Eugene Lacomble. Pada malam 27 Februari 1942, armada Komando ABDA disergap oleh kapal perang Angkatan Laut Kekaisaran Jepang Nachi dan Haguro. Beberapa menit setelah Hr. Ms. Java ditorpedo dan tenggelam, Hr. Ms. De Ruyter terkena torpedo yang diluncurkan Haguro pada pukul 23:40. Torpedo tersebut merusak sistim kelistrikan kapal, sehingga awak kapal tidak bisa memadamkan api atau memompa air akibat kebocoran. Hr. Ms. De Ruyter akhirnya tenggelam pada pukul 02:30 dinihari bersama 367 awaknya, termasuk Laksamana Doorman dan Kapten Lacomble. Bangkai Hr. Ms. De Ruyter akhirnya ditemukan pada 1 Desember 2002, dan titik situs tersebut dinyatakan sebagai makam perang.