Saturday, December 8, 2018

Wisata Pemakaman PD II (1): Ereveld Antjol

Ereveld, atau Makam Kehormatan, adalah kompleks pemakaman yang dibangun pemerintah Belanda sebagai tempat peristirahatan terakhir bagi para korban perang dunia II. Keberadaan makam ini bukan sekadar tempat peristirahatan terakhir, tetapi juga sebagai pengingat agar para korban dan kisah-kisah mereka akan tetap dikenang, dan penggalan sejarah kelam ini mendapat perhatian dan pengakuan sebagaimana layaknya.

Gerbang Ereveld Ancol
Siang itu Bang Adep dan Pak Rushdy Hosein memimpin kami, rombongan Pelesiran Tempo Doeloe, mengunjungi Ereveld Ancol yang terletak di dalam Kompleks Taman Impian Jaya Ancol, tepat di sisi timur Pantai Carnaval. Cuaca yang panas sekaligus lembab tidak membuat semangat kami surut untuk segera menjelajahi area pemakaman. Namun sesaat setelah kami menginjakkan kaki di dekat area pemakaman, keheningan menyergap kehadiran kami. Terlihat deretan nisan berwarna putih – kebanyakan berbentuk salib – berjajar di antara hamparan rumput hijau yang asri. Sangat jauh dari suasana mencekam dan tidak nyaman yang dibayangkan sebelumnya.

Tampak Depan Ereveld Ancol
Sebelum masuk ke area pemakaman, Miss Eveline de Vink, sukarelawan dari OGS, dan pak Dicky, “kuncen” dari Ereveld Ancol, menjelaskan kisah berdirinya Ereveld Ancol. Berawal dari berakhirnya Perang Dunia II, pada tahun 1946 pemerintah Belanda bermaksud mendata berapa jumlah sebenarnya korban dari pihak Belanda. Dalam proses pendataan, mereka tiba di kawasan rawa di daerah Ancol. Setelah bertanya kepada banyak saksi mata, serta memperoleh informasi dari seorang biksu bisu tuli di Kelenteng Bahtera Bakti yang terletak tak jauh dari rawa tersebut, diketahui bahwa rawa tersebut merupakan tempat eksekusi tawanan oleh tentara Jepang.

Penjelasan Ms. Eveline di Pendopo
Pemerintah Belanda membersihkan rawa tersebut, menggali pemakaman massal, kemudian memakamkan kembali kerangka para korban eksekusi di tempat tersebut dan mendirikan Ereveld Ancol sebagai ereveld pertama yang didirikan di Indonesia. Selanjutnya Ereveld Ancol juga menerima beberapa makam yang dipindahkan dari pemakaman Belanda di tempat lain, seperti dari Banjarmasin, Pontianak, Medan, Makassar, dan Mandor. Di antara 2000 makam di tempat ini, terdapat 128 makam tentara Inggris dan Australia yang merupakan korban eksekusi tentara Jepang.

Setelah Eveline selesai menceritakan latar belakang Ereveld Ancol, kami diperkenankan masuk ke area pemakaman. Ada rasa yang bercampur aduk ketika kami berjalan di antara nisan-nisan tersebut. Khususnya di dekat nisan yang bertulisan “Geëxecuteerd” (berarti “korban eksekusi”), tidak terbayangkan apa yang terjadi pada masa itu, seperti apa suasananya, berapa banyak korbannya. Melihat nisan-nisan tersebut, seolah kami diingatkan bahwa perang akan selalu menyisakan kepiluan.

Makam Korban Eksekusi di Mandor
Dari bentuk nisannya, dapat diketahui agama mereka yang dimakamkan di tempat tersebut, apakah Kristen, Islam, Buddha, atau Yahudi. Terdapat nisan khusus yang menunjukkan pemakaman massal (verzamelbord). Beberapa makam terlihat bertuliskan “Onbekend”, yang berarti “tidak dikenal”. Eveline mengingatkan bahwa walaupun kita diperkenankan memotret makam, namun jika foto tersebut akan diunggah ke media social, mohon agar nama-nama pada nisan dapat disamarkan, karena tidak semua ahli waris berkenan nama-nama mereka yang dimakamkan di ereveld tersebut beredar secara luas.

Tampak Belakang Nisan di Ereveld Ancol
Sambil berjalan di area pemakaman, pak Rushdy mengisahkan sejarah Prof. Dr. Achmad Mochtar, dokter dan ilmuwan Indonesia lulusan STOVIA dan merupakan orang Indonesia pertama yang menjabat direktur Lembaga Eijkman.Pada masa pendudukan Jepang, para peneliti Lembaga Eijkman ditangkap oleh pihak militer Jepang dengan tuduhan pencemaran vaksin tetanus yang menewaskan 900 romusha di Klender. Prof. Mochtar bernegosiasi dengan pihak militer Jepang, di mana ia menyetujui mengakui tuduhan sabotase tersebut, bila para koleganya dilepaskan.

Makam Prof. Achmad Mochtar
Prof. Mochtar kemudian dieksekusi militer Jepang pada tanggal 3 Juli 1945, namun makamnya tidak pernah diketahui. Melalui investigasi pada tahun 2010 yang dilakukan Direktur Lembaga Eijkman Sangkot Marzuki dan koleganya Kevin Baird, mereka menemukan informasi keberadaan makam prof. Mochtar di Ereveld Ancol melalui dokumen milik Institut Dokumentasi Perang di Amsterdam. Selanjutnya pada tanggal 3 Juli 2010 dilakukan seremoni di makam prof. Mochtar.

Pohon Surga
Di salah satu sudut pemakaman terdapat (bekas) pohon Mindi atau Alianthus excelsa, dikenal juga sebagai Pohon Surga karena ranting-ranting pohon tersebut menengadah ke atas seperti orang berdoa. Menurut saksi mata, eksekusi tawanan di Ancol dilakukan tentara Jepang di bawah pohon tersebut, di mana saat itu merupakan satu-satunya pohon besar yang tumbuh di tempat tersebut. Pada batang pohon Mindi tersebut dipasang prasasti penggalan puisi “For the Fallen” karya Laurence Binyon:

They shall grow not old, as we that are left grow old:
Age shall not weary them, nor the years condemn.
At the going down of the sun and in the morning
We shall remember them. 
We shall remember them

Antjol, 1942-1945

Sebuah makam terletak terpisah dari deretan nisan yang lain, tak jauh dari pohon Mindi. Menurut Eveline, makam atas nama L. Ubels tersebut memiliki kisah istimewa. Luchien Ubels, atau biasa dipanggil Luut, adalah sekretaris di salah satu bank di Batavia. Sedangkan adiknya, Lambert, bekerja di Algemeen Landbouw Syndicaat (ALS) di Batavia. Pada bulan Juni tahun 1943, Direksi ALS menandatangani Deklarasi Kesetiaan kepada pemerintah kolonial Jepang. Lambert dan beberapa temannya membuat petisi menentang kebijakan tersebut. Pada 27 Agustus 1943, tentara Jepang tiba di kediaman keluarga Ubels, mencari L. Ubels atau Lambert yang terlibat dalam petisi tersebut. Namun karena Luut memiliki inisial yang sama, Luut mengaku bahwa ia yang dicari, dan kemudian ditangkap oleh tentara Jepang. Dalam tahanan Jepang, Luut juga menolak menandatangani Deklarasi Kesetiaan kepada Kempetai. Pada bulan September 1943 Luut dieksekusi bersama 18 orang ALS di Ancol.Kisah pengorbanan Luut ini baru diketahui Lambert dan keluarganya setelah perang berakhir.

Peristirahatan Terakhir Luut Ubels dan Tugu di Tengah Ereveld Ancol
Selain berziarah ke pemakaman, di Ereveld Ancol kita juga bisa menyaksikan teknologi tanggul khas Belanda. Tanggul ini dibuat pada tahn 2007 untuk mencegah air pasang masuk ke area ereveld, mengingat Ereveld Ancol terletak tepat di bibir pantai, hanya di ketinggian 50 cm di atas permukaan air. Tanggul ini diresmikan pada 25 Februari 2010, dan diberi nama “Stenen Kustdijk”, berasal dari nama P. Steenmeijer, direktur OGS Indonesia dan R. Da Costa, Kepala Bagian Teknik OGS Indonesia yang memimpin pembangunan tanggul. Apabila posisi air pasang  tinggi dan berisiko terjadi banjir di ereveld, pompa-pompa di tanggul akan menyala untuk memompa air keluar dari kompleks ereveld.

No comments: