Monday, July 29, 2013

Wisata Bukan Pantai di Lombok



Lombok merupakan salah satu surga wisata pantai di Indonesia. Kecantikan panorama dan keaslian alam di pantai-pantai Lombok telah menarik perhatian wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.  Terutama saat matahari terbit dan terbenam, panorama yang ditampilkan sangat menggetarkan hati, dengan paduan warna-warna alam yang masih sangat alami.

Pantai Malimbu
 Namun kekayaan wisata Lombok ternyata tak hanya berupa pantai. Banyak tempat-tempat wisata budaya di Lombok yang juga menarik untuk dikunjungi.  Salah satunya adalah Taman Mayura, yang terletak di Kecamatan Cakranegara, Kota Mataram. Taman ini dibangun oleh Raja Anak Agung Made Karangasem pada tahun 1744, ketika kerajaan Mataram Karangasem menguasai Lombok Barat. Nama Mayura berasal dari kata Mayora, yang dalam bahasa Sanskerta berarti burung Merak. Konon saat pembangunan taman ini, burung merak didatangkan untuk mengusir ular berbisa yang saat itu berkeliaran di sekitar taman. Obyek yang paling terkenal dari Taman Mayura adalah Bale Kambang, atau dikenal sebagai Rat Kerte, yang merupakan sebuah pendopo di atas pulau kecil yang berada di sebuah kolam besar. Pendopo berwarna biru yang dihiasi ukiran ini semula merupakan ruang sidang atau tempat bermusyawarah milik Kerajaan Mataram Karangasem. Selain Bale Kambang, wisatawan juga bisa masuk ke Pura Kelepug dan Pura Jagatnata Mayura, yang merupakan tempat ibadah umat agama Hindu.

Taman Mayura
Anda juga bisa mengunjungi Taman Narmada, yang terletak di Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat, kurang lebih 10 km arah timur dari Kota Mataram. Taman seluas 2 hektar ini dibangun pada tahun 1727 oleh Raja Anak Agung Ngurah Karang Asem dari Kerajaan Mataram Karangasem. Taman Narmada merupakan tempat peristirahatan keluarga Raja Mataram Karangasem di musim kemarau, dengan desain yang dibuat seperti miniatur Gunung Rinjani. Nama “Narmada” berasal dari Narmadanadi, nama anak Sungai Gangga yang merupakan sungai suci bagi umat Hindu di India.  Taman Narmada sangat menarik untuk dikunjungi karena tempatnya yang sejuk dengan banyak kolam dan pepohonan. Selain itu di kompleks ini terdapat beberapa bangunan kuno, seperti Bale Terang yang berbentuk rumah panggung yang terbuat dari kayu. Dari Bale Terang, wisatawan bisa melihat pemandangan ke arah Telaga Padmawangi, yang merupakan representasi Segara Muncar di Gunung Rinjani. Di Kompleks Taman Narmada juga terdapat sumber air suci dan Pura Kalasa, yang dianggap sebagai representasi puncak Gunung Rinjani. Pura Kalasa masih digunakan sebagai tempat ibadah umat Hindu, khususnya untuk penyelenggaraan Upacara Pujawali.

Taman Narmada
 Masih di kecamatan yang sama dengan Taman Narmada, terdapat Kompleks Pura Lingsar. Tempat ini memiliki keunikan tidak hanya digunakan untuk ibadah umat Hindu, tetapi juga digunakan sebagai tempat ibadah pemeluk Islam Wetu Telu. Tempat suci ini sudah ada sejak abad ke-15 dan pertama kali didirikan oleh Datu Wali Milir, seorang pangeran dari Kerajaan Medain yang menganut Agama Islam Wetu Telu. Sedangkan pura yang digunakan untuk ibadah umat Hindu dibangun pada tahun 1744 dibangun oleh Anak Agung Anglurah Gede Karangasem. Salah satu tradisi unik khas Pura Lingsar adalah Perang Topat, yang diselenggarakan oleh penganut agama Hindu dan Islam Wetu Telu sebelum masa menanam padi, sebagai bentuk rasa syukur atas limpahan karunia dari Sang Pencipta.

Pura Lingsar
 Jika Anda bepergian ke arah Lombok Tengah, Anda wajib singgah di Desa Adat Sade yang terletak di Kecamatan Rembitan, Kabupaten Lombok Tengah. Desa Adat Sade telah berdiri selama 600 tahun, dan merupakan salah satu dari 3 desa adat Suku Sasak di Lombok. Untuk berkeliling di Desa Sade, wisatawan akan dipandu oleh para pemuda Sasak untuk melihat Bale Tani, atau rumah tinggal Suku Sasak. Keistimewaan Bale Tani adalah cara perawatan lantainya yang digosok dengan kotoran kerbau. Masyarakat Sasak percaya bahwa kotoran kerbau dapat mengusir serangga, menghangatkan lantai di malam hari, sekaligus untuk menangkal serangan magis yang ditujukan pada penghuni rumah. Wisatawan juga bisa membeli cenderamata berupa tenunan songket khas Suku Sasak.

Desa Sade

Tulisan ini disertakan dalam http://www.voucherhotel.com/travel/kontes/

Friday, July 26, 2013

Mari Berwisata Ke Sungai Musi!




Jembatan Ampera di atas Sungai Musi
Palembang, kota terbesar kedua di Pulau Sumatera, sekaligus kota tertua di Indonesia. Bukti Palembang sebagai kota tertua di Indonesia tercantum dalam prasasti Kedukan Bukit, di mana Palembang diperkirakan sudah berdiri sejak tahun 682 Masehi. Selain dikenal sebagai situs Pusat Kerajaan Sriwijaya, Palembang juga memiliki Sungai Musi, yang merupakan sungai terpanjang di Sumatera. Hingga hari ini, Sungai Musi masih menjadi sarana transportasi penting bagi warga Palembang dan sekitarnya.

Di atas Sungai Musi, membentang Jembatan Ampera, yang menghubungkan sisi Ulu dan sisi Ilir dari Kota Palembang. Jembatan ini dibangun pada tahun 1962, dan pada masanya merupakan jembatan terpanjang di Asia Tenggara. Saat ini Pemda Sumatera Selatan berupaya mengembangkan wisata Sungai Musi menjadi salah satu wisata andalan kota Palembang. Saat ini telah tersedia perahu-perahu yang berangkat dari Dermaga Benteng Kuto Besak yang berada di sisi Ilir dari Jembatan Ampera. Selain itu, Pemda Sumatera Selatan juga menyediakan KM Putri Kembang Dadar yang melayani wisatawan untuk menyusuri Sungai Musi. 

KM Putri Kembang Dadar

KM Putri Kembang Dadar beroperasi secara reguler setiap hari Sabtu, Minggu, dan hari libur nasional, pukul 10.00 dan pukul 15.00. Di luar jadwal reguler, Anda bisa mencarter kapal penumpang ini untuk berbagai acara seperti seminar, reuni, jamuan makan, pesta pernikahan dan lain sebagainya. KM Putri Kembang Dadar berangkat dari Dermaga Benteng Kuto Besar, kemudian bergerak ke arah hilir. Banyak hal menarik yang bisa dilihat, seperti pemukiman penduduk di tepi Sungai Musi, pabrik PT Pupuk Sriwijaya, Pelabuhan 35 Ilir, Kompleks Perumahan Pertamina Bagus Kuning, dan Kelenteng Pulau Kemaro. Selama perjalanan, akan terlihat berbagai perahu tradisional dan modern yang digunakan untuk transportasi penduduk Sumatera Selatan. Setelah kurang lebih 1 jam perjalanan, kapal akan berputar di depan Pulau Kemaro, dan membawa wisatawan kembali ke Dermaga BKB.

Selain menikmati perjalanan susur Sungai Musi dan kemegahan Jembatan Ampera, Anda juga bisa mengunjungi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II). Museum ini terletak di depan Dermaga Benteng Kuto Besak. Museum yang dikelola oleh Pemda Sumatera Selatan ini menempati bangunan antik bekas kantor residen pada masa pendudukan Belanda. Konon lokasi tempat berdirinya bangunan ini merupakan situs bekas Benteng Kuto Lamo yang merupakan keraton Sultan Palembang, sebelum dibumihanguskan oleh Belanda. Museum SMB II dapat dianggap merupakan miniatur dari Sumatera Selatan, karena koleksinya yang sangat lengkap, mulai dari prasasti kerajaan Sriwijaya, benda-benda kebudayaan Sumatera Selatan, dan sejarah kesultanan Palembang.
Museum Sultan Mahmud Badaruddin II

Tulisan ini disertakan dalam http://www.voucherhotel.com/travel/kontes/

Tuesday, July 23, 2013

Menikmati “Little Nederland” di Semarang



Semarang, ibu Kota provinsi Jawa Tengah. Kota tua di pantai utara Jawa ini tumbuh seiring dengan majunya perdagangan komoditas perkebunan di masa kolonial Belanda. Perkembangannya didukung dengan pembangunan De Grote Postweg di awal abad 19 yang membentang antara Anyer hingga Panarukan, melewati Semarang.

Sebagai salah satu pusat perdagangan VOC di pantai utara Jawa, tak mengherankan jika Semarang memiliki berbagai peninggalan arsitektur dari masa kolonial Belanda, yang terkonsentrasi di Kelurahan Bandarharjo, Semarang Utara. Kawasan yang dikenal dengan nama “Outstadt” ini dipenuhi dengan bangunan bergaya arsitektur khas Eropa, yang mengingatkan sebagian orang dengan suasana negeri Belanda di masa lalu. Tak heran jika Kawasan Kota Tua ini kemudian dijuluki “Little Nederland”.

Titik awal untuk masuk ke kawasan “Little Nederland” adalah Stasiun Semarang Tawang. Stasiun Induk Kota Semarang ini merupakan stasiun kereta api besar tertua di Indonesia, setelah Stasiun Semarang Gudang (yang saat ini sudah tidak berfungsi). Stasiun Tawang mulai digunakan sejak 1868, namun bangunan yang sekarang terlihat adalah bangunan hasil renovasi tahun 1911. Di depan stasiun Tawang terdapat kolam penampungan air atau Polder Tawang, yang berfungsi untuk mengatur sirkulasi air di Semarang, terutama saat terjadi banjir rob yang sering melanda kawasan Semarang Utara.

Stasiun Tawang dilihat dari seberang Polder Tawang

Dari Stasiun Tawang, Anda bisa masuk melalui Jl. Merak atau Jl. Cendrawasih. Jika melalui Jl. Cendrawasih, Anda akan menemui Gedung Marabunta. Ciri gedung ini adalah dua buah patung semut Marabunta (semut merah raksasa) yang terletak di atap gedung.  Bangunan ini adalah replika gedung Komedi Stadschouwburg, yang semula berdiri di atas lahan yang sama. Gedung Komedi Stadschouwburg menjadi terkenal karena pernah menjadi tempat pementasan Mata Hari, seorang penari eksotis berkebangsaan Belanda yang dituduh menjadi mata-mata Jerman pada Perang Dunia I. Jika Anda masuk ke dalamnya terasa seperti memasuki lorong waktu, karena interior bangunan masih mempertahankan interior asli gedung Komedi Stadschouwburg, terutama bagian lantai dan langit-langitnya yang masih terbuat dari kayu.

Gedung Marabunta
 Sebelum berbelok Jl. Letjen Suprapto, Anda akan melihat satu-satunya toko oleh-oleh di kawasan Kota Tua Semarang, yaitu Wingko Babat Cap Kereta Api. Walau dikenal sebagai oleh-oleh khas Semarang, wingko yang terbuat dari kelapa ini sebenarnya berasal dari Kota Babat, Jawa Timur. Wingko Babat Cap Kereta Api merupakan produsen wingko pertama di Semarang, yang didirikan oleh Loe Lan Hwa dan The Ek Tjong. Di toko Wingko Babat Cap Kereta Api, selain membeli wingko, Anda bisa membeli oleh-oleh khas Semarang lainnya.

Wingko Babat Cap Kereta Api


Lanjutkan perjalanan Anda menelusuri Jl. Letjen Suprapto menuju Gereja Blenduk. Ikon Little Nederland dengan nama resmi Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) Immanuel ini tidak memiliki pagar, sehingga seolah menyatu dengan lingkungan di sekitarnya. Bangunan beratap kubah yang kita lihat sekarang merupakan hasil renovasi pada tahun 1895, dengan gaya arsitektur Pseudo Baroque. Gereja ini masih berfungsi sebagai rumah ibadah. Di luar jam-jam ibadah, Anda bisa melihat ke dalam dengan meminta tolong kepada petugas, dan membayar biaya kebersihan sebesar Rp 10.000 per orang. Namun jika Anda tidak ingin masuk, menikmati suasana sejuk di Taman Srigunting yang terletak bersebelahan dengan Gereja Blenduk pun sudah cukup menarik.

Gereja Blenduk


Tulisan ini disertakan dalam http://www.voucherhotel.com/travel/kontes/

Friday, July 19, 2013

[7wonders] Desa Adat Sade Rembitan dan Konservasi Budaya Suku Sasak



Desa Adat Sade Rembitan di Lombok Tengah merupakan salah satu dari 3 desa adat yang menjadi pemukiman Suku Sasak di Lombok. Desa seluas 5 hektar ini konon sudah berdiri sejak 600 tahun yang lalu, dan telah dijadikan tujuan wisata budaya sejak masa Hindia Belanda. Untuk mencapai Desa Sade cukup mudah, karena terletak di tepi jalan utama dari Mataram menuju Pantai Kuta, Kabupaten Lombok Tengah. Dari Kota Mataram, Desa Sade dapat dicapai menggunakan angkutan umum dengan lama perjalanan kurang lebih 1,5 jam. Atau dari Bandara Internasional Lombok, Anda bisa menggunakan taksi atau kendaraan sewa menuju Desa Sade, dengan lama perjalanan hanya sekitar 20 menit. Saat masuk ke Desa Sade, wisatawan akan disambut para pemuda Sasak yang akan menjadi pemandu berkeliling di desa. Wisatawan juga akan diminta mengisi buku tamu dan mengisi sumbangan sekadarnya. 


Rumah Tradisional Suku Sasak
Hal pertama yang akan ditunjukkan para pemandu kepada wisatawan adalah bangunan khas Suku Sasak. Ciri khas dari bangunan Suku Sasak adalah dinding dan tiang terbuat dari bambu, dengan atap yang terbuat dari alang-alang kering. Keistimewaan dari atap alang-alang ini adalah atap tersebut akan menyejukkan bangunan saat cuaca terik, namun sebaliknya memberikan kehangatan di malam hari. Jarak antar bangunan sangat rapat, dan masing-masing bangunan dihubungkan dengan jalan setapak yang tak bisa dilewati kendaraan bermotor.
Wisatawan akan diajak masuk ke dalam Bale Tani, atau rumah tinggal. Nama bangunannya mencerminkan profesi penghuninya sebagai petani. Bale Tani terdiri dari 3 bagian, bagian pertama yang disebut sesangkok terletak di bagian depan rumah dan digunakan untuk ruang tidur orang tua dan anak lelaki. Bagian kedua terletak di lantai atas yang disebut Dalem Bale, dan berfungsi sebagai ruang tidur anak gadis sekaligus sebagai dapur. Di dalam Dalem Bale terdapat bagian ketiga yang disebut Bale Dalam. Ruangan kecil ini digunakan untuk pengantin atau tempat melahirkan. Jumlah Bale Tani di Desa Sade kurang lebih 150 rumah, sama dengan jumlah kepala keluarga di desa tersebut. 


Salah satu keistimewaan dari Bale Tani adalah cara perawatannya. Seminggu sekali lantai Bale Tani digosok dengan kotoran kerbau yang dicampur sedikit air, kemudian setelah kering disapu dan digosok dengan batu. Penggosokkan dengan kotoran kerbau ini berfungsi untuk membersihkan lantai dari debu, memperkuat lantai, serta menghangatkan rumah di malam hari. Masyarakat Sasak percaya bahwa kotoran kerbau tersebut dapat mengusir serangga sekaligus menangkal serangan magis yang ditujukan pada penghuni rumah.
Di depan Bale Tani, terdapat lumbung padi, yang menjadi ikon khas bangunan Suku Sasak. Bangunan ini dibuat di atas empat pilar kayu dengan atap berbentuk topi yang terbuat dari alang-alang. Lumbung ini digunakan untuk menyimpan hasil panen warga untuk kebutuhan pangan selama setahun, dan masing-masing lumbung digunakan untuk menyimpan kebutuhan padi bagi 5 kepala keluarga. Menurut kepercayaan masyarakat Sasak, yang boleh mengambil padi adalah wanita yang telah berkeluarga. Dipercaya jika hal ini dilanggar, maka wanita yang melanggar tidak akan mendapat keturunan.

Adat Istiadat Suku Sasak
Sambil menunjukkan Bale Tani, para pemandu biasanya akan menceritakan pula adat istiadat masyarakat Suku Sasak, salah satunya adalah adat merarik atau selarian. Adat ini adalah ketika seorang jejaka berniat untuk menikah, ia akan melakukan “kawin lari”, dengan menculik gadis yang menjadi calon istrinya. Istilah "kawin lari" bagi suku Sasak berbeda dengan "kawin culik". Pada "kawin lari", telah terjadi kesepakatan antara sang jejaka dengan sang gadis, sedangkan pada "kawin culik", sang jejaka menculik sang gadis secara paksa. Setelah sang gadis dilarikan, beberapa hari kemudian pihak lelaki akan mengirimkan utusan adat untuk melakukan mesejati, atau memberitahukan kepada pihak keluarga perempuan bahwa anak gadisnya sudah diculik dan akan dinikahkan. Selanjutnya akan dilakukan nyelabar, atau kesepakatan mengenai biaya pesta pernikahan.
Menurut adat istiadat Suku Sasak, cara “kawin culik” ini dianggap lebih kesatria dibandingkan dengan melamar secara baik-baik. Walaupun tampaknya mudah untuk dilakukan, namun banyak peraturan dan tata cara yang harus dipenuhi. Antara lain, penculikan harus dilakukan pada malam hari, dan sang jejaka yang akan menculik harus membawa teman atau kerabat sebagai pengecoh dan saksi serta pengiring, supaya proses penculikan tidak terlihat oleh siapapun. Apabila proses penculikan terlihat, sang jejaka akan dikenakan denda oleh pihak perempuan dan pihak desa. Setelah sang gadis berhasil diculik, ia tidak boleh langsung dibawa ke rumah sang jejaka, tetapi ke rumah kerabat pihak laki-laki terlebih dahulu. Selain itu, karena susunan rumah adat Suku Sasak di mana kamar untuk anak perempuan berada di bagian paling dalam dan terletak di tingkat atas, tentunya proses penculikan sang gadis tidak akan mudah dan penuh perjuangan, karena sang jejaka harus melewati sesangkok yang ditempati orang tua sang gadis.

Kain Tenun Sasak
Kunjungan ke Desa Sade belum lengkap jika tidak melihat tenunan karya para wanita di Desa Sade. Bagi masyarakat Suku Sasak, ketrampilan menenun merupakan bagian dari tradisi, di mana terdapat aturan adat bahwa seorang perempuan Sasak tidak boleh menikah jika belum bisa menenun. Ketrampilan ini dimanfaatkan untuk membantu perekonomian keluarga, khususnya jika hasil pertanian kurang baik. Umumnya para wanita Suku Sasak mulai belajar menenun pada usia 7 hingga 10 tahun. Salah satu produk kain tenun yang menjadi ciri khas Suku Sasak adalah kain songket, yang terbuat dari benang emas atau perak yang ditenun bersama benang katun atau sutra.


Pembuatan kain tenun di Desa Sade dimulai dari pemintalan kapas menjadi benang. Benang tersebut kemudian diberi warna dan ditenun menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang terbuat dari kayu dan bambu. Pembuatan kain songket sepanjang 2 meter memerlukan waktu pengerjaan antara 1 minggu hingga 1 bulan, bergantung pada tingkat kerumitan polanya. Harga satu lembar kain songket berkisar antara 100 ribu hingga 350 ribu Rupiah. Di berbagai sudut Desa Sade terdapat kios-kios yang menjajakan kain tenun, masing-masing kios merupakan koperasi yang dikelola beberapa orang.