Tuesday, September 29, 2020

Misteri Sang Arjuna di Dataran Tinggi Dieng

Hari ini, 29 September 2020. Masih segar dalam ingatan saya, tepat 2 tahun yang lalu saya dan beberapa teman menikmati cuaca cerah di Dataran Tinggi Dieng. Sore itu kami baru saja turun dari mobil untuk meluruskan kaki, setelah perjalanan dari Kawah Sikidang. Di depan mobil, terlihat bangunan bertuliskan Pendopo Soeharto-Whitlam. Walau penasaran mengenai informasi terkait bangunan bersejarah tersebut, namun saya tak punya waktu untuk berlama-lama di sini. Kaki saya langsung mengikuti rombongan, menuju jalan setapak yang mengarah pada Kompleks Candi Arjuna.

Sambil melangkah cepat, saya mencoba menggali apa yang pernah saya baca tentang candi-candi di Dieng. Ternyata tidak banyak, selain saya diingatkan kembali tentang asal nama Dieng. Konon “Dieng” berasal dari kata dihyang, yang bermakna tempat para leluhur atau dewa. Dalam kepercayaan Hindu Kuno, dewa bertempat tinggal di tempat yang tinggi, yang melambangkan puncak Mahameru. Bisa jadi di masa lalu dataran tinggi ini diberi nama “Dieng”, karena dianggap sebagai tempat sakral yang mempertemukan antara manusia dan hyang atau dewa. Untuk itulah didirikan candi-candi yang menjadi tempat pemujaan kepada dewa.

Situs Candi Arjuna (foto koleksi pribadi)

Setibanya kami di Kompleks Candi Arjuna, baru saya bisa melihat secara jelas sosok salah satu cagar budaya kebanggaan Dieng. Bentuk candi di tempat ini sangat mirip dengan candi-candi di Gedong Songo. Dari sinilah para ahli menyimpulkan bahwa Kompleks Candi Arjuna didirikan pada masa yang sama dengan candi Gedong Songo, di antara abad ke-7 hingga abad ke-9, pada masa pemerintahan Wangsa Sanjaya. Para ahli juga memperkirakan candi-candi ini merupakan bangunan keagamaan tertua di Jawa Tengah. Namun, kapan persisnya dan alasan candi-candi ini didirikan, masih menjadi misteri. Prasasti-prasasti yang ditemukan di Dieng pun tidak ada yang secara tegas menjelaskan mengenai tahun pendirian candi atau alasan pendirian candi.

Sambil berkeliling melihat bangunan candi, sebuah pertanyaan timbul di benak saya: mengapa candi-candi di Dieng diberi nama seperti nama wayang? Kemungkinan besar nama-nama ini diberikan oleh penduduk setempat di abad ke-19, setelah candi-candi ini ditemukan pada tahun 1814 oleh Letnan H.C. Cornelius dan Captain Godfrey Phipps Baker, dalam sebuah ekspedisi arkeologi atas perintah dari Sir Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jendral Hindia Belanda pada masa itu. Dalam sketsa yang dibuat oleh Cornelius dan Baker, mereka tidak menyebutkan nama candi-candi tersebut, hanya menyebut sebagai “Candi Bramin”. Nampaknya nama-nama ini berasal dari imajinasi penduduk setempat berdasarkan bentuk candi yang mereka lihat. Seperti nama “Arjuna” diberikan pada candi yang terlihat paling gagah. Sedangkan nama “Semar” diberikan pada candi yang pendek dan melebar di depan Candi Arjuna, seolah mengikuti “Sang Arjuna” sebagai punakawan.

Candi Arjuna dan Candi Semar (foto koleksi pribadi)

Kompleks Candi Arjuna merupakan kompleks candi Dieng yang pertama ditemukan pada tahun 1814, dengan jumlah bangunan terbanyak dan dalam kondisi yang relatif utuh. Saat itu lahan yang ditempati Kompleks Candi Arjuna tergenang membentuk danau kecil. Penyelamatan candi-candi Dieng dilakukan sejak tahun 1856 ketika seorang fotografer arkeologi bernama Isidore van Kinsbergen memimpin upaya pengeringan danau dengan tujuan memotret candi-candi tersebut dengan lebih jelas. Setelah itu dilakukan upaya pemugaran dan penelitian, yang diteruskan hingga hari ini.

Kompleks Candi Arjuna terdiri dari 5 bangunan candi. Membentang dari utara ke selatan, tersebar candi-candi yang berbentuk untuk pemujaan, seperti Candi Arjuna, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, dan Candi Sembadra. Di depan Candi Arjuna terdapat Candi Semar, candi sarana yang kemungkinan digunakan sebagai tempat menyimpan sarana upacara. Dari bentuk candi-candi tersebut, sangat logis jika para ahli menyimpulkan tempat ini merupakan pusat kegiatan relijius. Hal ini didukung oleh isi Prasasti Kuti berangka tahun 809 M yang ditemukan di dekat Candi Arjuna, yang menyebutkan bahwa Gunung Dihyang merupakan pusat kegiatan religious.

Candi Srikandi dan Candi Puntadewa (foto koleksi pribadi)

Saya mendekat ke bangunan candi, untuk melihat lebih dekat seperti apa detail dari candi tersebut. Dari kelima candi yang ada di kompleks ini, terlihat Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Srikandi, dan Candi Puntadewa berdiri dengan utuh, sedangkan Candi Sembadra dalam proses pemugaran. Namun hanya Candi Arjuna dan Candi Semar yang dapat dimasuki wisatawan. Sekilas bentuknya memang tipikal candi-candi Hindu dari Jawa bagian utara: candi tunggal dengan ukuran kecil dan memiliki ornamen sederhana. Hal ini sangat kontras dengan candi-candi di Jawa bagian Selatan yang berukuran besar dan kaya dekorasi, seperti Candi Prambanan.

Perbedaan gaya ornamen Kala yang terletak di atas pintu candi menunjukkan perbedaan masa pembangunan keempat candi tersebut. Dari gaya ornamen Kala, diduga Candi Arjuna dan Candi Semar merupakan candi yang dibangun pertama kali, antara tahun 760-812 M. Di masa berikutnya antara tahun 812-928 M, dibangun Candi Puntadewa. Sedangkan Candi Sembadra dan Candi Srikandi diperkirakan dibangun setelah tahun 928 M. Ini dipertegas dengan gaya arsitektur keempat candi yang sedikit berbeda satu dengan yang lain. Jika Candi Arjuna dipengaruhi gaya candi India yang memiliki relung yang menjorok ke dalam, candi-candi pemujaan lainnya justru memiliki lebih banyak pengaruh budaya lokal dengan relung yang menjorok keluar.

Yoni di Candi Arjuna (foto koleksi pribadi) 

Jaladwara di Dinding Utara Candi Arjuna (foto koleksi pribadi)

Saya mencoba masuk ke Candi Arjuna, walaupun tidak bisa berlama-lama karena berebutan dengan wisatawan lain. Di dalam ruangan candi terlihat yoni berukuran sedang. Yoni merupakan bagian dari upacara suci, di mana biasanya digunakan berpasangan dengan lingga. Lingga dan yoni biasanya merupakan lambang kesuburan. Dalam upacara, air dituangkan di atas lingga, yang akan mengalir ke yoni. Dari yoni air mengalir ke luar candi melalui saluran air dengan ornamen jaladwara, untuk diterima umat di luar. Di Candi Arjuna, jaladwara tersebut terpasang di dinding utara candi, tepat di bawah relung.

Sebuah info menyebutkan bahwa jumlah candi yang tersebar di kawasan ini diperkirakan berjumlah 400 buah. Saat ini hanya tersisa 8 bangunan yang tersebar dalam 4 kelompok. Seperti candi-candi di daerah lain, kemungkinan candi-candi lain rusak akibat bencana alam, aus karena cuaca, dijarah pencuri, atau terkena gusur karena perluasan pemukiman. Namun di Dieng ada faktor lain yang membuat candi-candi ini lebih cepat rusak, yaitu karena adanya uap solfatara dari kawah Sikidang yang bersifat korosif. Untuk itu perlu dipikirkan bagaimana melindungi candi-candi yang sudah dipugar agar tidak cepat rusak termakan cuaca dan uap solfatara.


Para Seniman Berpakaian Wayang di Candi Arjuna
(foto koleksi pribadi)

Setelah selesai dipugar pada tahun 2008, Kompleks Candi Arjuna resmi ditetapkan sebagai cagar budaya, sesuai dengan UU RI No. 11 tahun 2010. Hal ini menandakan pemerintah menyadari bahwa Situs Candi Arjuna memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, agama dan kebudayaan, sehingga wajib untuk dilestarikan. Agar cagar budaya dalam bentuk situs ini juga berfungsi untuk melindungi warisan budaya lainnya, Dinas Pariwisata Banjarnegara dan Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) memanfaatkan Situs Candi Arjuna sebagai venue acara budaya tahunan Dieng Culture Festival sejak tahun 2010. Berbagai acara dilaksanakan di tempat ini, termasuk tradisi Ruwatan Rambut Gimbal, serta ibadah Galungan bagi umat Hindu.

Saya dan Rekan-Rekan Seperjalanan (foto koleksi pribadi)

Sayang sekali, karena hari sudah sore, dan kami sudah letih setelah paginya mengejar matahari terbit di Posong, kami tak sempat melihat candi-candi lain. Dalam perjalanan kembali ke Temanggung, terlihat sosok Candi Bima yang berdiri dengan gagah, seolah memanggil kami untuk singgah. Sabar ya, setelah pandemi ini berakhir, saya akan kembali untuk menemui kalian...