Thursday, September 4, 2014

Travel Guide: Museum Sultan Mahmud Badaruddin II - Palembang

Museum Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) merupakan salah satu destinasi wisata yang populer di Kota Palembang di pusat Kota Palembang. Nama museum ini diambil dari nama Sultan Mahmud Badaruddin II, raja terakhir dari dinasti Palembang dan juga merupakan sultan yang paling terkenal karena perjuangannya menentang kaum kolonial. Saat ini Museum SMB II dikelola oleh Pemda Sumatera Selatan.
Tampak Depan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II
 Museum SMB II menempati bangunan tua dan antik yang pernah digunakan sebagai rumah Regeering Commissaris pada masa kolonial Belanda. Arsitektur bangunan ini unik, karena merupakan paduan arsitektur Melayu dan Eropa. Konon lokasi tempat berdirinya bangunan ini merupakan situs Keraton Kuto Tengkuruk yang merupakan istana tempat Sultan Palembang bertahta. Istana Kesultanan Palembang ini kemudian dibumihanguskan oleh Belanda pada tahun 1823, untuk kemudian dibangun lagi menjadi bangunan yang kita lihat sekarang. Walaupun merupakan bangunan antik, namun suasana museum tidak terkesan menyeramkan.

Koleksi Museum SMB II terdiri dari replika prasasti, benda-benda kebudayaan Sumatera Selatan, dan sejarah kesultanan Palembang. Terdapat juga patung-patung peninggalan kerajaan Sriwijaya, yang merupakan bukti kebesaran kerajaan tersebut pada masa jayanya. Sedangkan pada koleksi budaya, Anda bisa melihat pelaminan adat pengantin Sumatera Selatan, alat-alat musik khas Sumatera Selatan, kain songket dan batik khas Sumatera Selatan, serta penjelasan mengenai makanan khas Sumatera Selatan. 

Lokasi dan Cara Menuju Ke Destinasi
Museum SMB II terletak di Jl. Sultan Mahmud Badaruddin II No. 2, Palembang. Untuk mencapai museum ini, anda bisa naik angkutan kota Palembang jurusan terminal Jembatan Ampera (misalnya Kertapati-Ampera, Tangga Buntung-Ampera, Plaju-Ampera, Pakjo-Ampera), turun di Terminal Jembatan Ampera. Anda juga bisa naik Bus Rapid Transit Trans Musi koridor 1 (Terminal Alang-Alang Lebar-Jembatan Ampera) dan turun di Terminal Jembatan Ampera. Dari Terminal Jembatan Ampera, anda meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki ke arah Dermaga Benteng Kuto Besak menuju Museum. Jika menggunakan kendaraan pribadi, masuk melalui Jalan Merdeka, belok kiri sebelum kantor Walikota ke Jalan Rumah Bari, di ujung jalan belok kiri dan lurus melewati Benteng Kuto Besar menuju Museum. Museum SMB II terletak kurang lebih di depan Dermaga Benteng Kuto Besak.

Jam Buka dan Harga Tiket 
Museum buka setiap hari Senin sampai dengan Kamis pukul 08.00 hingga 16.00 WIB, Jum’at pukul 08.00 hingga 11.30 WIB, dan Sabtu dan Minggu pukul 09.00 hingga 16.00 WIB. Harga tiket masuk Rp 2.000,- per orang.

Tempat Menarik Lain Di Sekitar Destinasi
Dari Museum SMB II, Anda dapat melihat Jembatan Ampera dari dekat. Jembatan Ampera merupakan sarana penghubung Seberang Ulu dan Seberang Ilir dari kota Palembang. Jembatan ini dibangun pada tahun 1962 atas prakarsa Bung Karno, dan semula diberi nama Jembatan Bung Karno. Pada masa itu, jembatan ini merupakan jembatan terpanjang di Asia Tenggara. Namun pada masa awal orde baru, jembatan ini berganti nama menjadi Jembatan Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera). Pada awalnya badan jembatan ini bisa diangkat sehingga kapal besar bisa melintas di bawahnya, namun sejak tahun 1970 tidak pernah diangkat lagi karena mengganggu lalu lintas.
Jembatan Ampera
Di sisi barat Museum SMB II terdapat Benteng Kuto Besak, yang merupakan salah satu situs bersejarah lainnya di Kota Palembang. Benteng berukuran 288,75 meter x 183,75 meter setinggi 10 meter dengan ketebalan dinding 2 meter ini dibangun oleh Sultan Mahmud Badaruddin I pada tahun 1780. Namun benteng ini tidak dibuka untuk umum, karena digunakan untuk kantor Kodim.

Pada hari Sabtu, Minggu atau hari libur nasional, anda bisa melakukan perjalanan menyusuri sungai Musi dengan KM Putri Kembang Dadar dan melihat aktivitas di sepanjang sungai Musi, termasuk Pasar 16 Ilir, pelabuhan Boom Baru, pabrik pupuk PT Pusri, dan kompleks Pertamina Plaju. Pada hari-hari lain, dari dermaga BKB, anda dapat menyewa perahu motor, perahu wisata kecil atau kapal ketek untuk menyusuri Sungai Musi hingga ke pulau Kemaro. Pulau Kemaro merupakan delta Sungai Musi di mana di sana terdapat kelenteng yang ramai dikunjungi penziarah, terutama saat peringatan Cap Go Meh.

Tulisan ini merupakancontoh travel guide untuk event Giveaway #WisataNusantara Komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis


Wednesday, August 13, 2014

Pantai Tanjung Tinggi, Di Mana Batu-Batu Tinggi Berkumpul

Nama Pantai Tanjung Tinggi mungkin tidak setenar film “Laskar Pelangi”. Masih ingatkah Anda dengan adegan saat Ikal dan kawan-kawannya beserta Bu Muslimah bermain petak umpet di balik batu-batu besar sambil menunggu matahari terbenam? Ya, Pantai Tanjung Tinggi merupakan tempat pengambilan gambar adegan ikonik tersebut. Pantai yang terletak di Desa Keciput, Kecamatan Sijuk, 27 kilometer dari Kota Tanjungpandan ini merupakan salah satu tujuan wisata utama di Pulau Belitung.
Saya Dan Papan Nama Lokasi Shooting "Laskar Pelangi"
Ini adalah kunjungan kedua saya jalan-jalan ke Pantai Tanjung Tinggi, dan kali ini saya bersama adik saya Anggi dan dua orang sahabatnya. Saat itu bertepatan dengan long weekend di penghujung bulan Maret 2014, sehingga pantai ini banyak dikunjungi keluarga yang tengah menikmati liburan. Jika pantai-pantai lain dicirikan dengan pasir halus dan pohon-pohon kelapa, ciri khas dari Pantai Tanjung Tinggi adalah hamparan batu-batu granit berukuran raksasa yang tersebar di sepanjang pantai. Batu-batu ini menjulang tinggi, sedemikian tingginya hingga bisa mencapai 15 meter, dan jumlahnya jauh lebih banyak daripada batu-batu granit yang kami temui pada saat kami melakukan island hopping di pulau-pulau kecil di sisi utara Belitung. Namun demikian, di antara batu-batuan tinggi tersebut, masih tersisa ceruk berpasir dengan perairan yang tenang sepanjang kurang lebih 150 meter, sehingga aman untuk digunakan sebagai tempat beraktivitas.
Ceruk Berpasir Tempat Pengunjung Berenang Dan Main Kano
Sambil melewati celah di antara batu-batu besar untuk mencari posisi cantik untuk berfoto narsis dengan latar belakang batu-batu besar tersebut, kami memperhatikan aktivitas pengunjung yang tengah jalan-jalan di Pantai Tanjung Tinggi. Sebagian besar pengunjung adalah anak-anak, dan mereka tengah menikmati bermain air atau berenang di teluk kecil yang berada di dalam ceruk. Beberapa pengunjung juga tengah menikmati aktivitas berkano mengelilingi ceruk, sedangkan sebagian pengunjung ada yang melakukan aktivitas yang sama dengan kami: membuat pose-pose cantik untuk berfoto.
Batu-Batu Granit Raksasa
Setelah puas berfoto-foto di sekitar batu-batu besar yang berada di dekat ceruk berpasir, Pak Darwis, supir mobil rental yang mengantar kami berempat selama di Belitung, membawa kami berjalan-jalan melewati batu-batuan besar, mencari spot terbaik untuk menikmati panorama matahari terbenam. Sesekali kami harus mendaki beberapa batu yang cukup besar, atau menyelip di celah antara batu-batu besar, untuk mencapai sebuah batu besar landai yang tepat menghadap ke arah barat. Setelah kami tiba di batu besar landai tersebut, kami pun mengambil posisi duduk yang nyaman. Selain kami, ada sekitar 10 orang yang juga sedang duduk-duduk di batu-batu tersebut, sama-sama menunggu momen matahari terbenam.
Anggi, Fitri, dan Fitri Di Atas Batu Besar
Sambil melepas dahaga dengan menikmati minuman Liang Teh Cap Panda, kami berempat melayangkan pandangan ke arah cakrawala. Dari kejauhan, samar-samar terlihat Pulau Lengkuas, pulau terluar di perairan Belitung utara yang ditandai dengan mercusuarnya. Pulau tersebut tepat berada di arah barat, sehingga seandainya kami bisa menikmati panorama matahari terbenam, pulau Lengkuas dan mercusuarnya akan menjadi latar depannya. Melihat langit yang berwarna kelabu dan arak-arakan awan yang kian menebal, saya jadi harap-harap cemas, akankah kami bisa menikmati panorama matahari terbenam?
Matahari Yang Bersembunyi Di Balik Awan
Tepat pukul 17.00 WIB, matahari memutuskan untuk bersembunyi di balik awan. Langit semakin kelabu, dan terlihat awan semakin menebal, tak lagi menyisakan celah bagi cahaya matahari untuk lewat. Gagal sudah panorama matahari terbenam hari ini! Sebelum warna langit menjadi semakin gelap, perlahan kami meninggalkan batuan besar yang kami duduki sebelumnya, untuk meninggalkan pantai berbatu besar yang cantik dan unik ini.
Suasana Pantai Tanjung Tinggi Saat Matahari Terbenam



Artikel ini diikutsertakan dalam event "Traveling ke Pantai Indonesia" bersama Liang Teh Cap Panda.

Friday, July 18, 2014

Mesin Waktu di Museum Tanjung Pandan, Belitung

I love museum very much. Setiap kali pergi ke tempat baru, yang pertama saya cek adalah ada museum apa di tempat itu. Demikian juga ketika adik saya dan teman-temannya mengajak saya pergi ke Belitung di akhir bulan Maret tahun 2014, hal pertama yang saya browsing adalah apakah di pulau cantik ini ada museumnya, dan ternyata ada!
Di hari ketiga kunjungan kami ke Belitung, setelah menikmati panorama pantai dan desa nelayan di Tanjung Binga, Pak Darwis, pengemudi mobil yang merangkap guide membawa saya, dik Anggi, Fitri dan Fitriah menuju Museum Tanjung Pandan. Museum Tanjung Pandan bukanlah museum baru, karena telah berdiri sejak tahun 1962 sebagai Museum PN Tambang Timah Belitung. Pendirian museum ini diprakarsai oleh Dr. R. Osberger, seorang ahli geologi berkebangsaan Austria. Museum ini menempati sebuah bangunan tua bekas kantor NV Biliton Maatschappij Distrik Tanjungpandan yang terletak di Jl. Melati.
Museum Tanjung Pandan

Kedatangan kami di Museum Tanjung Pandan disambut sebuah tugu batu yang menggambarkan tangan memegang linggis, seolah mempertegas keberadaan pertambangan timah yang pernah menjadi urat nadi industri di pulau Belitung. Tugu tersebut semula berada di halaman bangunan Jam Gede di Jl. Veteran, dan merupakan tugu peringatan 75 tahun penambangan timah di Belitung. Pada tugu tersebut terdapat prasasti berangka tahun 1926 yang memuat nama-nama pioneer penambangan timah di Belitung.
Tugu Peringatan 75 Tahun Pertambangan Timah di Belitung

Baru melihat bagian luar bangunan museum, hawa “ja-doel” langsung menyelimuti kami berempat. Saya sempat underestimate, apa yang bisa dilihat di sebuah museum kecil yang "ja-doel" di sebuah kota kecil yang berada di tengah pulau kecil? Ternyata banyak! Karena konsep awal museum ini merupakan Museum Geologi, sebagian besar koleksinya adalah benda-benda terkait pertambangan timah. Di antara koleksi tersebut, terdapat miniatur kapal keruk yang digunakan untuk menambang timah di laut dan sungai, berbagai koleksi contoh batuan dan bijih logam yang ditemukan di Belitung, serta maket berbagai model penambangan timah. Sementara saya sibuk membaca semua keterangan pada koleksi batuan dan bijih logam yang dikumpulkan oleh Dr. Osberger, Fitri sibuk memotret maket-maket model penambangan timah.
Kapal Keruk KM Dendang

Museum Tanjung Pandan juga memiliki koleksi fauna endemik yang banyak ditemukan di Belitung, baik dalam bentuk awetan maupun binatang hidup. Saya berkesimpulan bahwa fauna endemik yang paling populer di Belitung adalah buaya. Di dalam museum, terpajang awetan buaya betina yang pernah ditemukan di kawasan Gantung pada tahun 1959, yang kemudian diserahkan dan dipelihara di museum ini. Buaya tersebut mati pada tahun 2003 karena sudah tua dan sakit. Sementara itu di kebun binatang mini yang terletak di bagian belakang museum terdapat beberapa koleksi buaya, di mana buaya terbesar yang dipelihara di museum ini adalah buaya yang pernah ikut main dalam film "Laskar Pelangi". Melihat di kandang mereka terdapat beberapa bangkai ayam yang mengapung di permukaan air, rasanya mengerikan membayangkan mereka tengah memakan bangkai-bangkai ayam tersebut. Sementara saya sibuk memotret buaya dan beberapa binatang lainnya yang dipelihara di kebun binatang mini tersebut, dik Anggi dan teman-temannya justru sibuk berfoto narsis dengan latar belakang fasilitas bermain anak-anak yang terletak di halaman belakang museum!

Buaya Yang Ikut Bermain Dalam Film "Laskar Pelangi"
Puas berfoto-foto di halaman belakang museum, kami kembali masuk ke bangunan museum untuk melihat benda-benda tradisional peninggalan berbagai kerajaan yang pernah berdiri di Belitung. Ya, walaupun hanya merupakan pulau yang kecil, di Belitung pernah berdiri empat buah kerajaan, yaitu Kerajaan Belantu, Kerajaan Badau, Kerajaan Balok, dan Kerajaan Buding. Museum ini juga memiliki ruangan khusus yang menyimpan koleksi Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam (BMKT) yang diangkat dari kapal karam di sekitar perairan Selat Karimata, Selat Gaspar, dan Selat Bangka. BMKT tersebut umumnya berupa keramik dan porselin antik dari berbagai masa. BMKT yang tertua berasal dari jaman Dinasti Tang di abad ke-7 Masehi. Keberadaan barang-barang ini merupakan bukti bahwa sejak masa silam Belitung merupakan bagian dari jalur pelayaran perdagangan internasional.
Koleksi BMKT di Museum Tanjung Pandan

Salah satu ruangan di museum ini didedikasikan untuk memamerkan koleksi terkait suku Tionghoa yang berada di Belitung, seperti benda-benda dari porselin, perlengkapan sembahyang, dan perabot dengan dekorasi khas Tionghoa. Suku Tionghoa di Belitung merupakan keturunan Tionghoa Hokkien dan Hakka. Kedatangan mereka pertama kali di Belitung adalah pada abad ke-13, ketika Tentara Mongol yang menyerbu Kerajaan Singasari singgah untuk memperbaiki kapal. Sebagian di antara mereka menikah dengan penduduk setempat, dan menjadi cikal bakal penduduk Belitung. Namun gelombang besar kedatangan suku Tionghoa di Belitung baru terjadi pada masa penambangan timah secara besar-besaran di abad ke-19.
Perabot Gaya Tiongkok

Sesaat sebelum kami meninggalkan museum, penjaga museum menunjukkan sepasang patung singa setinggi 1,5 meter di halaman museum. Patung singa khas Tiongkok atau patung Shishi berwarna kuning ini semula “mengawal” rumah Kapitan Ho A Jun, kepala komunitas Tionghoa pertama pada tahun 1852. Bentuk dan gaya patung Shishi yang ada di museum ini berbeda dengan gaya patung sejenis yang pernah saya lihat di tempat lain. Jika patung Shishi umumnya memiliki ornamen yang detail dan kaya warna, patung Shishi ini justru sangat sederhana. Ini mungkin merupakan representasi masyarakat Tionghoa yang ada di Belitung berasal dari pekerja pertambangan yang sederhana. Sambil memperlihatkan patung tersebut, penjaga museum pun bercerita bahwa konon ketika akan dipindahkan dari halaman rumah yang pernah ditempati Kapitan Ho A Jun di pusat kota Tanjung Pandan, patung ini terasa sangat berat, sehingga mereka menduga patung ini tidak mau dipindahkan dari tempatnya semula. Duh, bikin makin spooky aja....
Patung Shishi Betina

Kunjungan ke Museum Tanjung Pandan meninggalkan kesan mendalam bagi saya. Bayangkan saja, dalam sebuah museum yang berukuran relatif kecil dengan harga tiket masuk relatif murah, tersimpan begitu banyak koleksi yang merepresentasikan kisah sejarah Pulau Belitung. Apalagi tempat ini juga dilengkapi dengan kebun binatang mini dan area bermain yang bisa menjadi daya tarik bagi keluarga untuk mengunjungi museum ini. Walaupun sebagian besar koleksi masih ditampilkan dengan sederhana, namun penataannya cukup baik dan menarik serta informatif. Saya berharap Museum Tanjung Pandan dapat ditata dengan lebih baik dan lebih modern, tanpa meninggalkan nuansa bangunan tempo doeloe yang merupakan bagian dari sejarah Tanjung Pandan dan Belitung.

Wednesday, June 18, 2014

Asyik, Jelajah Nusantara!



Alhamdulillah, antologi kedua saya akhirnya terbit ...

Masih tentang traveling, dan masih dengan grup Diva Press, antologi yang ditulis dan dikumpulkan oleh para penulis dari Komunitas Kampung Sastra ini sejatinya ditulis sebelum Love Journey #2, namun atas kebijakan dari Diva Press, Love Journey #2 ternyata diterbitkan lebih dulu daripada buku Asyik Jelajah Nusantara ini. Sebelum membeli buku yang dibanderol dengan harga Rp 50.000 per eksemplar. Mari kita lihat sinopsisnya berikut ini.

Selain kekayaan alam, Indonesia juga kaya akan tempat-tempat eksotis. Hal inilah yang menyebabkan banyak wisatawan, baik dari manca maupun lokal, yang tertarik untuk mengunjunginya, walaupun sangat jauh dari tempat tinggal. Selain menawarkan keindahan pesona alam, ada juga tempat yang menyajikan kekayaan budaya atau sejarah masa lalu. Tidak banyak negara yang mempunyai potensi negara yang sedemikian elok. Hanya di negara kita, negara Indonesia.

 Lalu, tempat-tempat wisata apa sajakah yang menawarkan banyak pesona itu? Baca saja buku ini! Di dalamnya, diberikan gambaran beberapa tempat wisata dari Sabang sampai Merauke, mulai dari Gua Jepang dan Gua Belanda di Jawa Barat sampai Kepulauan Raja Ampat di Papua. Semuanya disajikan secara lugas dalam penuturan beberapa penulis yang benar-benar pernah berkunjung ke tempat-tempat tersebut.

 Penasaran pengen tahu lebih jauh tentang tempat-tempat wisata tersebut? Segera miliki buku ini dan berkunjunglah ke sana. Niscaya, kita akan semakin bersyukur dengan anugerah Tuhan. Selamat membaca!

Monday, January 6, 2014

[KulinerDaihatsu] Menikmati Hidangan Ikan Khas Bali di Warung Lesehan Mertha Sari

“Tahu Warung Lesehan Mertha Sari, Pak?”

Pak Hendro, supir mobil rental Daihatsu Xenia yang mengantar kami dari Amlapura menuju ke Denpasar, sejenak mengernyitkan dahinya mendengar pertanyaan kami. Ia kemudian menghubungi teman-temannya melalui ponsel, dan tak lama kemudian mendapatkan petunjuk cara menuju tempat tersebut. Kurang lebih 300 meter setelah melewati Pura Goa Lawah, pak Hendro membelokkan mobilnya ke kanan, masuk ke jalan kecil yang bertulisan “Jalan Pesinggahan”. Kurang lebih 100 meter dari jalan raya, kami akhirnya menemukan warung yang kami cari tersebut.



Dilihat dari luar, bangunan Warung Lesehan Mertha Sari tampak biasa saja. Bahkan nama warung ini hanya ditulis dengan spanduk kain. Sekilas dari luar tampaknya warung ini sepi, hanya terlihat orang-orang yang sedang membakar sate. Namun ketika kami masuk, rupanya warung ini jauh dari sepi, karena kami hampir tidak kebagian meja. Bagian depan bangunan warung ini digunakan untuk lesehan, sedangkan bagian belakangnya tersedia meja dengan tempat duduk.  Akhirnya kami memilih duduk di bagian belakang, di meja yang tengah dibersihkan oleh pelayan warung. Mata sempat melirik ke arah makanan-makanan ringan yang dijual di meja kasir. Eh, tapi nanti dulu, camilan bisa menunggu, karena kami mau makan siang dulu!



Untuk makan di Warung Lesehan Mertha Sari, tidak ada pilihan menu makanan. Mereka hanya menyediakan satu jenis menu yaitu menu paket ikan, yang terdiri dari nasi, satu tusuk sate ayam, dua tusuk sate lilit ikan, satu potong pepes ikan, sup ikan, sayur plecing, kacang goreng,  dan sambel matah. Tinggal menyebutkan berapa orang yang makan, mereka akan menghidangkan makanan dengan porsi sejumlah orang yang akan makan. Model rumah makan seperti inilah yang menjadi favorit wisatawan yang suka bingung saat memilih menu makanan atau tengah dikejar waktu, seperti saya  dan ibu saya pada hari itu.

Sambil menunggu paket makanan kami datang, kami melihat tamu yang datang ke warung ini silih berganti. Walaupun Warung Lesehan Mertha Sari ini tampaknya biasa saja, namun ternyata tempat ini masuk dalam daftar wisata kuliner yang wajib dikunjungi wisatawan, khususnya mereka yang pergi ke arah Padangbai atau Candidasa. Selain tamu domestik, terdapat pula beberapa wisatawan asing yang tampak menikmati hidangan di restoran ini. Wah, kalau mereka bisa menikmati makanan di warung ini, harusnya kami juga cocok ya...

Setelah menunggu kurang lebih 10 menit, akhirnya paket makanan kami datang. Seperti rasa makanan Bali pada umumnya,  setiap masakan di Warung Lesehan Mertha Sari memiliki rasa spicy yang menonjol. Makanan pertama yang wajib dicoba adalah sambel matahnya, berupa campuran bawang merah, sereh, cabe, minyak, dan bumbu seperti garam, gula, dan terasi. Di warung ini, sambal matahnya dicampur bersama kacang goreng. Rasa pedas yang nikmat membuat saya mencocol sambal ini dengan nasi, dan memakannya bersama pepes ikan dan sayur plecing. Sayang sekali, karena kangkung sedang sulit didapat, hari itu saya tidak kebagian plecing kangkung, dan diganti dengan sayuran lainnya.


Makanan yang menjadi primadona Warung Lesehan Mertha Sari adalah sate lilit ikan. Satu gigitan pada daging ikan yang dililitkan pada batang bambu dan dibakar ini terasa gurih dan spicy. Saya menebak-nebak, rasa gurih dan spicy-nya karena dalam ramuan satenya diberi kelapa dan cabai. Karena rasanya yang nikmat ini, kami kemudian untuk membeli 10 tusuk sate lilit ikan untuk dijadikan buah tangan di rumah.

Yang surprising bagi saya adalah sup ikannya (atau dari bentuknya sebenarnya lebih cocok sebagai soto ikan). Berdasarkan pengalaman, tidak banyak rumah makan yang bisa memasak sup ikan tanpa meninggalkan rasa amis. Dan Warung Lesehan Mertha Sari ini adalah salah satu dari rumah makan yang tidak banyak itu...  Saya rasa bumbu rempah-rempah yang membuat sup ini lebih mirip soto telah membantu agar daging ikannya tidak terasa amis. Dan segarnya kuah sup ikan ini menutup makan siang kami di Warung Mertha Sari.

Selesai makan, kami pun pergi ke kasir untuk membayar. Sempat degdegan mengingat harga makanan di Bali biasanya kurang ramah bagi wisatawan domestik, ternyata kami hanya perlu membayar Rp 25.000 per porsi! (keterangan: harga ini pada pertengahan tahun 2013) Wah, ini harus direkomendasikan kepada teman-teman traveler, terutama mereka yang ingin bepergian ke Bali Timur, jangan lupa mampir ke warung ini, dijamin puas!

Warung Lesehan Mertha Sari beralamat di Jalan Pesinggahan, Kecamatan Dawan, Klungkung, dan buka setiap hari dari pukul 08.00-17.00 WITA. Untuk mengunjungi warung ini dari arah Denpasar, masuk Jl. Prof. Dr. Ida Bagus Mantra (Bypass Ketewel) ke arah timur hingga pertigaan Kusamba. Belok kiri ke arah Padang Bai, kurang lebih setelah berkendara 5 menit dari pertigaan tersebut terdapat papan nama warung tersebut di sisi kanan jalan. Belok kiri masuk Jl. Pesinggahan, kurang lebih 100 meter dari jalan besar Anda akan menemukan Warung Lesehan Mertha Sari. Dari Kota Denpasar, lama perjalanan menuju Warung Lesehan Mertha Sari kurang lebih antara 1-1,5 jam.