Thursday, May 31, 2018

Kuil-Kuil Hindu di Kota Bangkok

Kita mengenal Thailand sebagai salah satu negara dengan mayoritas penduduknya menganut agama Buddha. Di seluruh penjuru negeri, tersebar arca Sang Buddha dan vihara yang digunakan untuk beribadah. Tapi tahukah Anda bahwa Thailand juga memiliki kuil Hindu, di pusat keramaian kota Bangkok?

Medio Juli 2016, hari ini jadwal saya terbang dari Swarnabhumi masih pukul 14.00, sehingga saya membunuh waktu dengan naik Bangkok Skytrain menuju pusat kota. Tujuan saya adalah Kuil Erawan yang menjadi salah satu ikon Kota Bangkok. Kuil Erawan, atau San Thao Maha Phrom, terletak di Grand Hyatt Erawan Hotel, di daerah Pathum Wan, dikelilingi beberapa pusat perbelanjaan besar lainnya. Kuil ini didirikan bersamaan dengan pembangunan Hotel Erawan pada tahun 1956, yang berdiri di lahan tempat Hotel Grand Hyatt Erawan saat ini. Saat Hotel Erawan didirikan, banyak hambatan dalam pembangunannya, sehingga pemerintah Thailand sebagai pemiliknya merasa perlu untuk membangun sebuah kuil untuk menetralisir karma buruk tersebut. Percaya atau tidak, setelah pendirian kuil ini, pembangunan Hotel Erawan berjalan lancar. Tahun 1987, hotel ini diruntuhkan, dan kemudian dibangun Hotel Grand Hyatt Erawan.

Phra Phrom di Kuil Erawan
Kuil Erawan merupakan rumah bagi arca Phra Phrom, yaitu perwujudan Dewa Brahma atau dewa pencipta dalam kepercayaan Hindu. Keistimewaan arca Phra Prhom adalah memiliki empat wajah yang menghadap ke empat penjuru mata angin. Empat wajah ini merupakan perlambang dari 4 sifat baik, yaitu welas asih, murah hati, adil, dan meditasi. Phra Phrom digambarkan memiliki 8 tangan, yang melambangkan kehadiran dan kekuatan. Dari 8 tangan tersebut, 4 tangan memegang benda suci, sedangkan 4 tangan lainnya memegang senjata untuk mengusir kebathilan.

Penziarah di Phra Phrom
Dewa Brahma merupakan dewa agama Hindu, sehingga Kuil Erawan sejatinya adalah kuil untuk agama Hindu. Karena terletak di Bangkok, banyak yang salah kaprah menyebut arca Phra Phrom sebagai Four-Faced Buddha. Namun tampaknya hal ini tidak menjadi permasalahan bagi masyarakat Bangkok, bahkan terlihat banyak penduduk yang lewat dan memanjatkan doa di kuil tersebut. Dengan lokasi yang berada di sudut persimpangan besar dan merupakan kuil terbuka, Kuil Erawan banyak dikunjungi orang, baik yang akan beribadah maupun hanya melihat-lihat.

Penjual Bunga dan Perlengkapan Ibadah
Di trotoar sekitar Kuil Erawan banyak deretan penjual bunga dan perlengkapan untuk ibadah, sehingga kuil ini terlihat hidup dan penuh warna. Para penziarah mempersembahkan karangan bunga marigold, dupa, lilin, serta memanjatkan doa meminta perlindungan dan agar segala hambatan disingkirkan. Saya beruntung sekali, karena pada saat bersamaan dapat menyaksikan persembahan tari tradisional Thailand sebagai lambang doa kepada Dewa Brahma.

Penari Tradisional Thailand di Kuil Erawan
Dari kuil Erawan, saya berjalan ke arah Central World, menuju dua kuil Hindu yang terlihat sangat mencolok di halaman Central World. Inilah Phra Trimurti (Thep Thattatheraya atau kuil Trimurti) dan Phra Phi Khanet (kuil Ganesha). Kuil Trimurti merupakan perwujudan dari 3 dewa utama dalam agama Hindu: Brahma (sang pencipta), Vishnu (sang pemelihara), dan Shiva (sang penghancur). Dalam kepercayaan masyarakat Thailand, Trimurti merupakan dewa cinta. Kuil ini didirikan untuk mengimbangi kekuatan dari Kuil Erawan. Mereka yang patah hati, kesepian, atau pasangan yang ingin hubungannya langgeng akan berdoa di kuil ini, dengan mempersembahkan bunga seperti mawar merah.

Kuil Trimurti di Depan Central World
Sedangkan kuil yang terletak di samping kanan kuil Trimurti adalah tempat memuja Ganesha, yang merupakan dewa pendidikan, ilmu pengetahuan, kebijakan, dan kesejahteraan. Dewa ini sangat populer di kalangan pelajar, guru, dan profesi lain yang membutuhkan kebijaksanaan. Dikenal sangat menyukai adi karya seni, Ganesha menginspirasi kreativitas dan kesuksesan bagi para pemujanya. Para pemujanya akan membawa bunga marigold, buah-buahan, dupa, atau kudapan khas Thailand, serta berdoa untuk keberuntungan dan berkat berupa kebijakan dan kreativitas.

Kuil Ganesha di sisi kanan Kuil Trimurti
Dewa Ganesha mudah dikenali karena berbentuk manusia berkepala gajah dengan perut buncit. Ganesha memiliki 4 buah tangan, tangan pertama memegang jerat yang bermakna memotong nafsu duniawi dan menaklukan emosi. Tangan kedua memegang senjata yang membantu menghancurkan kejahatan. Tangan ketiga memegang potongan gading yang melambangkan menghancurkan segala penghalang. Tangan keempat memegang kudapan manis yang melambangkan kesuksesan.

Kuil Dewi Uma
Dari kuil Ganesha, saya menyeberang ke arah Big C Supercenter, untuk melihat Phra Mae Umadhevi (Kuil Dewi Uma) yang terletak di depan gedung pertokoan tersebut. Dewi Uma dikenal sebagai istri Dewa Shiva, dan dikenal akan rasa cinta yang besar dan ketaatannya kepada Shiva. Dewi Uma banyak dipuja oleh para wanita, khususnya yang menginginkan kesuksesan, kepemimpinan, kesuburan, kebahagiaan dalam berumah tangga, dan perlindungan dari marabahaya. Para penziarah umumnya mempersembahkan bunga, buah-buahan, dan dupa.

Kuil Amarindradhiraja
Dalam perjalanan kembali ke stasiun Skytrain Chitlom, saya singgah di Thao Amarindradhiraja. Kuil yang terletak di depan Amarin Plaza ini merupakan rumah bagi arca Dewa Indra yang terbuat dari batu giok berwarna hijau. Dalam kepercayaan Hindu, Dewa Indra merupakan penguasa guntur dan penguasa surga, serta merupakan raja para dewa. Dewa Indra juga merupakan penyingkir segala rintangan dan pembawa kebahagiaan. Sedangkan dalam kepercayaan agama Buddha, Indra merupakan dewa yang mendorong Siddharta menjadi guru bagi umat manusia, dan merupakan dewa pelindung dan pembela. Dewa Indra yang tengah mengendarai gajah juga seringkali muncul di segel Kota Bangkok, sehingga Dewa Indra juga merupakan dewa penting dalam kepercayaan Buddha di Thailand. Para penziarah biasanya mempersembahkan bunga marigold dan dupa, serta memanjatkan doa untuk kesejahteraan dan perlindungan dari kejahatan.

Sad Stories of Ayutthaya

Siang itu Mr. Pattarakeat Phaniert atau Pak Oat (seharusnya kami memanggilnya Mr. Oat, tapi kami lebih suka menyapanya dengan panggilan "Pak"), guide yang mendampingi kami selama di Thailand, mengarahkan mobil memasuki kawasan Ayutthaya Historical Park yang merupakan reruntuhan kota lama Ayutthaya. Sekilas kawasan ini menyerupai Trowulan, namun dengan densitas sisa bangunan candi yang lebih rapat. Ke mana pun arah mata memandang, terlihat sisa bangunan candi di mana-mana. Tidak mengherankan, karena tidak kurang dari 3000 candi terdapat di Ayutthaya.


Ayutthata, atau lengkapnya Phra Nakhon Si Ayutthaya, adalah ibukota Provinsi Ayutthaya. Kota ini semula merupakan ibukota Kerajaan Ayutthaya di Siam, yang didirikan oleh Raja Ramathibodi I (Uthong) pada tahun 1350 saat mengalahkan dinasti kerajaan Sukhothai. Nama Ayutthaya diambil dari kata Ayodhya, nama kerajaan yang dipimpin oleh Sri Rama dalam kisah Ramayana. Wilayah yang digunakan sebagai ibukota merupakan wilayah yang dikelilingi 3 buah sungai, salah satunya adalah Chao Phraya, sehingga sangat subur.

Kerajaan Ayutthaya hampir tak pernah lepas dari kisah pertumpahan darah, baik perebutan wilayah oleh kerajaan tetangga, maupun perebutan kekuasaan antar dinasti. Seperti di tahun 1569, kota Ayutthaya dikuasai oleh Burma. Masa kedamaian diperoleh saat Ayutthaya mencapai masa keemasannya di perempat kedua abad ke-18. Di tahun 1715, Ayutthaya kembali berperang melawan dinasti Nguyen dari Vietnam Selatan untuk memperebutkan kekuasaan atas Kamboja. Pada tahun 1765, wilayah Ayutthaya diserang oleh pasukan Burma yang dipimpin Raja Alaungpaya, dan pada tahun 1767 Ayutthaya menyerah dan dibumihanguskan, sebelum ditinggalkan dalam keadaan hancur, menyebabkan berakhirnya kerajaan Ayutthaya yang sudah diperintah oleh 35 raja.

Reruntuhan di Ayutthaya dimulai sejak tahun 1969 oleh Departemen Seni Rupa. Upaya renovasi ini menjadi lebih serius setelah lokasi ini dinyatakan sebagai Historical Park di tahun 1976. Sebagian dari Historical Park di Ayutthaya kemudian dinyatakan sebagai UNESCO World Heritage Site pada tahun 1991.


WAT PHRA SI SANPHET 
Pertama kali Pak Oat mengajak kami ke Wat Phra Si Sanphet, atau “Temple of the Holy, Splendid Omniscient”. Candi ini semula merupakan tempat paling suci di Istana Raja di Ayutthaya dan secara eksklusif digunakan sebagai tempat ibadah raja-raja Ayutthaya, sebelum dibumihanguskan oleh tentara Burma pada tahun 1767, bersamaan dengan kehancuran kota Ayutthaya. Candi ini merupakan candi terbesar dan tercantik di Ayutthaya, dan arsitekturnya menjadi inspirasi yang ditiru oleh Wat Phra Kaeo (Temple of Emerald Buddha) yang berlokasi di Grand Palace Bangkok.


Lokasi tempat berdirinya Wat Phra Si Sanphet semula merupakan tempat istana raja yang didirikan oleh Raja Uthong pada tahun 1350. Ketika istana tersebut dipindahkan ke lokasi baru pada tahun 1448 oleh Raja Boroma-Tri-Loka-Nat, tempat ini kemudian dijadikan tempat ibadah bagi keluarga kerajaan, sekaligus tempat diselenggarakanya upacara-upacara keagamaan kerajaan.


Ciri khas dari candi ini adalah 3 buah stupa besar (chedi) bergaya arsitektur Ceylon. Ketiga stupa ini dibangun pada masa yang berbeda-beda. Stupa di sisi timur dan di tengah dibangun oleh Raja Ramathibodi II pada tahun 1492 untuk menyimpan abu Raja Boroma-Tri-Loka-Nat dan Raja Boroma-Rachathirat III, sedangkan stupa di sisi barat dibangun pada tahun 1592 oleh Raja Borommaracha IV untuk menyimpan abu Raja Ramathibodi II.Stupa-stupa yang kami lihat hari ini merupakan hasil pemugaran pada tahun 1956.


Pak Oat juga menambahkan bahwa Wat Phra Si Sanphet merupakan salah satu tempat paling berhantu di Thailand, dan bahkan mendapat gelar sebagai 6th most haunted place di Asia. Konon di tempat ini pernah terjadi pembantaian besar-besaran oleh tentara kerajaan Burma, dan sebagian penduduk Ayutthaya masih sering melihat hantu para penduduk yang dibunuh pada peristiwa tersebut, gentayangan di sekitar reruntuhan. Mendengar cerita Pak Oat, mau tak mau bulu kuduk kami pun berdiri, membayangkan betapa menyeramkan suasana pada saat itu.


WAT MAHA THAT 
Pak Oat kemudian membawa kami ke Wat Phra Sri Rattana Mahathat, atau lebih dikenal sebagai Wat Maha That (Temple of the Great Relic). Candi ini didirikan pada tahun 1374 oleh Raja Borommaracha I (Somdet Phra Borommarachathirat) dan Phra Mahathera Thammakanlayan, dan diselesaikan pada tahun 1384 oleh Raja Ramesuan. Pada masa kejayaan Ayutthaya, Wat Maha That menjadi salah satu candi penting, karena merupakan pusat ibadah dan menyimpan relic sang Buddha.


Berbeda dengan Wat Phra Si Sanphet yang memiliki stupa bergaya arsitektur Ceylon, bangunan pada kompleks candi Wat Maha That memiliki gaya arsitektur Khmer. Candi ini memiliki prang (menara) utama dengan gaya arsitektur Khmer setinggi 46 meter. Bahan baku pembangunan candi adalah laterite dan batu bata, yang diperkuat stuko (semen putih yang terdiri dari campuran abu bakaran kayu, getah pohon dan serbuk kerang). Pagoda tersebut pernah runtuh di masa pemerintahan Raja Songtham di tahun 1610, dan kemudian direnovasi pada tahun 1633 pada masa pemerintahan Raja Prasat Thong naik tahta. Ketika Ayutthaya hancur pada tahun 1767, prang utama ini tetap bertahan, sebelum runtuh di tahun 1904. Prang yang saat ini ada merupakan hasil restorasi.


Namun atraksi utama dari Wat Maha That adalah kepala arca Buddha yang dibelit akar pohon beringin, seolah “terjebak” di batang pohon tersebut. Ekspresi wajah arca yang terlihat teduh ini meninggalkan kesan mendalam bagi yang melihat. Pak Oat mengatakan bahwa kemungkinan besar kepala arca ini berasal dari arca Buddha yang dipenggal oleh para pencuri yang mencari harta karun di reruntuhan candi, namun tertinggal di halaman candi. Seiring berjalannya waktu, pohon yang berada di dekat kepala arca tersebut tumbuh dan sulur-sulurnya membelit arca, menghasilkan posisi yang kita lihat sekarang. Saat kami akan berfoto, Pak Oat mengingatkan agar kami berfoto dalam posisi berlutut/berjongkok, untuk menghormati arca tersebut.


Saat menjelaskan tentang prang utama yang ada di candi ini, Pak Oat berbagi kisah-kisah misteri yang terjadi di Wat Maha That. Pada saat penggalian di tahun 1956, pernah tercium aroma cendana dari reruntuhan candi, dan tidak lama kemudian ditemukan relik dan barang berharga yang semula disimpan di candi ini. Kisah lain yang tak kalah seru adalah ketika terjadi penjarahan di prang utama candi pada tahun 1991, dari 20 orang pencuri yang melakukan penjarahan, 11 orang di antaranya mati misterius. Kejadian ini ditambah dengan terbakarnya 7 toko emas yang menjadi penadah benda-benda yang dicuri. Pada akhirnya sisa pencuri yang menjarah candi ini kemudian menyerah kepada pihak berwajib. Sungguh merupakan pelajaran berharga agar kita tidak melakukan hal-hal yang tidak baik, khususnya pada rumah ibadah.


WAT CHAIWATTHANARAM 
Setelah makan siang, kami mengunjungi Wat Chaiwatthanaram (“Temple of Long Reign and Glorious Era) yang terletak di sisi barat Sungai Chao Phraya. Lokasi candi ini berada di luar “pulau” Ayutthaya, dan walaupun memiliki kompleks yang besar, candi ini bukan merupakan bagian dari Historic City of Ayutthaya yang berstatus UNESCO World Heritage Site.


Candi dengan gaya arsitektur Khmer ini didirikan pada tahun 1630 oleh Raja Prasat Thong sebagai tempat pelaksanaan upacara keagamaan, seperti upacara kremasi keluarga kerajaan. Candi ini sempat digunakan sebagai perkemahan tentara pada masa perang dengan kerajaan Myanmar di tahun 1767. Setelah kehancuran Ayutthaya, Wat Chaiwatthanaram ditinggalkan oleh penghuninya, dan perlahan-lahan turut mengalami kehancuran.


Dengan gaya arsitektur dan bangunan yang berbeda daripada candi-candi lain di Ayutthaya, Wat Chaiwatthanaram dianggap merupakan salah satu candi tercantik di masa kejayaan Ayutthaya. Struktur bangunan Wat Chaiwatthanaram didesain untuk merefleksikan cara pandang Sang Buddha terhadap dunia. Candi utama (Prang Prathan) setinggi 35 meter merupakan symbol Gunung Meru (Khao Phra Sumen) atau pusat dunia. Di sekelilingnya terdapat 4 prang kecil yang melambangkan empat penjuru mata angin. Pondasi persegi panjang yang melandasi menara-menara ini merupakan dunia, sedangkan lorong persegi panjang yang membatasi sisi luar pondasi merupakan perbatasan dunia. Di sepanjang dinding lorong terdapat 120 arca Buddha dalam posisi duduk, dan seluruh arca tersebut menghadap ke arah Prang Prathan. Arca yang terdapat di dalam bangunan sudut merupakan Buddha yang diberi mahkota, sebagai lambing perwujudan raja.


Titik pusat candi dikelilingi oleh delapan buah chedi yang memiliki lukisan di dinding dalam. Sedangkan di dinding luar terdapat 12 relief yang menceritakan kisah hidup Sang Buddha, namun hanya sebagian dari lukisan dan relief tersebut yang bertahan. Ketika Pak Oat menjelaskan tentang keberadaan lukisan dan relief ini, Pak Oat sempat menyatakan bahwa ia ingin pergi ke Borobudur. Ah, saya baru menyadari, barangkali bagi para penganut agama Buddha, pergi ke Borobudur memiliki nilai relijius yang berharga, seperti halnya ketika umat Muslim akan pergi umroh ke Baitullah…


Tak lupa Pak Oat menyampaikan kisah pilu sebuah tragedi yang terkait dengan Wat Chaiwatthanaram. Raja Borommarachathirat III, atau lebih dikenal sebagai Raja Borommakot, memerintah di Ayutthaya antara tahun 1733-1758. Walaupun masa pemerintahannya berjalan dengan damai, Raja Borommakot dikenal sebagai raja yang kejam. Raja Borommakot memperoleh tahtanya pada tahun 1732 dengan merebutnya dari Pangeran Aphai dan Pangeran Paramet, dua orang putra raja Thai Sa yang saat itu merupakan raja Ayutthaya. Tahun 1741, Raja Borommakot mengangkat Pangeran Thanmathibet sebagai putra mahkota. Namun Thanmathibet berselingkuh dengan Putri Sangwal dan Putri Nim, keduanya selir Raja Borommakot. Kisah cinta segitiga ini tertangkap basah pada tahun 1746, dan ketiga orang pelakunya mendapat hukuman cambuk. Pangeran Thanmathibet mendapat 120 cambukan, sementara kedua selir mendapat masing-masing 30 cambukan. Pangeran Thanmathibet meninggal saat sedang menjalani hukuman, dan Putri Sangwal wafat tiga hari kemudian. Putri Nim tetap hidup, namun diusir dari istana. Setelah upacara kremasi Pangeran Thanmathibet, Raja Borommakot menginstruksikan untuk membuat pagoda (Chedi) di Wat Chaiwatthanaram untuk menyimpan abu Pangeran Thanmathibet. Konon penduduk setempat masih sering mendengar suara isak tangis di dekat prang yang menyimpan abu Pangeran Thanmathibet.

Monday, May 28, 2018

Mengenang Tragedi Kemanusiaan di Holocaust Memorial

Berlin, ibukota sekaligus merupakan kota terbesar di Jerman. Kota ini merupakan saksi bisu dampak Perang Dunia II kepada dunia. Selain tembok yang dibangun untuk memisahkan wilayah kekuasaan Jerman (Timur) dan wilayah Sekutu di dalam Kota Berlin, kota ini juga merupakan salah satu lokasi pembantaian orang-orang Yahudi di Eropa. Salah satu monumen yang dibangun di pusat Kota Berlin untuk mengenang tragedi kemanusiaan tersebut adalah The Memorial to the Murdered Jews of Europe (Denkmal fur die ermordeten Juden Europas), atau singkatnya Holocaust Memorial (Holocaust-Mahnmal).

Holocaust Memorial di Senja Kala
Senja temaram menggantung di langit kota Berlin, ketika saya membuka jendela apartemen yang kami sewa selama di Berlin. Ah, inilah rasanya menikmati musim panas di belahan bumi utara, jam sudah menunjukkan pukul 21.00 waktu setempat, tapi langit masih cukup terang. Dari jendela apartemen terlihat jelas susunan batu-batu berbentuk kotak yang seperti berserakan di sebuah lapangan. Inilah Holocaust Memorial, monumen yang dibangun antara tahun 2003-2004 untuk memperingati tragedi pembantaian orang-orang Yahudi selama masa Perang Dunia II. Bayangan gedung yang menimpa susunan batu-batu tersebut membuat suasana terkesan semakin mencekam. Tak terbayangkan betapa menyeramkannya suasana saat itu. Kurang lebih 3 juta orang Yahudi telah menjadi korban dari holocaust (pembantaian massal) selama Perang Dunia II di seluruh Eropa.

Holocaust Memorial di Siang Hari
Holocaust Memorial didesain oleh arsitek Peter Eisenman dan insinyur Buro Happold. Monumen ini berdiri di atas lahan seluas 1,9 hektar, terdiri dari 2711 balok beton (stelae) yang disusun membentuk pola grid pada lapangan yang konturnya naik turun (sloping field). Setiap balok memiliki panjang 2,38 m, lebar 0,95 meter, dan tinggi bervariasi antara 0,2 hingga 4,7 meter. Balok-balok ini disusun membentuk baris/lorong, 54 balok mengarah utara Selatan, dan 87 mengarah timur barat. Biaya untuk membangun monumen diperkirakan 25 juta Euro. Monumen ini diresmikan 10 Mei 2005, 60 tahun setelah PD II berakhir.

Mengapa monumen ini dibangun di Berlin? Sebelum Perang Dunia II Berlin merupakan kota dengan jumlah populasi orang Yahudi terbesar di Eropa. Dengan demikian monumen ini juga berperan sebagai focal point yang menyatukan berbagai monumen holocaust di seluruh penjuru Jerman. Lokasi tempat berdirinya monumen ini merupakan pusat administrasi pasukan Hitler, termasuk bunker yang pernah digunakan.

Bradenburg Gate
Bekas Tapak Tembok Berlin

Kami baru berkesempatan mengunjungi monumen pada sore hari berikutnya, setelah mengunjungi Brandenburg Gate dan bekas tapak Tembok Berlin yang terletak tak jauh dari lokasi monumen. Dari berbagai sumber informasi, tampaknya tidak ada makna khusus dari desain dan jumlah pilar di Holocaust Memorial. Namun demikian, masih terpatri dalam ingatan saya, ketika melihat dari jendela apartemen, yang tampak lebih mirip deretan batu nisan di sebuah pemakaman besar. Hal ini membuat bulu kuduk saya berdiri, mengenang masa-masa kelam Jerman di Perang Dunia II. Konon monumen ini memang dirancang oleh Eisenman untuk memicu suasana yang tidak nyaman dan membingungkan, seolah mengembalikan perasaan yang dialami penduduk Jerman pada masa itu.

Tampak Close-Up Holocaust Memorial
Di sisi lain, saya juga menemukan himbauan tertulis agar para pengunjung monumen tidak melakukan aktivitas yang mengganggu ketenangan orang lain, seperti bersuara terlalu keras, melompat-lompat dari satu stelae ke stelae lain, membawa binatang peliharaan, memarkir sepeda dan kendaraan lain secara serampangan, serta merokok dan mengonsumsi minuman keras. Nampaknya himbauan ini dibuat karena banyak pengunjung yang sengaha mengunjungi monumen ini untuk berziarah, mengenang kerabat mereka yang menjadi korban pembantaian massal pada masa Perang Dunia II. Himbauan ini pun seolah mengingatkan kembali agar tragedi kemanusiaan semacam ini jangan pernah terjadi lagi dalam kehidupan manusia.

Friday, May 25, 2018

Menambang Angin di Tepi Sungai Zaan

“Za-anse Schan”.

Sepanjang jalan kami berulang kali mencoba menirukan pak Nanto, pengemudi mobil rental yang kami gunakan, yang berusaha mengajarkan cara mengucapkan nama tempat yang kami tuju dengan lafal yang benar, lengkap dengan penekanan pada “ch”-nya. Zaanse Schan merupakan salah satu pemukiman yang terletak di daerah aliran sungai Zaan (Zaanstreek), tepatnya di daerah Zaandam. Tempat ini semula digunakan sebagai schans atau tempat perlindungan rakyat Belanda dari serbuan tentara Spanyol pada masa perang di abad ke-16. Di daerah ini semula terdapat 13 tempat perlindungan, dan Zaanse Schan merupakan tempat perlindungan yang terbesar.

Zaanstreek
Daerah Zaanstreek merupakan salah satu ladang angin tradisional Belanda sejak abad 17, dengan banyaknya kincir angin tradisional yang didirikan di kawasan ini. Zaanse Schan sendiri mulai tumbuh menjadi pemukiman sejak abad 18, bersamaan dengan tumbuhnya industri kapal. Kincir-kincir angin yang ada di Zaanse Schan semula difungsikan untuk mendukung industri kapal tersebut, dan baru digantikan oleh mesin uap pada abad ke-19. Saat ini Zaanse Schan berfungsi sebagai desa wisata yang menjadi salah satu atraksi favorit, dengan obyek wisata berupa rumah-rumah klasik dan kincir angin kuno. Rumah klasik dan kincir angin kuno ini sebagian besar merupakan hasil pemindahan bangunan kuno dari Zaanstrek.

Deretan Kincir Angin di Zaanse Schan
Pak Nanto memarkirkan mobil van yang kami gunakan, kemudian membantu membukakan pintu mobil. Begitu kami keluar mobil, semilir angin dingin langsung menerpa kami. Di kejauhan terlihat kincir-kincir angin (windmolen) khas Belanda. Ah, kali ini saya beneran di negoro Londo! Tak heran tempat ini digunakan sebagai ladang angin, sebab daerah ini memang cukup berangin.

Akhirnya Kesampaian Juga ke Negoro Londo!
Sambil berjalan menuju ke arah deretan kincir angin, kami mampir ke tempat peragaaan pembuatan keju Catharina Hoeve Cheese Farm, yang dibuat sebagai replika peternakan tradisional di Oostzaan. Dijelaskan oleh petugas peraga bahwa pembuatan keju dilakukan dengan memanaskan susu pada suhu 29 derajat Celcius, hingga komposisinya 90% air dan ampas keju 10%. Ampas keju tersebut kemudian ditekan dan disimpan selama beberapa waktu. Untuk menghasilkan keju yang lembut, ampas keju cukup disimpan selama 1 bulan. Namun untuk menghasilkan keju yang keras dan tahan lama, ampas keju dapat disimpan hingga 2 tahun. Untuk melindungi keju, biasanya keju dibungkus dengan beberapa lapisan. Lapisan pertama dibuat dengan bahan yang dapat dimakan untuk melindungi keju dari bakteri, sedangkan lapisan kedua dibuat dari lilin. Keju yang dijual di tempat ini juga memiliki bermacam-macam varian, mulai dari keju muda, keju tua, keju asap, keju susu kambing, keju susu domba, keju jalapeno dll. Sebelum membeli, pengunjung diperkenankan mencicipi sampel yang tersedia. Bagi orang yang tidak suka bereksplorasi dengan makanan, mencicipi aneka keju ini bukan tugas yang ringan, terutama disebabkan aroma keju yang sangat kuat, jauh lebih kuat daripada keju cheddar yang kita temui di tanah air.

Peragaan Pembuatan Keju di Catharina Hoeve Cheese Farm
Dari tempat pembuatan keju, kami melanjutkan perjalanan ke kincir angin. Sepengetahuan kami, kincir angin di Belanda digunakan untuk memompa air atau menggiling gandum. Namun di tempat ini kami mendapat penjelasan bahwa kincir angin itu bisa digunakan untuk keperluan lain, termasuk seperti penggiling mustard, penggiling bahan cat, memotong kayu, dan mengolah minyak. Di Zaanse Schan terdapat 8 kincir angin tradisional dengan fungsi yang berbeda-beda. Kincir-kincir yang terdapat di Zaanse Schan merupakan anggota asosiasi “De Zaansche Molen”. Untuk masuk ke setiap kincir kami harus membayar tiket masuk lagi. Dengan harga tiket yang tidak bisa dibilang murah untuk kocek orang Indonesia, kami memutuskan untuk memilih salah satu kincir saja.

Kincir De Kat Untuk Menggiling Bahan Baku Cat
Akhirnya kami memilih masuk ke kincir Het Jonge Schaap (The Young Sheep) yang digunakan untuk memotong kayu. Kincir ini memiliki tapak bersegi 6, dan bentuknya unik dibandingkan kincir lainnya di daerah Zaan. Secara sekilas, Het Jonge Schaap memiliki ukuran lebih besar dibandingkan kincir-kincir lain di sekitarnya. Kincir aslinya dibangun pada tahun 1680 di Westzijdrveld, Zaandam, dan aktif beroperasi sampai dengan tahun 1935, sebelum dibongkar pada tahun 1942. Antara tahun 2005 sampai dengan 2007 kincir ini direkonstruksi di lokasi baru di Zaanse Schan berdasarkan gambar dari Anton Sipman yang dibuat sebelum kincir yang asli dirubuhkan.

Tempat Pemotongan Kayu
Di dalam kincir Het Jonge Schaap terdapat pemutaran video yang menggambarkan sejarah kincir tersebut. Namun karena keburu bosan, kami langsung masuk ke bagian pemotongan kayu. Ternyata di area tersebut juga tersedia panel yang menjelaskan sejarah kincir Het Jonge Schaap dan cara kerja gergaji raksasa yang digerakkan oleh kincir angin. Dengan bantuan tenaga angin, gergaji raksasa mampu memotong kayu-kayu berukuran besar, yang kemudian didistribusikan melalui sungai.

Rancang Bangun Kincir Het Jonge Schaap
Jam sudah menunjukkan pukul 13.00 waktu setempat, waktunya kami makan siang. Makan siang kami hari ini adalah pancake khas Belanda. Berbeda dengan pancake ala Amerika yang cenderung tebal, pancake Belanda lebih tipis, menyerupai crepes. Pancake ini bisa dimakan polos, dengan taburan gula halus, atau dengan tambahan toping lainnya seperti pisang.

Pancake a la Belanda
Usai makan siang, kami masuk ke workshop pembuatan klompen di dalam gudang “De Vreede” yang semula digunakan oleh perusahaan Molenaar dari Westzaan. Bangunan yang digunakan untuk workshop dibuat pada tahun 1750, dan semula digunakan untuk menyimpan biji gandum dan tembakau. Tempat ini lebih cocok dinamakan museum klompen, karena memuat peragaan dan penjelasan tentang klompen, kelom, atau bakiak khas Belanda ini.

Klompen Aneka Warna
Klompen dibuat dari kayu poppler, sehingga sepatu kayu ini hangat, tahan air, serta sangat kuat. Bahkan diklaim klompen lebih kuat dibandingkan safety shoes yang ada saat ini. Klompen dibuat dengan berbagai desain untuk berbagai kebutuhan, seperti kebutuhan sehari-hari, untuk bekerja (termasuk pekerjaan berat di pabrik pemotongan kayu), untuk ke gereja, serta untuk pernikahan. Di masa lalu, klompen dbuat menggunakan pisau besar, sehingga 1 sepatu memakan waktu 2-3 jam. Saat ini klompen dibuat dengan mesin, sehingga untuk menghasilkan 1 sepatu hanya dibutuhkan 5 menit. Klompen yang sudah jadi tidak langsung dihias, tetapi harus dikeringkan selama 3-4 minggu di udara.

Peragaan Pembuatan Klompen Dengan Pisau Besar

Terpampang di Deswita Pampang

Pampang. Nama ini pertama kali muncul di awal Februari dalam sebuah email dari Mas Yitno, salah satu penggiat Desa Wisata (Deswita) Pampang, yang mengajak saya mengisi sesi tentang travel writing di Pampang. Sulit menolak tawaran ini, dan setelah sedikit melakukan “akrobat” pada jadwal kegiatan saya, saya memutuskan untuk mengiyakan ajakan beliau.

Disambut hujan di Bandara Adisucipto
 Hasil pencarian tentang Pampang di “mbah “ Google ternyata kurang memuaskan, dan baru setelah kopi darat dengan Mas Yitno di bandara Adisucipto saya mendapat pencerahan mengenai latar belakang Deswita Pampang. Dibandingkan deswita lain di Provinsi DIY, Pampang bisa dikatakan masih “bayi”, karena SK sebagai deswita baru diperoleh pada tahun 2017, walaupun Pampang sebenarnya sudah dikenal sebagai sentra kerajinan perak di Gunungkidul. Daya tarik yang ditawarkan Pampang adalah river tubing di Kedungdowo serta konservasi burung. Kenapa konservasi burung? Menurut Mas Yitno, masih lekat dalam ingatannya, di masa kecilnya setiap pagi Desa Pampang penuh dengan cuitan burung, dan makin lama cuitan tersebut makin menghilang. Masyarakat Desa Pampang ingin mengembalikan cuitan tersebut lagi, dan mereka mulai membeli burung-burung endemic dari pasar burung di sekitar Pampang, untuk dilepaskan dan dikonservasi di kawasan desa. Tak hanya melepaskan burung, warga juga dilarang berburu burung, serta dengan kesadarannya telah menanam berbagai pohon sebagai cadangan makanan burung.

River Tubing, Wisata Andalan Deswita Pampang
Perjalanan dari Yogya ke Pampang cukup memakan waktu, ditambah kami sempat mampir ke Embung Nglanggeran untuk menyaksikan sunset. Sepanjang perjalanan rasanya gemas melihat banyak spot-spot wisata menarik. Sayang waktu kami terbatas dan hari sudah semakin gelap, takut kemalaman juga sampai di Pampang. Barangkali kalau dibuat bucket list, daftar tempat wisata di DIY tidak akan cukup mengisi 1 ember cuci berukuran besar… perlu 2 sampai 3 ember tampaknya.

Sunset di Atas Awan, Dilihat Dari Tepi Embung Nglanggeran
Embung Nglanggeran sendiri sebenarnya tidak didesain khusus sebagai sunset spot. Tempat ini sejatinya adalah agrowisata duren, di mana ketika pohon duren bertumbuh besar, wisatawan bisa hadir untuk makan duren sambil menikmati panorama dari ketinggian. Embung (waduk kecil) Nglanggeran sendiri dibangun sebenarnya sebagai sarana irigasi untuk perkebunan duren, namun posisinya yang strategis membuatnya menjadi salah satu sunset spot yang cantik. Saya yang terbiasa mengejar sunset di pantai atau di perkotaan, kali ini berkesempatan melihat sunset di “negeri atas awan”. Sayang sekali, hari ini sunsetnya tidak bisa maksimal, dengan banyaknya awan-awan yang menggantung. Tapi gak pa-pa, lain kali saya harus kembali ke sini!

Memandang Sunset Dari Seberang Embung Nglanggeran
Setelah semalam beristirahat di homestay milik pakde-nya Mas Yitno, pagi-pagi saya berkesempatan menjelajah ke tempat river tubing dan jalan setapak di sekitarnya. Melihat sungainya yang penuh berisi air dan arusnya cukup tenang, rasanya pengen langsung nyebur, hahaha! River tubing ini diberi nama “Bendowo”, yang berasal dari kata “Bendungan” (di tempat river tubing ini terdapat bendungan kecil untuk menahan debit alir) dan nama dusun “Kedung Dowo” tempat sungai ini mengalir. Anyway, nama “Bendowo” ini justru punya makna lain bagi saya: mugi-mugi deswita Pampang “ben dowo” umure (mudah-mudahan deswita Pampang biar panjang umurnya…).



Suasana Kedung Dowo
Sebelum acara dimulai, di homestay saya bertemu mas Hannif, blogger yang mengasuh website insanwisata.com. Mas Hannif hadir di acara ini atas prakarsa mas Zul, rekan mas Yitno yang juga pelaku aktif dalam dunia pariwisata. Yang menarik, Mas Yitno dan kawan-kawan mengundang saya dan mas Hannif secara terpisah, padahal mas Hannif dan saya sudah berteman di Instagram selama beberapa tahun, semenjak saya ikut kompetisi blog tentang Wisata Sleman. Akhirnya kopdar juga ya… Selain mas Hannif, hadir juga mbak Mumun yang merupakan half of Indohoy. Sayang mbak Mumun nggak bisa berlama-lama sampai acara selesai, tepat sebelum makan siang dirinya harus sudah kembali ke Yogyakarta.



Suasana Kelas
Acara sharing session dibuka oleh Pak Iswandi sang kepala desa, sebelum saya memulai presentasi pertama. Walaupun sudah sering presentasi di kantor, yho ndredhek juga je… Mudah-mudahan audience faham apa yang saya sampaikan, soalnya saya merasa ngebut dot com pada saat penyampaian. Presentasi berikutnya disampakan mas Hannif, dan ternyata materinya rodho lumayan nyambung (Alhamdulillah…). Setelah sesi makan siang ditemani sepoi-sepoi angin dan segarnya aroma kali Bendowo, presentasi dilanjutkan dengan materi terakhir dari pak Eko Sugiarto yang membawakan materi terkait penulisan. Acara hari itu diakhiri dengan foto bersama (yang nggak selesai-selesai), sebelum saya harus berpamitan dengan semua teman-teman baru saya di Pampang untuk kembali ke Yogyakarta.

Suasana di Tepi Kali Bendowo

Foto Bersama (yang nyaris tidak berakhir...)
Dalam perjalanan kembali ke Yogyakarta, mas Yitno, mas Hannif dan mas Zul menyempatkan diri memampirkan saya ke Griya Cokelat Nglanggeran. Sebenarnya toko ini tutup pada pukul 16.00, namun karena sempat ditelpon oleh mas Yitno dkk, mereka merelakan diri buka untuk menunggu saya berbelanja, maaph ya… Tapi nggak sia-sia mereka menanti saya, karena begitu mencoba tester minumannya, wauw… rasa coklatnya nendang pake banget! Produk unggulan mereka adalah minuman serbuk Chocomix dan Chocomix Original. Jika Chocomix menggunakan komposisi gula-coklat standar, maka Chocomix Original memiliki kandungan cokklat lebih banyak. Tidak terlalu pahit seperti dark coklat, tapi coklatnya lebih nendang rasanya. Coklat yang dijual di tempat ini berasal dari pohon-pohon coklat yang ditanam warga Desa Wisata Nglanggeran. Saya bisa membayangkan mereka buka cabang di atas Embung Nglanggeran, romantis rasanya melihat sunset sambil menikmati coklat…


Inilah Coklat Asli Gunungkidul
Salah satu hal yang sangat berkesan dalam kunjungan ke Pampang adalah saya berkesempatan mencicipi sayur lombok ijo fresh from the kitchen. Adalah ibunda Mas Yitno yang membuat hal ini menjadi kenyataan. Bukan hanya karena sayur lombok ijonya enak dan segar (dan saya berkesempatan makan bukan hanya sekali, tapi dua kali…), tapi sayur lombok ijo ini mengingatkan saya pada almarhum ayah saya, yang bercita-cita ingin makan nasi merah dengan sayur lombok ijo khas Gunungkidul, dan sempat meminta kami mencari informasi tentang resto yang menjual sayur lombok ijo di Wonosari. Nuwun sewu ya Pak, lah kok malah jadinya saya yang makan sayur lombok ijo… langsung dari dapur pula…

Yang Mana Sayur Lombok Ijo-nya?

Thursday, May 24, 2018

Gula-Gula Pabrik Gondang Baru

Gara-gara kunjungan ke De Tjolomadoe di awal April 2018, ingatan saya melayang ke pertengahan tahun 2016, ketika mampir di Pabrik Gula Gondang Baru di Klaten. Pabrik yang nama aslinya Suikerfabriek Gondang Winangoen ini dibangun pada tahun 1860 oleh NV Klatensche Cultuur Maatschappij yang berkedudukan di Amsterdam, dan dikelola oleh NV Mirandolle Vaute & Co yang berkantor di Semarang. Pabrik sempat berhenti berproduksi pada masa resesi ekonomi tahun 1930-1935, sebelum beroperasi kembali sampai masa kemerdekaan Indonesia. Pasca kemerdekaan Indonesia, pabrik dikuasai pemerintah Republik Indonesia. Setelah mengalami pasang surut, di bulan Desember 1957 Pabrik Gula Gondang Winangoen sepenuhnya menjadi milik pemerintah Republik Indonesia, dan namanya diganti menjadi Pabrik Gula Gondang Baru. Sejak tahun 1996, PG Gondang Baru merupakan bagian dari PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) yang berkantor pusat di Surakarta.

Tampak Depan Museum Gula Jawa Tengah
Waktu di jam mobil menunjukkan pukul 09.30 WIB, ketika mobil yang saya kendarai merapat di parkiran Pabrik Gula Gondang Baru. Tujuan utama saya ke Pabrik Gula Gondang Baru adalah untuk singgah di Museum Gula Jawa Tengah. Museum ini didirikan pada 11 September 1982, dan menempati salah satu bangunan lama bergaya arsitektur klasik Eropa seluas 240 meter persegi. Saat ini Museum Gula Jawa Tengah menjadi bagian dari wahana wisata Agrowisata Gondang Winangoen.

Aneka Jenis Tebu di perkebunan Gondang Winangoen
Koleksi museum terdiri dari replika peralatan tradisional perkebunan tebu (termasuk proses pembukaan lahan dengan metode reynoso, peralatan penanaman bibit tebu dan pemeliharaan tanaman tebu), peralatan fabrikasi untuk memproduksi gula, peralatan laboratorium, aneka jenis tebu, aneka jenis tanaman pengganggu tebu, aneka produk antara dan produk akhir pabrik gula yang disimpan dalam toples, maket pabrik gula dan perkebunan tebu, dan foto-foto tempo doeloe (termasuk tradisi selamatan sebelum memulai proses giling pertama).

Peralatan Laboratorium
Salah satu ruangan museum ditata menyerupai ruang kerja administratur perkebunan tebu, lengkap dengan perabot gaya masa kolonial. Di ruangan ini terpasang peralatan kantor tempo doeloe (seperti mesin ketik kuno, mesin hitung kuno, dan kamera), serta peralatan komunikasi tempo doeloe. Di antara peralatan tersebut, terdapat sepasang topi dan tongkat yang digunakan Pak Sinder (supervisor perkebunan) pada saat pergi ke kebun tebu untuk melakukan inspeksi.

Contoh Ruang Kerja Administratur Perkebunan Tebu
Ruangan berikutnya berisi maket pabrik gula Gondang Baru, serta skema mengenai proses pembuatan gula di pabrik gula Gondang Baru. Pada sistem tersebut, tebu diproses pada stasiun gilingan untuk menghasilkan nira tebu, kemudian nira tebu dipisahkan dari padatan kotorannya sebelum masuk stasiun pemurnian. Di stasiun pemurnian, nira tebu dimurnikan menggunakan proses karbonatasi rangkap dengan menambahkan susu kapur dan gas karbondioksida. Hasil proses karbonatasi ini kemudian masuk pada proses sulfitasi rangkap dengan penambahan sulfit. Nira tebu yang sudah lebih jernih kemudian melalui stasiun penguapan untuk mengurangi kandungan air dan mengentalkan nira. Keluaran dari stasiun penguapan kemudian masuk ke stasiun pemasakan untuk proses kristalisasi yang mengubah nira tebu menjadi kristal gula. Selanjutnya gula memasuki stasiun putaran atau centrifuge untuk mengeringkan gula kristal, sebelum gula ditimbang dan dimasukkan ke dalam gudang.

Maket Pabrik Gula Gondang Winangoen
Di halaman museum sisi barat, terdapat koleksi lokomotif untuk menarik lori pengangkut tebu, serta mesin-mesin pabrik gula. Di antara lokomotif uap tersebut, terdapat lokomotif yang dikenal dengan nama “Simbah”. Loko kuno buatan Jerman tahun 1818 ini merupakan lokomotif tertua di museum ini, dan dulu beroperasi melayani angkutan tebu dengan rute dari Stasiun Srowot menuju Surabaya atau Semarang.

Lokomotif "Simbah"
Dalam memilih mesin-mesin pengolahan tebu menjadi gula, pemerintah kolonial Belanda sangat serius, dengan mengirimkan teknologi serta ahli-ahli terbaiknya. Untuk itu mesin-mesin pemrosesan di pabrik didatangkan dari Jerman. Saat dibangun pertama kali, pabrik ini menggunakan turbin air untuk menggerakkan mesin-mesinnya. Setelah penemuan mesin uap, pabrik menggunakan mesin-mesin dengan penggerak utama mesin uap yang memiliki kapasitas giling lebih besar. Mesin uap tertua yang ada di pabrik ini adalah B. Lahaye and Brissoneauf buatan Perancis pada tahun 1884, dan saat ini mesin uap tersebut masih berfungsi dengan baik.

Salah Satu Mesin Stasiun Gilingan Yang Digerakkan Dengan Uap
Sedangkan di sisi timur halaman museum terdapat peralatan tradisional yang digunakan untuk memproses tebu menjadi gula, seperti peralatan batu yang ditemukan di Cirebon, serta peralatan kayu yang ditarik menggunakan sapi. Hal ini menunjukkan bahwa sejatinya pabrik gula bukan merupakan industri baru di Indonesia, karena sudah pernah dilakukan dengan cara tradisional.

Peralatan Pabrik Gula Tradisional