Thursday, December 29, 2022

Curug Cantik dan Kisah Sang Tongkat

Jika bukan karena acara retreat manajemen di pertengahan November 2022, mungkin saya tidak pernah tahu tentang air terjun cantik yang jaraknya tidak jauh dari Jakarta. Curug Putri Kencana – demikian air terjun cantik tersebut dikenal – merupakan air terjun yang terletak di Kawasan Wisata Curug Putri Kencana, Desa Karang Tengah, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor. Kawasan Wisata ini masih merupakan bagian dari Kawasan wisata Gunung Pancar.

Untuk mencapai tempat ini, dari Tol Jagorawi keluar melalui gerbang Sentul City, kemudian belok kiri masuk ke arah jalan menuju Jungle Land. Sebelum pintu masuk Jungle Land, belok kanan melalui jalan perkampungan. Setelah tiba di pertigaan, belok kiri dan ikuti jalan hingga bertemu papan petunjuk menuju Curug Putri Kencana. Semakin mendekati curug, jalan semakin sempit, berliku dan naik turun, sehingga terkadang menyulitkan jika berpapasan dengan mobil lain dari arah berlawanan.

Hari itu program outing kami dimulai dengan main paintball. Saya sendiri memilih tidak ikut main paintball, takut tiba-tiba darah tinggi saya kumat. Di samping itu saya memang menjaga stamina, supaya saat trekking ke curug saya masih punya energi. Agak waswas juga, karena selama pandemi saya jarang olahraga, takutnya "baterai" jadi cepat habis saat trekking.

Program paintball selesai, waktunya kami trekking ke curug. Kami naik pick up bak terbuka untuk menuju titik awal jalur trekking. Dari tempat paintball, perjalanan makan waktu 30 menit, melewati perumahan penduduk dengan jalan yang berliku dan naik turun. Adrenalin teman-teman yang ikut main paintball masih cukup tinggi, sehingga sepanjang jalan kami bercanda-canda.

Setelah pick up menurunkan kami di titik awal jalur trekking, kami memulai trekking dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak yang tersedia. Jalan setapak ini sebagian sudah diaspal, sebagian masih berupa tanah dan bebatuan. Jalan setapak ini sebenarnya bisa ditempuh dengan motor, namun karena dari awal sudah diniatkan untuk trekking, ya kami memilih untuk berjalan kaki.

Curug Mini sebelum bertemu Curug Putri Kencana

Setelah kurang lebih berjalan selama 20 menit melalui jalur yang cukup berliku-liku, kami tiba di loket pintu masuk Kawasan Wisata Curug Putri Kencana. Disebut “kawasan wisata”, karena tempat ini memiliki lima buah curug yang alirannya berasal dari Sungai Sadon. Curug yang paling terkenal, tentu saja Curug Putri Kencana, yang dikenal juga sebagai “Love Waterfall”. Selain itu terdapat juga Curug Leuwi Parluk, Leuwi Demang, Leuwi Balung, dan Leuwi Panjang. 

Dari loket pintu masuk, kami masih harus berjalan sekitar 500 meter, untuk mencapai area curug. Di kiri kanan, terlihat beberapa curug kecil. Namun karena keterbatasan waktu, rombongan kami tak sempat mampir di curug-curug kecil tersebut. Jalan semakin menanjak, membuat saya harus sesekali berhenti sambil mengatur napas sebelum melanjutkan perjalanan. Di jalur trekking menuju curug, kami bertemu banyak pengunjung di arah turun. Beberapa ibu-ibu yang di arah turun sempat-sempatnya meledek teman-teman pria kami yang terlihat terengah-engah, “Masa’ kalah sama Ibu-Ibu!”

10 menit berjalan melewati jalur trek yang berbatu dan menanjak, akhirnya kami tiba di area Curug Putri Kencana. Nama “Putri Kencana” berasal dari mitos warga sekitar. Menurut cerita warga setempat, setiap malam Jumát mereka sering mendengar suara wanita di sekitar curug. Bahkan tak jarang ada yang melihat seorang wanita berbusana ala kerajaan, lengkap dengan perhiasan, sedang menggunakan kereta kencana. Inilah asal usul nama Putri Kencana pada air terjun tersebut.

Panorama Curug Putri Kencana dari atas jembatan

Curug Putri Kencana mengalir di antara tebing batu, dengan air yang sangat jernih. Aliran curug membentuk kolam penampung berwarna hijau tosca. Di sekitar curug penuh dengan pepohonan, sehingga suasana sangat asri. Untuk bermain di sungai, kami harus menuruni beberapa anak tangga. Namun pengunjung tetap harus waspada, karena di beberapa titik sungai memiliki kedalaman antara 2,5-5 meter. Jika tidak hati-hati, bisa terbawa arus. Beberapa teman kami memilih untuk mencelupkan kaki di sekitar pinggiran curug. Sementara Bapak-Bapak yang cukup berani mencoba berenang ke tengah aliran sungai.

Saya sendiri memilih menikmati keindahan curug dari atas jembatan. Di sisi lain dari jembatan, terlihat aliran Sungai Sadon mengalir di antara tebing-tebing batu setinggi 10 meter. Sayang saya tidak bisa melihat area ini dengan jelas, karena tertutup antrian pengunjung yang akan melompat dari bebatuan (cliff jumping) untuk masuk ke aliran sungai tersebut.

Setelah sekitar 15 menit menikmati keindahan Curug Putri Kencana dan hawa segar di sekeliingnya, waktunya kami untuk kembali. Menelusuri kembali trek menuju titik awal, kaki mulai terasa pegal karena menahan gaya gravitasi saat bergerak turun. Tiba-tiba Naila, salah seorang anggota tim saya, menyodorkan ranting yang langsing namun cukup panjang.

"Bu, mau pakai tongkat? Enak kalau jalannya pakai tongkat."

Saya menerima tongkatnya sambil berpikir, butuh nggak ya? Ego mengatakan bahwa saya masih kuat untuk turun sampai bawah tanpa bantuan tongkat. Namun logika mendesak saya untuk mengingat usia, mohon napas dan kaki dieman-eman supaya tidak tepar, karena perjalanan masih panjang untuk sampai ke rumah. Jadi akhirnya ranting tersebut saya gunakan untuk menopang tubuh, terutama ketika melalui jalan yang menurun atau agak becek.


Kenangan di Gunung Huangshan tahun 2005

Selama perjalanan dengan tongkat, saya tiba-tiba teringat pengalaman 17 tahun silam bersama keluarga, ketika harus menuruni Gunung Huangshan dengan berjalan kaki, karena cable car stop beroperasi karena angin sedang kencang. Saat itu kami harus menuruni trek sejauh 7,5 km dan memakan waktu 3 jam. Trek tersebut sudah dibeton, sehingga jauh lebih nyaman dibandingkan jalan setapak alami di Curug Putri Kencana. Namun saat itu kami pun harus dibantu tongkat, untuk menghemat stamina otot kaki. Tongkat yang kami gunakan merupakan hasil kerajinan tangan penduduk setempat, dan dijual dengan harga yang jika dikurs 2000 rupiah saja.

Terima Kasih Ranting Besar!

Kembali ke Curug Putri Kencana, setelah menelusuri trek kembali ke titik awal, akhirnya saya tiba di titik awal dengan selamat tanpa cedera atau kelelahan yang berlebihan. Sebelum kembali ke tempat paintball, saya berfoto dulu dengan ranting yang sudah menemani saya turun dari Curug Putri Kencana, untuk kenang-kenangan saya berhasil turun dari curug tanpa bantuan mamang ojek, tetapi dengan bantuan ranting besar yang berfungsi sebagai tongkat. Terima kasih ranting besar!


Saturday, July 16, 2022

Dan "Gatotkaca" pun Pensiun di Yogyakarta

Yogyakarta, kota dirgantara. Sejarah mencatat Yogyakarta merupakan tempat lahirnya TNI Angkatan Udara, menjadi kawah candradimuka para taruna TNI AU, dan menjadi “rumah” bagi pesawat-pesawat bersejarah yang menjadi bukti kemampuan para insinyur dirgantara kita. Rumah Pesawat inilah yang kita kenal sebagai Museum Dirgantara Mandala.

Saya selalu excited untuk kembali ke museum ini berulang kali, karena pesawat adalah cinta pertama saya pada teknologi. Dan kali ini, di tengah pandemi yang masih melanda, saya berkesempatan untuk kembali ke sini. Tujuan saya kali ini adalah menjenguk Gatotkaca, pesawat buatan anak bangsa yang sempat digadang-gadang menjadi penunjang jembatan udara Nusantara.di era 1990-an. Sama... tentu saja, menengok Kampret dan teman-temannya di hanggar Museum Dirgantara Mandala. Tampaknya saya perlu spill fakta menarik ini: Dirgantara Mandala adalah museum pesawat terbesar di Asia Tenggara, dengan koleksi lebih dari 50 pesawat dan berbagai alutsista lainnya.

Saat tiba di museum, ternyata ada perubahan alur pengunjung, seperti yang sudah diinfokan sebelumnya. Rupanya museum sedang melakukan penataan ulang koleksi. Baiklah, selama hanggar tidak ikut tutup, tidak masalah! Dengan perubahan pintu masuk menjadi menggunakan pintu samping, saya jadi sempat memperhatikan pesawat PBY-5A Catalina yang dipasang dekat deretan toko oleh-oleh. Pesawat patroli maritime ini merupakan pesawat amfibi yang paling banyak digunakan selama Perang Dunia II, dan saat ini masih digunakan untuk pemadaman kebakaran dari udara. Catalina buatan pabrik Douglas Amerika Serikat yang ada di museum ini digunakan TNI AU antara tahun 1950-1964 untuk memperkuat Skadron 5 Lanud Abdurrahman Saleh, dan digunakan dalam operasi penumpasan PRRI Permesta, operasi Trikora dan Dwikora.

Pesawat Amfibi PBY-5A Catalina 

Setelah saya masuk melalui ruang Kotama dan ruang mantan KSAU, saya bergegas menuju ruangan berikutnya: hanggar. Pesawat, I'm coming! Pesawat pertama yang saya cari, tentu saja si "Kampret". "Kampret" sebenarnya bukan pesawat, melainkan glider (pesawat peluncur) GX-001 buatan Sekolah Teknik Udara Perwira. Karena tidak memiliki roda, sang "Kampret" tidak dipajang di bawah bersama pesawat-pesawat lain, melainkan digantung di langit-langit. Dari caranya digantung, seolah-olah glider ini siap meluncur untuk terbang melewati koleksi pesawat di hanggar.

Glider GX-001 Kampret

Salah satu pesawat yang wajib dilihat adalah P-51 Mustang atau Si Cocor Merah. P-51 Mustang buatan Amerika merupakan pesawat buru sergap jarak jauh yang sangat handal selama PD II. Pesawat yang disimpan di museum beroperasi antara tahun 1950 sampai dengan 1969, dan pernah digunakan untuk operasi penumpasan DI/TII, PRRI/Permesta, Trikora, Dwikora, dan Operasi Trisula. 

P-51 Mustang "Si Cocor Merah"

Nama Cocor Merah berasal dari lukisan berbentuk mulut hiu menganga berwarna merah di hidung P-51. Lukisan ini bukan dibuat karena sekadar iseng. Dekorasi ini dikenal sebagai nose art, yang popular digunakan pesawat-pesawat militer sejak Perang Dunia I. Selain bertujuan untuk meningkatkan semangat tempur, lukisan ini juga menjadi sarana menyalurkan stress selama perang. Nose art yang paling popular adalah wajah ikan hiu, yang pertama kali muncul di pesawat-pesawat Jerman di Perang Dunia II. Namun wajah ikan hiu yang paling terkenal adalah yang dilukis oleh American Volunteer Group (AVG) di pesawat P-40B Flying Tiger pada bulan November 1941.

Selain Si Cocor Merah, museum juga memiliki pesawat lain yang memiliki lukisan mulut hiu, yaitu B-26 Invader. Pesawat pembom ringan buatan Amerika Serikat ini digunakan sejak tahun 1962 untuk operasi Trikora, Dwikora, Trisula, dan pada tahun 1976 digunakan memperkuat operasi Seroja sebelum di-grounded pada tahun 1977. 

B-26 Invader

Terdapat juga DH-115 Vampire, jet tempur buatan de Havilland Aircraft Company dari Inggris. Vampire merupakan jet tempur pertama yang diterbangkan di atas bumi Nusantara. TNI AU pernah memiliki 8 Vampire yang memperkuat Kesatuan Pancar Gas AURI yang (saat itu) bermarkas di Lanud Husein Sastranegara. Banyak pilot legendaris TNI AU yang pernah menerbangkan Vampire, di antaranya Rusmin Nurjadin, Leo Wattimena, Ignatius Dewanto, dan Supadio, 

DH-115 de Havilland Vampire

Di antara pesawat-pesawat tempur, tersimpan replika pesawat ringan berawak tunggal WEL-I RI-X. Pesawat pertama buatan anak bangsa ini dibuat Kapten Wiweko Soepono, tokoh perintis industri penerbangan Indonesia. Nama WEL merupakan singkatan dari Wiweko Experimental Lightplane. Pesawat ini terbang pertama kali pada tanggal 27 Oktober 1948 di pangkalan udara Maospati (sekarang Lanud Iswahyudi). Pesawat yang terpasang di museum merupakan replika, karena yang asli hancur ketika gerbong kereta api yang mengangkut pesawat ini terkena granat pemberontak PKI Madiun.

WEL-1 RI-X

Akhirnya, setelah menjenguk pesawat-pesawat dalam hangar, sampailah saya pada tujuan utama ke Dirgantara Mandala: Sang Gatotkaca. N250 Gatotkaca merupakan karya BJ Habibie, dengan cita-cita agar Indonesia mampu membuat pesawat sendiri. Hal ini bukan tanpa alasan, mengingat kondisi geografis Indonesia yang berbentuk negara kepulauan, akan lebih mudah jika terkoneksi melalui udara. Pesawat yang diproduksi IPTN ini digadang-gadang sebagai tonggak sejarah kejayaan kedirgantaraan Indonesia. Namun proyek N250 terpaksa harus berhenti bersamaan dengan krisis moneter tahun 1997. N250 akhirnya terparkir selama seperempat abad di sebuah sudut PTDI, sebelum akhirnya pindah rumah ke Museum Dirgantara Mandala di tahun 2020. Rasanya terharu akhirnya bisa melihat pesawat bersejarah ini dari dekat, setidaknya dia tidak berakhir menjadi besi tua yang tak jelas nasibnya. 

N250 Gatotkaca

Yang tak boleh dilewatkan adalah koleksi terbesar museum. Di halaman museum, di bawah naungan bangunan beratap, terdapat Tupolev Tu-16 buatan Rusia. Pada masanya, Tu-16 merupakan pesawat pembom strategis dengan teknologi paling canggih, serta memiliki kecepatan tinggi dan jarak jelajah yang jauh, membuat Indonesia menjadi salah satu negara yang paling ditakuti di Asia Tenggara di era 1960-an. Konon ketika pesawat ini didatangkan ke Indonesia. agar dapat lepas landas dan mendarat dengan sempurna, landasan pacu Lanud Iswahyudi harus diperpanjang terlebih dahulu. Tu-16 merupakan bagian dari Skadron 42 yang bermarkas di Lanud Iswahyudi, dan pernah terlibat aktif dalam operasi Trikora dan Dwikora. 

Pembom Strategis Tupolev Tu-16

Di seberang Tu-16, terlihat Lockheed C-130 Hercules generasi pertama yang digunakan TNI AU. C-130 pertama kali dibuat tahun 1954, dan telah menjalani berbagai misi militer dan sipil. Kemungkinan besar C-130 di museum ini merupakan salah satu dari10 Hercules yang menjadi embrio lahirnya Skadron Angkut Berat Jarak Jauh TNI AU di era 1960 awal. Keberadaan Hercules di Indonesia memiliki kisah yang menarik, karena Indonesia merupakan negara pertama pengguna Hercules di luar Amerika Serikat. Generasi pertama Hercules di Indonesia merupakan “hadiah” pemerintah Amerika Serikat atas penukaran tawanan pilot CIA Allen Pope yang terlibat membantu pemberontakan Permesta di Sulawesi pada tahun 1958. Diduga pesawat B-26 Pope ditembak jatuh oleh P-51 Mustang TNI AU yang dipiloti Kapten Ignatius Dewanto.

C-130 Hercules generasi pertama

Koleksi pesawat yang ada di hanggar Museum Dirgantara Mandala dapat bercerita mengenai kiprah TNI AU dalam menjaga kedaulatan bangsa kita di udara. Rasanya ingin menceritakan satu per satu kisah di balik masing-masing pesawat. Semoga pesawat-pesawat ini bukan sekadar pajangan mengenang kejayaan masa lalu, tetapi bisa menjadi motivasi generasi penerus untuk senantiasa menjaga kedaulatan bangsa kita di dirgantara.