Saturday, July 16, 2022

Dan "Gatotkaca" pun Pensiun di Yogyakarta

Yogyakarta, kota dirgantara. Sejarah mencatat Yogyakarta merupakan tempat lahirnya TNI Angkatan Udara, menjadi kawah candradimuka para taruna TNI AU, dan menjadi “rumah” bagi pesawat-pesawat bersejarah yang menjadi bukti kemampuan para insinyur dirgantara kita. Rumah Pesawat inilah yang kita kenal sebagai Museum Dirgantara Mandala.

Saya selalu excited untuk kembali ke museum ini berulang kali, karena pesawat adalah cinta pertama saya pada teknologi. Dan kali ini, di tengah pandemi yang masih melanda, saya berkesempatan untuk kembali ke sini. Tujuan saya kali ini adalah menjenguk Gatotkaca, pesawat buatan anak bangsa yang sempat digadang-gadang menjadi penunjang jembatan udara Nusantara.di era 1990-an. Sama... tentu saja, menengok Kampret dan teman-temannya di hanggar Museum Dirgantara Mandala. Tampaknya saya perlu spill fakta menarik ini: Dirgantara Mandala adalah museum pesawat terbesar di Asia Tenggara, dengan koleksi lebih dari 50 pesawat dan berbagai alutsista lainnya.

Saat tiba di museum, ternyata ada perubahan alur pengunjung, seperti yang sudah diinfokan sebelumnya. Rupanya museum sedang melakukan penataan ulang koleksi. Baiklah, selama hanggar tidak ikut tutup, tidak masalah! Dengan perubahan pintu masuk menjadi menggunakan pintu samping, saya jadi sempat memperhatikan pesawat PBY-5A Catalina yang dipasang dekat deretan toko oleh-oleh. Pesawat patroli maritime ini merupakan pesawat amfibi yang paling banyak digunakan selama Perang Dunia II, dan saat ini masih digunakan untuk pemadaman kebakaran dari udara. Catalina buatan pabrik Douglas Amerika Serikat yang ada di museum ini digunakan TNI AU antara tahun 1950-1964 untuk memperkuat Skadron 5 Lanud Abdurrahman Saleh, dan digunakan dalam operasi penumpasan PRRI Permesta, operasi Trikora dan Dwikora.

Pesawat Amfibi PBY-5A Catalina 

Setelah saya masuk melalui ruang Kotama dan ruang mantan KSAU, saya bergegas menuju ruangan berikutnya: hanggar. Pesawat, I'm coming! Pesawat pertama yang saya cari, tentu saja si "Kampret". "Kampret" sebenarnya bukan pesawat, melainkan glider (pesawat peluncur) GX-001 buatan Sekolah Teknik Udara Perwira. Karena tidak memiliki roda, sang "Kampret" tidak dipajang di bawah bersama pesawat-pesawat lain, melainkan digantung di langit-langit. Dari caranya digantung, seolah-olah glider ini siap meluncur untuk terbang melewati koleksi pesawat di hanggar.

Glider GX-001 Kampret

Salah satu pesawat yang wajib dilihat adalah P-51 Mustang atau Si Cocor Merah. P-51 Mustang buatan Amerika merupakan pesawat buru sergap jarak jauh yang sangat handal selama PD II. Pesawat yang disimpan di museum beroperasi antara tahun 1950 sampai dengan 1969, dan pernah digunakan untuk operasi penumpasan DI/TII, PRRI/Permesta, Trikora, Dwikora, dan Operasi Trisula. 

P-51 Mustang "Si Cocor Merah"

Nama Cocor Merah berasal dari lukisan berbentuk mulut hiu menganga berwarna merah di hidung P-51. Lukisan ini bukan dibuat karena sekadar iseng. Dekorasi ini dikenal sebagai nose art, yang popular digunakan pesawat-pesawat militer sejak Perang Dunia I. Selain bertujuan untuk meningkatkan semangat tempur, lukisan ini juga menjadi sarana menyalurkan stress selama perang. Nose art yang paling popular adalah wajah ikan hiu, yang pertama kali muncul di pesawat-pesawat Jerman di Perang Dunia II. Namun wajah ikan hiu yang paling terkenal adalah yang dilukis oleh American Volunteer Group (AVG) di pesawat P-40B Flying Tiger pada bulan November 1941.

Selain Si Cocor Merah, museum juga memiliki pesawat lain yang memiliki lukisan mulut hiu, yaitu B-26 Invader. Pesawat pembom ringan buatan Amerika Serikat ini digunakan sejak tahun 1962 untuk operasi Trikora, Dwikora, Trisula, dan pada tahun 1976 digunakan memperkuat operasi Seroja sebelum di-grounded pada tahun 1977. 

B-26 Invader

Terdapat juga DH-115 Vampire, jet tempur buatan de Havilland Aircraft Company dari Inggris. Vampire merupakan jet tempur pertama yang diterbangkan di atas bumi Nusantara. TNI AU pernah memiliki 8 Vampire yang memperkuat Kesatuan Pancar Gas AURI yang (saat itu) bermarkas di Lanud Husein Sastranegara. Banyak pilot legendaris TNI AU yang pernah menerbangkan Vampire, di antaranya Rusmin Nurjadin, Leo Wattimena, Ignatius Dewanto, dan Supadio, 

DH-115 de Havilland Vampire

Di antara pesawat-pesawat tempur, tersimpan replika pesawat ringan berawak tunggal WEL-I RI-X. Pesawat pertama buatan anak bangsa ini dibuat Kapten Wiweko Soepono, tokoh perintis industri penerbangan Indonesia. Nama WEL merupakan singkatan dari Wiweko Experimental Lightplane. Pesawat ini terbang pertama kali pada tanggal 27 Oktober 1948 di pangkalan udara Maospati (sekarang Lanud Iswahyudi). Pesawat yang terpasang di museum merupakan replika, karena yang asli hancur ketika gerbong kereta api yang mengangkut pesawat ini terkena granat pemberontak PKI Madiun.

WEL-1 RI-X

Akhirnya, setelah menjenguk pesawat-pesawat dalam hangar, sampailah saya pada tujuan utama ke Dirgantara Mandala: Sang Gatotkaca. N250 Gatotkaca merupakan karya BJ Habibie, dengan cita-cita agar Indonesia mampu membuat pesawat sendiri. Hal ini bukan tanpa alasan, mengingat kondisi geografis Indonesia yang berbentuk negara kepulauan, akan lebih mudah jika terkoneksi melalui udara. Pesawat yang diproduksi IPTN ini digadang-gadang sebagai tonggak sejarah kejayaan kedirgantaraan Indonesia. Namun proyek N250 terpaksa harus berhenti bersamaan dengan krisis moneter tahun 1997. N250 akhirnya terparkir selama seperempat abad di sebuah sudut PTDI, sebelum akhirnya pindah rumah ke Museum Dirgantara Mandala di tahun 2020. Rasanya terharu akhirnya bisa melihat pesawat bersejarah ini dari dekat, setidaknya dia tidak berakhir menjadi besi tua yang tak jelas nasibnya. 

N250 Gatotkaca

Yang tak boleh dilewatkan adalah koleksi terbesar museum. Di halaman museum, di bawah naungan bangunan beratap, terdapat Tupolev Tu-16 buatan Rusia. Pada masanya, Tu-16 merupakan pesawat pembom strategis dengan teknologi paling canggih, serta memiliki kecepatan tinggi dan jarak jelajah yang jauh, membuat Indonesia menjadi salah satu negara yang paling ditakuti di Asia Tenggara di era 1960-an. Konon ketika pesawat ini didatangkan ke Indonesia. agar dapat lepas landas dan mendarat dengan sempurna, landasan pacu Lanud Iswahyudi harus diperpanjang terlebih dahulu. Tu-16 merupakan bagian dari Skadron 42 yang bermarkas di Lanud Iswahyudi, dan pernah terlibat aktif dalam operasi Trikora dan Dwikora. 

Pembom Strategis Tupolev Tu-16

Di seberang Tu-16, terlihat Lockheed C-130 Hercules generasi pertama yang digunakan TNI AU. C-130 pertama kali dibuat tahun 1954, dan telah menjalani berbagai misi militer dan sipil. Kemungkinan besar C-130 di museum ini merupakan salah satu dari10 Hercules yang menjadi embrio lahirnya Skadron Angkut Berat Jarak Jauh TNI AU di era 1960 awal. Keberadaan Hercules di Indonesia memiliki kisah yang menarik, karena Indonesia merupakan negara pertama pengguna Hercules di luar Amerika Serikat. Generasi pertama Hercules di Indonesia merupakan “hadiah” pemerintah Amerika Serikat atas penukaran tawanan pilot CIA Allen Pope yang terlibat membantu pemberontakan Permesta di Sulawesi pada tahun 1958. Diduga pesawat B-26 Pope ditembak jatuh oleh P-51 Mustang TNI AU yang dipiloti Kapten Ignatius Dewanto.

C-130 Hercules generasi pertama

Koleksi pesawat yang ada di hanggar Museum Dirgantara Mandala dapat bercerita mengenai kiprah TNI AU dalam menjaga kedaulatan bangsa kita di udara. Rasanya ingin menceritakan satu per satu kisah di balik masing-masing pesawat. Semoga pesawat-pesawat ini bukan sekadar pajangan mengenang kejayaan masa lalu, tetapi bisa menjadi motivasi generasi penerus untuk senantiasa menjaga kedaulatan bangsa kita di dirgantara.