Tuesday, July 17, 2018

Ganesha di Tengah Kebun

Hari ini saya bergabung dengan Indonesia A-Z dan Indoreadgram, komunitas yang bertujuan meningkatkan minat baca lewat berbagi bacaan dan kegiatan literasi, untuk berkunjung ke Museum di Tengah Kebun. Di akhir acara, kami akan melakukan sharing session mengenai menulis pengalaman berkunjung ke museum. Mengapa museum ini yang dipilih menjadi obyek? Museum di Tengah Kebun sangat unik, karena merupakan museum swasta milik perorangan. Museum ini didirikan oleh Bapak Sjahrial Djalil, seorang tokoh periklanan modern Indonesia. Museum ini menempati rumah tinggal pak Iyal (demikian panggilan akrabnya), dengan isi museum adalah koleksi barang antik dan barang bersejarah yang dikumpulkan Pak Iyal sejak masa remajanya.

Setelah seluruh rombongan dari komunitas Indoreadgram tiba, mas Rian, pemandu dari Museum di Tengah Kebun, membuka perjalanan kami dengan penjelasan singkat mengenai museum dan peraturan yang harus kami patuhi selama berkunjung. Dibangun di atas lahan seluas 4200 meter persegi, dan sebagian dibangun menggunakan sisa bangunan bersejarah. Di antaranya terdapat batu bata dari bekas gedung VOC dan bekas gedung metrologi di Tugu Tani, serta engsel pintu dari penjara wanita di Bukit Duri.

Indoreadgram: Baca, Beraksi, Bermedia
Museum ini menyimpan tidak kurang dari 4000 koleksi dari Indonesia dan mancanegara yang disimpan dalam 17 buah ruangan. Pak Iyal mengumpulkan koleksi benda seni ini bukan sekadar untuk memuaskan hasratnya dalam bidang arkeologi, tetapi juga untuk memenuhi cita-cita beliau mengembalikan benda-benda budaya Indonesia yang ada di luar negeri. Khusus koleksi dari luar negeri, pak Iyal memperolehnya dari balai lelang Christie. Beliau tidak mau membeli dari perorangan, untuk menjamin keaslian barang yang diperoleh. Sayangnya, seiring menurunnya kondisi kesehatan pak Iyal, sejak tahun 2012 beliau tidak lagi melakukan perjalanan ke luar negeri untuk mencari benda-benda seni.

Sambil mengantar kami masuk ke ruang pertama, mas Rian menjelaskan bahwa koleksi di Museum di Tengah Kebun tidak ditata secara tematik, melainkan sesuai selera pak Iyal. Nama ruangan disesuaikan dengan koleksi yang paling dominan atau koleksi favorit. Seperti di ruangan pertama, ruangan ini memiliki dua pasang patung loro blonyo, sehingga dinamakan ruang Loro Blonyo. Loro Blonyo menggambarkan sepasang pengantin berbusana Jawa yang diwakili oleh Dewa Wisnu dan Dewi Sri. Sepasang dewa-dewi ini menggambarkan kemakmuran dan kesuburan, sehingga memasang patung ini di rumah diharapkan dapat membuat penghuni rumah tersebut ketularan berkah kemakmuran dan kesuburan.

Loro Blonyo
Ruangan berikutnya adalah living room yang diberi nama Ruang Buddha Myanmar, dengan keberadaan arca perunggu yang menggambarkan Buddha dan berasal dari Myanmar. namun yang paling menarik perhatian kami justru sofa yang ditata dengan cantik. Kami bergantian berfoto di sofa ini. Sebagai latar belakang, di atas sofa terdapat hiasan kepala rusa dari Madura. Kepala rusa tersebut terbuat dari kayu, namun tanduknya berasal dari rusa. Ruangan ini dilengkapi dengan toilet yang juga dihiasi beberapa benda seni.

Sofa Ruang Buddha Myanmar
Walaupun bernama ruang Buddha Myanmar, ruangan ini juga menyimpan beberapa arca Buddha dari negara lain. Di antara beberapa arca Buddha di ruangan ini, arca yang paling menarik perhatian saya adalah arca Tathagata Aksobya yang terbuat dari perunggu dan disimpan di dalam lemari. Arca yang berasal dari Tibet abad ke-16 ini menggambarkan salah satu dari Lima Buddha Kebijaksanaan dalam aliran Buddha Tantrayana. Saya jarang menemukan arca Buddha yang secara spesifik disebut sebagai Tathagata. “Tathagata” adalah cara Sang Buddha menyebut dirinya sendiri dalam Kitab Pali, dan nama ini sejatinya merupakan asal dari nama belakang saya.

Arca Tathagata Aksobya
Saat kami sibuk melihat koleksi sekaligus berfoto, mas Rian menyampaikan bahwa pak Iyal baru selesai berjemur dan berkenan menemui kami. Satu per satu kami menghampiri pak Iyal dan bersalaman dengan beliau. Karena kondisi kesehatannya, saat ini pak Iyal lebih banyak menghabiskan waktunya di atas kursi roda, dan aktivitas beliau lebih banyak dibantu oleh asisten merangkap perawat. Namun hal ini tidak mengurangi semangat pak Iyal untuk berinteraksi dengan tamu yang mengunjungi Museum. Beliau bahkan bersedia berfoto bersama kami.

Indoreadgram dan Pak Sjahrial Djalil
Setelah berfoto dengan pak Iyal, mas Rian membawa kami ke Ruang Dewi Sri. Ruangan ini merupakan ruang makan, lengkap dengan meja makan dan perangkat makan yang masih digunakan oleh pak Iyal. Ruang makan ini dilengkapi dengan dapur yang juga masih digunakan. Di atas lemari dapur terpasang Patung Penjaga Dapur asal Jawa Timur. Menurut mas Rian, patung tersebut dipasang untuk mengusir pengganggu di dapur, seperti kucing yang suka mencuri makanan.

Patung Penunggu Dapur
Sebelum masuk ke ruang kerja pak Iyal, kami berhenti di jembatan yang melintasi kolam kecil. Di dekat pintu masuk ruang kerja pak Iyal terdapat arca Wisnu yang berasal dari Kedu di abad ke-10. Arca tersebut ditemukan dalam keadaan tertelungkup, dan penduduk memanfaatkan bagian belakang arca untuk mengasah benda-benda tajam. Untuk "menyelamatkan" arca tersebut, pak Iyal "menukar" arca tersebut dengan membangun sekolah dan fasilitas umum.

Arca Wisnu
Setelah melihat ruang kerja pak Iyal yang sekaligus merangkap sebagai perpustakaan dan tempat menyimpan beberapa koleksi, kami diperkenankan masuk ke kamar tidur pak Iyal, di mana pak Iyal tengah beristirahat. Yang istimewa adalah kamar mandinya yang berukuran 9x11 meter, lebih besar daripada ukuran kamar tidurnya. Selain dilengkapi peralatan standar kamar mandi, ruangan ini juga berisi beberapa benda koleksi seni, di antaranya adalah Patung Singa Garuda dari Bali.

Kamar Mandi pak Sjahrial Djalil
Dari kamar tidur pak Iyal, mas Rian membawa kami ke Ruang Khazanah yang menyimpan berbagai koleksi perhiasan serta benda-benda keramik dari Dinasti Tang. Di dekat pimtu masuk Ruang Khazanah, terdapat arca Bodhisatwa Wajrapani. Arca ini buatannya sangat halus dan masih utuh, sehingga harganya sangat tinggi saat dilelang di Balai Lelang Christie. Untuk membeli arca ini, pak Iyal harus menjual 2 apartemennya di Amerika Serikat. Harga arca tersebut (saat itu) setara 1 miliar Rupiah, sehingga bisa jadi arca ini merupakan koleksi termahal di Museum di Tengah Kebun.

Boddhisatwa Vajrapani
Pak Iyal juga banyak mengoleksi keramik dari Jepang dan Tiongkok. Sebagian besar koleksi keramik ini diletakkan di Ruang Tamu. Dari koleksi tersebut terlihat perbedaan keramik asal Jepang dan asal Tiongkok. Keramik asal Jepang umumnya penuh warna, sedangkan keramik asal Tiongkok lebih sederhana. Selain itu terdapat patung Shaulau dari gading yang digunakan untuk mengabadikan wajah leluhur keluarga bangsawan Tiongkok di masa dinasti Ming.

Shaulau Gading
Di balik Ruang Tamu terdapat Ruang Majapahit, yang menyimpan koleksi patung terakota dari masa Majapahit. Patung terakota yang menggambarkan dewa dewi masa Hindu-Buddha merupakan hal yang umum ditemukan di area yang diperkirakan merupakan daerah kekuasaan Majapahit. Namun pak Iyal memiliki satu koleksi unik, yaitu arca terakota Dewi Kwan Im dari masa Majapahit. Ini membuktikan bahwa pada masa itu telah terjadi hubungan antar kedua bangsa.

Arca Dewi Kwan Im dari terakot
Mas Rian kemudian membawa kami menuju ruangan terakhir, yang disebut Ruang Wilhelm. Nama ruangan ini berasal dari lukisan dan patung dada Raja Wilhelm II dari Jerman. Sebagian besar koleksi di ruangan ini merupakan barang-barang dari perak, namun koleksi yang paling menarik adalah miniatur sayur dan buah yang terbuat dari gading gajah. Koleksi dari abad ke-19 di India ini diletakkan di sebuah talam perak dari Perancis.

Miniatur Sayur dan Buah
Akhirnya kami tiba di bagian favorit dari museum ini, yaitu kebun bagian dalam museum. Mas Rian memberi waktu kepada rombongan kami untuk berkeliling kebun selama 30 menit. Di kebun ini terdapat 2 buah gazebo, dan masing-masing menyimpan beberapa benda koleksi. Kebun ini juga dilengkapi dengan kolam renang. Adapun koleksi terbanyak yang dipasang di tengah kebun adalah arca. Sebagian arca tersebut masih dalam keadaan utuh, namun sebagian lainnya ada yang dalam keadaan sudah tidak sempurna.

Kebun Arca
Di antara arca-arca yang tersebar di kebun, yang paling menonjol adalah arca Ganesha berukuran besar yang terletak di balik daun-daunan tepat di seberang gazebo, dan merupakan ikon dari Museum di Tengah Kebun. Arca seberat 3,5 ton yang melambangkan Dewa Ilmu Pengetahuan ini berasal dari daerah Kedu dan diperkirakan pada tahun 800-an. Menurut mas Rian, untuk membawa arca ini dilakukan secara diam-diam di malam hari, agar tidak menimbulkan keributan dengan penduduk sekitar di tempat arca ini ditemukan. Arca ini bukanlah satu-satunya arca Ganesha yang ada di Museum di Tengah Kebun, karena saya menemukan beberapa arca Ganesha lainnya dengan ukuran yang berbeda-beda. Jadi, manakah arca Ganesha favoritmu? Favorit saya tentu saja arca Ganesha yang paling besar!

Mana Ganesha Favoritmu?
Untuk bisa mengunjungi museum unik yang terletak di Jl. Kemang Timur Raya No. 66 ini, pengunjung harus melakukan reservasi minimum 2 minggu sebelum tanggal kunjungan. Tidak ada biaya tiket masuk, namun museum hanya buka setiap hari Sabtu dan Minggu, pukul 09.00-15.00. Pada saat buka pengelola museum hanya menyediakan slot untuk 2 rombongan dengan kapasitas masing-masing rombongan minimum 7 orang dan maksimum 15 orang.

Tuesday, July 10, 2018

(Bukan) Museum Pergamon

Museum Pergamon. Membaca namanya saja sudah membuat tertarik untuk mengunjungi. Museum yang terletak di Kota Berlin ini menyimpan koleksi barang antik, benda-benda dari Timur Tengah, serta kesenian Islam. Koleksi primadonanya adalah Altar Pergamon, Gerbang Ishtar Babilonia, rekonstruksi Gerbang Pasar Miletus dari reruntuhan di Anatolia, serta Fasad Mshatta, membuat saya semakin penasaran untuk mengunjunginya.

Katedral di Sungai Spree
Siang itu kami mendarat di Museumsinsel (Museum Island), sebuah pulau buatan di atas Sungai Spree di tengah Kota Berlin, Tempat ini telah dibangun sejak tahun 1797, dan secara bertahap berdiri museum-museum berikut: Altes Museum (Old Museum), Neues Museum (New Museum), Alte Nationalgalerie (Old National Gallery), Bode Museum, dan Pergamon Museum. Tentu saja, kami sangat ingin melihat Museum Pergamon, museum yang terbaru (walau sudah dibangun sejak 1930) sekaligus yang paling terkenal. Namun ketika kami tiba di bangunan Pergamon Museum, terlihat antrian panjang menanti kehadiran kami. Alamak, panjang antriannya melebihi antrian wahana di Dufan! Akhirnya setelah melihat situasi panjang antrian, kami memutuskan untuk masuk ke Neues Museum yang antriannya tidak terlalu panjang.

Salah Satu Arca Mesir di Neues Museum
Neues Museum merupakan museum kedua yang didirikan di Museuminsel. Dibangun antara tahun 1843 dan 1855, nama Neues Museum diberikan karena sebelumnya di tempat ini sudah ada Konigliches Museum yang berganti nama menjadi Altes Museum. Museum didirikan untuk menampung koleksi yang sudah tidak bisa disimpan di Altes Museum. Bangunan museum dirancang oleh Friedrich August Stuler dengan konsep museum untuk menampilkan adikarya seni seperti lukisan-lukisan dari pelukis Eropa sebelum abad ke-19, serta patung-patung klasik dari masa Yunani dan Romawi kuno.

Lukisan Dinding

Museum sempat tutup ketika Perang Dunia II dimulai pada tahun 1939, dan rusak berat akibat pengeboman Kota Berlin. Sempat ditelantarkan selama bertahun-tahun, pembangunan kembali museum ini sempat dicoba pada tahun 1986, namun terhenti karena peristiwa diruntuhkannya Tembok Berlin dan Penyatuan Jerman. Tahun 2003, pembangunan kembali museum dilakukan di bawah koordinasi arsitek asal Inggris David Chipperfield, hingga museum dibuka kembali pada tahun 2009. Saat ini museum menyimpan tidak kurang dari 6000 koleksi dengan tema Jaman Mesir Kuno, Jaman Pra-Sejarah, dan awal Jaman Sejarah.

Firaun dari jauh
Firaun dari dekat

Setelah bersabar mengantri untuk membeli tiket dan masuk ke bangunan Neues Museum, “masalah” baru muncul: museum ini terdiri dari 4 lantai dan sangat besar, padahal kami bermaksud membatasi waktu kunjungan karena masih mau melihat tempat-tempat lain di Kota Berlin. Akhirnya kami memutuskan untuk berfokus pada koleksi dari masa Mesir Kuno yang terdapat di lantai 1 dan basement museum. Kami meminjam alat audio guide berbahasa Inggris untuk bisa mendapatkan penjelasan lebih detail mengenai koleksi museum. Namun pada kenyataannya, alat yang saya gunakan kurang begitu berfungsi, dan informasi yang saya inginkan ternyata sudah tercantum dalam panel-panel di dekat benda koleksi. Beberapa panel bahkan menjelaskan kondisi ruangan sebelum rusak akibat Perang Dunia II, dan ruangan tersebut masih menyimpan sisa interior dari ruangan museum sebelum Perang Dunia II.

Sisa Interior Bangunan Lama
Salah Satu Kubah Museum
Ini adalah pengalaman pertama saya melihat koleksi sejarah Mesir Kuno dari dekat. Peradaban Mesir Kuno sangat kental dalam mempercayai kekuatan gaib dan kehidupan setelah kematian (afterworld). Untuk itu mereka memiliki cara pemakaman yang diyakini sebagai kebutuhan menjamin keabadian setelah kematian, yaitu mumifikasi (pengawetan tubuh) dan penguburan mayat bersama barang-barang yang akan digunakan almarhum di akhirat. Merinding juga ketika saya melewati serta mengamati beberapa koleksi terkait mumifikasi dan peralatan yang digunakan untuk menyimpan organ tubuh serta barang-barang almarhum di dalam makam.

Peralatan Mumifikasi
Guci untuk menyimpan organ tubuh
Dengan perkembangan peradaban, orang Mesir Kuno meletakkan mayat di dalam sarkofagus (peti mati) berupa batu empat persegi panjang atau peti kayu. Setiap sarkofagus memiliki bentuk yang berbeda, karena didesain dengan menyesuaikan pada status dan profesi jenasah yang dimakamkan pada sarkofagus tersebut. Sebagai contoh, foto berikut menggambarkan sarkofagus yang penuh dengan tulisan hieroglif untuk seorang Djehapimu atau petugas audit kerajaan Mesir Kuno. Walaupun koleksi sarkofagus milik Neues Museum diletakkan di tempat terbuka dan terang benderang, tetap saja ada perasaan merinding saat saya berada di dekat benda tersebut.

Sarkofagus Petugas Audit Kerajaan
Koleksi primadona dari Neues Museum adalah patung dada Ratu Nefertiti dari Mesir. Patung yang menggambarkan permaisuri dari Firaun Akhenaten ini dibuat oleh Thutmose, dengan bahan baku batu kapur yang dicat dengan lapisan stucco. Dipercaya dibuat pada tahun 1345 SM, patung ini merupakan adikarya Mesir kuno yang paling banyak direplika. Nefertiti sendiri merupakan ikon kecantikan, karena digambarkan dengan profil yang memiliki leher jenjang, alis anggun, tulang pipi tinggi, hidung mancung, serta senyum dengan bibir merah merekah. Patung dada ini ditemukan oleh tim arkeologi Jerman yang dipimpin oleh Ludwig Borchardt pada tahun 1912 di Mesir, dan tiba di Jerman pada tahun 1913, sebelum dipajang di Neues Museum hingga masa Perang Dunia II. Dalam perjalanannya, patung ini sempat berpindah-pindah tempat, termasuk di gudang bawah tanah sebuah bank, di tambang garam di Merker-Kieselbach, Museum Dahlem, Museum Mesir di Charlottenburg, dan Altes Museum. Patung dada ini akhirnya kembali ke Neues Museum ketika museum dibuka kembali setelah renovasi pada tahun 2009. Sayang sekali, koleksi primadona ini tidak boleh dipotret, dan dijaga ketat oleh petugas sekuriti.

Koleksi Sarkofagus
Sebelum meninggalkan museum, saya memperhatikan patung-patung yang menjadi hiasan taman di sekitar museumsinsel. Terlihat sebuah patung singa berwarna hitam yang menarik perhatian, sehingga saya langsung memotret dan mempostingnya di social media. Patung singa tersebut buatan August Gaul, seorang tokoh seni Jerman dari masa sebelum Perang Dunia I. Patung ini sebenarnya dilengkapi dengan QR code, dan pengunjung yang memindai QR code tersebut akan mendapat telepon dari sang patung dan menceritakan kisahnya. Namun saya melewatkan kesempatan ini, karena saya terlalu memperhatikan kok patung tersebut mirip patung macan Cisewu ya...

Gaul's Lowe

Saturday, July 7, 2018

Belajar Membatik di Museum Batik Pekalongan

Pekalongan merupakan kota pesisir di Pantai Utara Jawa yang dijuluki Kota Batik, karena menjadi pusat pengembangan batik pesisir. Industri batik di Pekalongan telah muncul sejak periode 1850-1860, dengan pengusaha batik yang terdiri dari kaum pribumi, pengusaha Tionghoa, dan para istri orang Belanda, sehingga tidak salah kiranya jika di Kota Batik ini didirikan sebuah museum yang menyimpan berbagai koleksi batik dan hal-hal terkait lainnya.

Tampak Depan Museum
Antik dan adem adalah kesan pertama ketika saya memasuki bangunan kuno bergaya art deco peninggalan masa kolonial Belanda yang menjadi tempat Museum Batik Pekalongan. Bangunan yang berada di Jl. Jetayu No. 1 ini didirikan pada tahun 1906, dan sebelumnya pernah digunakan sebagai Balai Kota Pekalongan. Saat ini, bangunan yang memiliki ruangan-ruangan luas dengan pintu dan jendela berukuran besar khas bangunan Belanda tersebut telah disulap menjadi museum dengan 3 ruang pamer, ruang pertemuan, perpustakaan, kedai cenderamata, dan sebuah workshop membatik di bagian belakang museum. Sebuah taman yang terletak di tengah-tengah bangunan menambah keasrian museum.

Halaman Dalam Museum
Sebelum melihat-lihat koleksi museum yang diresmikan pada tanggal 12 Juli 2006 oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, kami mendaftar di meja registrasi, membeli tiket, dan mengambil brosur museum. Pemandu museum kemudian membawa kami memasuki ruang pamer pertama yang berisi peralatan membatik dan koleksi batik pesisir. Koleksi peralatan membatik disimpan dalam meja yang tertutup kaca, dan terdiri dari canting tulis, canting cap, malam, dan zat pewarna, baik pewarna alam maupun perwarna buatan. Khususnya untuk canting tulis, ternyata seperti alat tulis modern, canting tulis pun memiliki ukuran yang beragam, mulai dari canting 0 (canting dengan lubang yang sangat kecil untuk membuat pola) hingga canting 7 yang paling besar.

Aneka Canting Cap
Koleksi batik pesisir yang ada di ruangan ini berasal dari Pekalongan, Cirebon dan Lasem. Walaupun secara umum batik pesisir memiliki ciri warna yang cerah dengan motif naturalis, masing-masing daerah pesisir tetap memiliki ciri khas batiknya sendiri. Batik Pekalongan diwakili motif Jlamprang, yang merupakan pengembangan motif kain Patola dari India. Batik Lasem menampilkan batik dengan ciri khas warna merah seperti darah ayam. Batik Cirebon diwakili motif mega mendung yang dipengaruhi kebudayaan Cina.

Pemandu kemudian membawa kami ke ruang pamer kedua. Di dalam ruangan ini terdapat koleksi batik Nusantara. Walaupun sebetulnya tidak semua daerah di Indonesia memiliki batik, namun saat ini masing-masing daerah di Nusantara mengembangkan motif khasnya. Sebagai contoh adalah koleksi batik Lampung yang mengambil motif kain tenun tapis, koleksi batik Kalimantan yang dipengaruhi motif khas suku Dayak, serta batik-batik dari Jawa Barat yang merupakan kreasi para pengrajin batik dari Yogyakarta atau Surakarta yang mengungsi ke wilayah tersebut akibat peperangan.

Masih belum puas melihat-lihat batik Nusantara di ruangan kedua, pemandu sudah membukakan pintu menuju ruang pamer ketiga. Ruangan ini berisi batik Vorstendlanden, atau batik pedalaman yang berasal dari Yogyakarta dan Surakarta. Batik-batik ini dikembangkan dari batik yang digunakan keluarga keraton, sehingga motifnya sarat dengan makna-makna tersirat. Sebagai contoh adalah batik motif Sekar Jagad, yang bermakna penguasaan dunia. Salah satu batik yang istimewa dari koleksi batik pedalaman yang dipajang saat kami di sana adalah batik Peksi Huk yang diciptakan oleh KRT Hardjonegoro atau Go Tik Swan, seorang pembatik dari Solo yang ditugaskan Bung Karno membuat batik motif Indonesia. Di bagian terakhir dari ruangan ketiga ini terdapat batik yang disumbangkan oleh beberapa petinggi negara, seperti batik milik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Ani, Bapak Hatta Rajasa dan Ibu Okke, serta Walikota Pekalongan Bapak M. Chaeron dan Ibu Corina. 

Belajar Membatik di Workshop
Walaupun hanya terdiri dari 3 ruang pamer, total koleksi batik di museum ini tidak kurang dari 1089 buah, sehingga untuk menampilkan seluruh koleksi, batik-batik tersebut dipamerkan secara bergiliran setiap 4 bulan sekali. Dengan demikian, apabila Anda kembali berkunjung ke museum ini di waktu yang lain, bisa jadi Anda akan menemukan koleksi batik yang berbeda dengan yang Anda lihat sebelumnya. Namun koleksi batik dalam ketiga ruangan tersebut tidak boleh dipotret, agar tidak disalahgunakan untuk merepro motif-motif tersebut.

Alat Pewarnaan Batik
Setelah melihat koleksi batik di ketiga ruangan tersebut, pemandu membawa kami ke bagian paling menarik dari museum ini, yaitu workshop. Di workshop ini terdapat rangkaian gambar yang menjelaskan proses pembuatan batik Jlamprang khas Pekalongan. Ada beberapa pembatik muda yang sedang memperagakan cara nglowong dengan menggunakan canting tulis, dan kami diperbolehkan mencobanya. Ternyata membubuhkan malam di atas kain itu tidak gampang. Salah sedikit, malam cair yang panas akan membleber pada kain, atau bahkan menetes mengenai kulit. Para pembatik kemudian mengajarkan teknik memegang canting yang benar, agar malam bisa menempel dengan rapi pada kain tanpa bleber atau menetes. Di bagian ini juga terdapat peralatan yang digunakan untuk memproses batik, termasuk canting cap dengan berbagai motif, alat-alat untuk pewarnaan batik, dan alat pengolahan limbah pewarnaan batik.

Museum Batik Pekalongan buka setiap hari Senin hingga Minggu, pukul 08.00 hingga 15.00 WIB. Harga tiket masuknya sangat terjangkau, yaitu Rp 5.000,- untuk orang dewasa, dan Rp 1.000,- untuk anak-anak. Bagi Anda yang ingin belajar membatik dengan lebih mendalam, museum ini juga menyediakan pelatihan tata cara membatik dengan biaya yang sangat terjangkau, bergantung pada ukuran kain yang digunakan. Sedangkan bagi Anda yang hobi berfoto narsis, usai kunjungan museum Anda bisa berfoto di depan bangunan museum, atau pada tugu di lapangan depan museum yang berbentuk huruf B, A, T, I, dan K dengan hiasan motif batik.


Artikel pernah diterbitkan di Readers' Digest Tahun 2014

Wednesday, July 4, 2018

Jelajah Sisi Lain Bandara Halim Perdanakusuma

Vliegveld Tjililitan, 24 November 1924. Fokker VII nomor registrasi NAHCC yang diawaki pilot KLM A.N.J. Thomassen a Thuessink van der Hoop, Co-Pilot Letnan H. Van Weerden Poelman, dan mekanik KLM Van den Broeke, baru saja mendarat di Vliegveld Tjililitan, Batavia setelah take off dari Muntok dalam rangka menyelesaikan tahapan akhir rute Amsterdam-Batavia. Pesawat yang lepas landas dari Schippol pada tanggal 1 Oktober 1924 ini baru saja menyelesaikan 55 hari perjalanannya, sekaligus menjawab “tantangan” membuka rute penerbangan dari Belanda ke koloni-koloninya, khususnya ke Hindia Belanda sebagai wilayah jajahan terbesar.

Monumen T-34 Mentor
Inilah salah satu peristiwa penting yang pernah terjadi di lapangan udara yang saat ini kita kenal sebagai Bandara Halim Perdanakusuma. Menjalani dua fungsi sebagai pangkalan udara militer sekaligus melayani penerbangan komersial, hari ini kami beruntung bisa mengunjungi sisi lain dari Bandara Halim Perdanakusuma. Jika sehari-hari kami ada di sisi bandara komersil untuk terbang dengan Citilink atau Batik Air, hari ini kami diajak Bang Adep dan komunitas Sahabat Museum untuk melihat Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma dan sejarah di balik keberadaan pangkalan udara tersebut. Bisa dibayangkan, bagi saya melihat pesawat sambil mendengarkan cerita sejarah itu udah kaya anak kecil dikasih gadget yang penuh dengan game, wauw.

Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, atau awalnya bernama Vliegveld Tjililitan, dibangun pada tahun 1915 untuk melayani penerbangan sipil, khususnya pesawat-pesawat sport. Lahan yang digunakan untuk Vliegveld Tjililitan semula merupakan tanah partikelir bernama Tandjoeng Oost yang dimiliki oleh Pieter van der Velde, yang semula diperuntukkan sebagai lahan perkebunan. Adanya pendaratan Fokker VII NAHCC tahun 1924 menandai peristiwa penting yang mengubah fungsi Vliegveld Tjililitan menjadi bandara internasional pertama di Hindia Belanda.

Monumen Dakota Skadron Udara 2
Vliegveld Tjililitan “berhenti sementara” sebagai tempat pendaratan pesawat-pesawat dari Eropa pada tahun 1940, ketika fungsi bandara komersial internasional dipindahkan ke Vliegveld Kemajoran. Dua hari sebelum peresmian Vliegveld Kemajoran tanggal 8 Juli 1940, sebuah DC-3 milik KNILM (Koninklijke Nederlands Indische Luchtvaart Maatschappij) lepas landas dari Vliegveld Tjililitan untuk menjadi pesawat pertama yang mendarat di Vliegveld Kemajoran. Pada masa Perang Dunia, seiring meningkatnya kebutuhan militer, Vliegveld Tjililitan beralih fungsi menjadi lapangan udara militer. Fungsi ini berlanjut setelah tahun 1945, ketika Batavia dikuasai Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL), di mana di tahun 1946, Vliegveld Tjililitan menjadi basis  Militaire Luchtvaart van het Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (ML-KNIL atau Angkatan Udara KNIL).

Sebagai salah satu hasil Konferensi Meja Bundar tahun 1949 di Den Haag, pemerintah Belanda diwakili oleh Kepala Militaire Luchtvoort (Penerbangan Militer) menyerahkan Vliegveld Tjililitan kepada pemerintah Indonesia pada 20 Juni 1950. Diterima oleh KSAU Komodor Udara Soerjadi Suryadarma, Vliegveld Tjililitan diperuntukkan sebagai pangkalan udara militer sekaligus markas Komando Operasi Angkatan Udara I TNI-AU. Tanggal 17 Agustus 1952, nama Lapangan Udara Tjiilitan kemudian diganti menjadi Halim Perdanakusuma, sebagai penghormatan kepada Marsekal Muda TNI (Anumerta) Abdul Halim Perdanakusuma yang gugur pada tanggal 14 Desember 1947 ketika pesawat yang diterbangkan jatuh di Tanjung Hantu, Semenanjung Malaya.


Keseharian Bandara HLP
Namun fungsi Lapangan Udara Halim Perdanakusuma sebagai pangkalan udara militer ternyata tidak berlangsung selamanya. Tahun 1974, Bandara Halim Perdanakusuma kembali melayani penerbangan komersial sebagai pendamping Bandara Kemayoran untuk penerbangan internasional. Setelah Bandara Kemayoran ditutup secara resmi pada 1 Mei 1985 dan seluruh penerbangan komersial dipindahkan ke Bandara Soekarno-Hatta, Bandara Halim Perdanakusuma kembali berfokus pada kepentingan penerbangan militer. Seperti kita ketahui, sejak tahun 2014, Bandara Halim Perdanakusuma kembali melayani penerbangan komersial, untuk mengurangi kepadatan penerbangan di Bandara Soekarno-Hatta. 

Hanggar Skadron Udara 31
Di antara hanggar yang diserahkan oleh ML-KNIL kepada TNI-AU di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma pada tahun 1950, salah satunya adalah hanggar yang digunakan Skadron Udara 31. Hanggar ini merupakan hanggar beton buatan masa Hindia Belanda, dan masih berdiri dengan kokoh hingga hari ini. Skadron Udara 31 sendiri adalah Satuan Udara Angkut Berat, dan merupakan “rumah” bagi armada Lockheed Martin C-130 Hercules, pesawat angkut berat buatan Amerika Serikat. Sejak dibuat pertama kali tahun 1954, pesawat itu telah sukses menjalani berbagai misi militer dan sipil, dan telah berkembang dalam berbagai jenis varian. Hanggar Skadron Udara 31 memiliki Ruang Sejarah yang menyimpan kisah kedatangan Hercules di Indonesia untuk pertama kalinya dan berbagai peristiwa penting bagi Skadron Udara 31.

Keberadaan Hercules di Indonesia sendiri memiliki kisah yang menarik, karena Indonesia merupakan negara pertama di luar Amerika Serikat yang menggunakan Hercules. Generasi pertama Hercules di Indonesia merupakan “hadiah” dari pemerintah Amerika Serikat atas penukaran tawanan pilot CIA Allen Pope yang terlibat membantu pemberontakan Permesta di Sulawesi pada tahun 1958. Ketika Presiden AS JFK menawari hadiah, Soekarno meminta ditunjukkan pesawat Hercules yang saat itu masih baru. Indonesia kemudian menerima 10 pesawat Hercules (termasuk 2 varian tanker) yang menjadi embrio lahirnya Skadron Angkut Berat Jarak Jauh TNI AU.

Hanggar Skadron Udara 17
Dari Skadron Udara 31, kami berpindah ke Skadron Udara 17 yang merupakan Satuan Udara Angkut Khusus VIP/VVIP. Hanggar Skadron Udara 17 juga merupakan hanggar jadoel buatan masa Hindia Belanda. Skadron Udara 17 bertugas mengelola pesawat untuk VIP/VVIP, termasuk pesawat kepresidenan Indonesia. Pesawat pertama yang dikelola skadron ini adalah Ilyushin Il-18 pemberian pemerintah Uni Soviet yang diberi nama Dolok Martimbang. Saat ini pesawat yang digunakan cukup bervariasi, termasuk Boeing 737 seri 300 dan Hercules.

C130 Hercules
Di Skadron Udara 17 kami bisa melihat pesawat Hercules dari dekat, termasuk memasuki bagian dalam pesawat yang memiliki interior khusus untuk VIP. Ini bukan pertama kali saya melihat pesawat Hercules dari jarak dekat, tapi rupanya level “kebesaran” pesawatnya berbeda dengan ingatan dan bayangan saya. Semula saya membayangkan akan melihat pesawat yang sangat besar, setidaknya sebesar Airbus 330 di mana orang di dalamnya bisa bermain bola. Namun ternyata Hercules yang saya temui hari ini bahkan tidak sebesar pesawat Boeing 737 yang banyak digunakan untuk penerbangan komersil. Tetap saja saya harus angkat topi pada pesawat-pesawat Hercules yang ada di seluruh dunia, karena begitu banyak fungsi dan misi yang sudah mereka jalankan selama lebih dari ½ abad.

Museum Lanud Halim Perdanakusuma
Setelah melihat hanggar-hanggar buatan masa Hindia Belanda tersebut, kami rehat sejenak di Museum Lanud Halim Perdanakusuma yang terletak tak jauh dari rumah Komandan Lanud. Museum yang diprakarsai oleh Marsekal Pertama TNI A. Adang Supriyadi SE dan diresmikan oleh KSAU Marsekal Imam Sufaat, SIP pada 9 April 2012 ini menyimpan foto-foto peristiwa bersejarah dan memorabilia terkait Lanud Halim Perdanakusuma. Termasuk diantaranya adalah miniatur pesawat, panji-panji, serta foto-foto para perwira yang pernah menjadi Kepala Lanud Halim Perdanakusuma.

Foto Ereveld Tjililitan
Menurut Dr. dr. Rushdy Hoesein, narasumber kami pada hari ini, di dalam area Vliegveld Tjililitan pernah terdapat Ereveld Tjililitan, yang merupakan kompleks pemakaman militer. Beliau menyampaikan bahwa di masa Perang Dunia II sangat umum lapangan udara, khususnya lapangan udara militer, memiliki makam di dekatnya, untuk memakamkan korban perang, korban kecelakaan pesawat, atau tokoh Angkatan Udara yang wafat. Saat ini pemakaman tersebut sudah tidak ada karena pada tahun 1968 dipindahkan ke Ereveld Menteng Pulo, sesuai perjanjian sentralisasi makam Belanda.

Monumen Sapta Marga di Lanud Halim Perdanakusuma
Dari foto-foto tempo doeloe, terlihat bahwa Ereveld Tjililitan saat itu tertata dengan baik. Namun pak Rushdy juga bercerita ketika beliau menanyakan kepada penghuni Pangkalan Militer Halim Perdanakusuma mengenai pemakaman tersebut, hampir tidak ada yang tahu atau ingat bahwa di kompleks tersebut pernah ada pemakaman. Setelah menggali lebih lanjut, pak Rushdy memperkirakan lokasinya kurang lebih di sudut jalan dekat belokan ke bangunan bekas rumah sakit, di mana saat ini tempat tersebut penuh pepohonan seperti hutan kecil, dan di tengahnya berdiri Monumen Sapta Marga. Sebelum meninggalkan Lanud Halim Perdanakusuma, kami berhenti sejenak di tempat tersebut untuk mengenang mereka yang pernah dimakamkan di Ereveld Tjililitan, semoga mendapat tempat yang layak di sisi Tuhan YME.

Desa Adat Ende, Desa Perisai Suku Sasak

"Pletak! Plak! Plak plak plak!"

Bunyi tongkat rotan yang beradu dengan perisai kulit kerbau ini sungguh memekakkan telinga dan membuat hati terkejut-kejut. Terlihat 2 pemuda bertelanjang dada tengah bertarung satu sama lain. Para petarung ini disebut Pepadu, dan mereka diawasi seorang sesepuh yang berperan sebagai Pakembar atau wasit. Tapi tak perlu khawatir, ini bukan pertarungan sesungguhnya. Mereka adalah warga Desa Adat Ende yang tengah melakukan Tari Peresean, sebuah tarian Suku Sasak yang fungsinya melatih kejantanan. Ketika tarian selesai, MC mengatakan bahwa tarian tadi hanya untuk simulasi, dan sebentar lagi akan dimulai sesi pertarungan yang sesungguhnya. Saat MC memanggil para Pepadu untuk memulai pertarungan sesungguhnya, dari salah satu rumah keluarlah 2 orang Pepadu cilik dan 1 orang Pakembar cilik, siap melakukan pertarungan!

 

Tari Peresean

Desa Adat Ende adalah tempat tinggal Suku Sasak yang terletak di Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah. Amak Alfin, warga Desa Adat Ende yang mengantar kami berkeliling,menjelaskan mengenai asal usul nama Desa Ende. “Ende” dalam bahasa Sasak berarti perisai, seperti perisai yang digunakan para Pepadu saat melakukan Tari Peresean. Namun perisai juga dapat bermakna bahwa Desa Adat Ende bertugas sebagai “perisai” adat istiadat Suku Sasak. Desa Adat Ende dihuni oleh 30 kepala keluarga dengan jumlah warga 136 orang.

Desa Adat Ende
Bangunan di Desa Adat Ende terbuat dari bambu, dengan atap terbuat dari alang-alang kering. Atap alang-alang yang tahan antara 7-8 tahun ini bersifat menyejukkan bangunan saat cuaca terik, namun memberikan kehangatan di malam hari. Bangunan adat yang paling banyak terdapat di Desa Ende adalah Bale Tani, yang merupakan rumah tinggal. Bale Tani terdiri dari 2 bagian, bagian pertama adalah sesangkok terletak di sisi depan rumah dan berfungsi sebagai ruang tidur ayah dan anak lelaki. Sedangkan bagian kedua terletak di lantai atas yang disebut Dalem Bale, dan berfungsi sebagai ruang tidur ibu dan anak gadis, sekaligus sebagai dapur. Keunikan dari Bale Tani adalah cara perawatan lantainya yang digosok dengan kotoran kerbau. Penggosokkan dengan kotoran kerbau ini berfungsi untuk membersihkan lantai dari debu, memperkuat lantai, serta menghangatkan rumah di malam hari. Masyarakat Sasak juga percaya kotoran kerbau tersebut dapat mengusir serangga, sekaligus menangkal serangan magis yang ditujukan pada penghuni rumah.

Bale Tani
Jika kita ingat ikon khas bangunan adat Suku Sasak, bangunan yang memiliki bentuk seperti itu adalah Bale Lumbung yang biasanya diletakkan di depan Bale Tani. Bale Lumbung digunakan untuk menyimpan hasil panen warga untuk kebutuhan pangan selama setahun, dan masing-masing lumbung digunakan untuk menyimpan kebutuhan padi bagi 5 kepala keluarga. Menurut kepercayaan masyarakat Sasak, yang boleh mengambil padi di dalam Bale Lumbung adalah wanita yang telah berkeluarga. Dipercaya jika aturan ini dilanggar, maka wanita yang melanggar tidak akan mendapat keturunan.

Sambil menjelaskan mengenai fungsi bangunan-bangunan di Desa Adat Ende, Amak Alfin menyelipkan kisah tentang adat unik masyarakat Suku Sasak, yaitu “Kawin Lari”. Adat ini adalah ketika seorang jejaka berniat untuk menikah, ia harus “menculik” gadis yang menjadi calon istrinya. Walaupun tampaknya mudah untuk dilakukan, namun “Kawin Lari” ini memiliki banyak peraturan dan tata cara yang harus dipenuhi, di antaranya penculikan calon istrinya harus dilakukan tanpa diketahui orang tua sang gadis. Apabila proses penculikan terlihat, sang jejaka akan dikenakan denda. Setelah sang gadis berhasil diculik, pihak lelaki akan mengirimkan utusan adat untuk memberitahukan kepada pihak keluarga perempuan bahwa anak gadisnya sudah diculik dan akan dinikahkan. Menurut Amak Alfin, di era modern, biasanya antara sang jejaka dan sang gadis sudah sepakat mengenai waktu untuk melakukan “Kawin Lari”.

Gadis Sasak Menenun Selendang
Di akhir kunjungan, kami mengunjungi Bale Barugak atau gasebo panggung yang biasanya digunakan untuk balai pertemuan warga. Namun di Desa Adat Ende, Bale Barugak digunakan sebagai tempat peragaan ketrampilan menenun warga. Bagi masyarakat Suku Sasak, ketrampilan menenun merupakan bagian dari tradisi, di mana seorang perempuan Sasak tidak boleh menikah jika belum bisa menenun. ini bermanfaat untuk membantu perekonomian keluarga, khususnya jika hasil pertanian kurang baik. Para gadis Suku Sasak mulai belajar menenun pada usia 7 hingga 10 tahun, dan hari ini kami menemui 2 orang gadis cilik Suku Sasak yang memperagakan cara menenun dengan ATBM. Karena baru belajar menenun, para gadis cilik ini tidak menenun kain songket, tetapi selendang tenun. Gadis-gadis ini sangat berkonsentrasi pada pekerjaan menenun, sehingga ketika ditanya wisatawan mereka tidak menjawab. Yang menjawab adalah salah seorang ibu yang tengah memintal benang. Sayang jawaban beliau dalam bahasa Sasak, sehingga tak ada satu pun perkataan beliau yang kami mengerti!

Matur Tampiasih!
Untuk kenang-kenangan hasil karya adik-adik dari Desa Adat Ende, saya membeli sehelai selendang tenun di toko souvenir yang dikelola oleh koperasi warga desa. Tepat sebelum keluar dari Desa Adat, di bawah Bale Lumbung yang terletak dekat gerbang desa, adik-adik warga Desa Adat Ende berkumpul dan mengucapkan terima kasih atas kehadiran kami, sekaligus mengucapkan harapan semoga selamat dalam perjalanan. Spontan saya menjawab “Matur Tampiasih”, ucapan terima kasih dalam bahasa Sasak yang baru saja diajarkan penjaga toko souvenir kepada saya. Kompak adik-adik itu membalas ucapan terima kasih saya dengan “Pade-pade”. Ah, tak ingin kehangatan mereka cepat berlalu dari benak saya…