Monday, August 17, 2020

Jejak Sang Pangeran di Balai Kota Batavia

 “Aku melihatnya turun di Batavia dari kapal uap yang telah membawanya dari Semarang. Kereta gubernur dan para ajudan berada di dermaga untuk menyambutnya. Dengan kereta itulah ia diangkut ke penjara, tempat ia diasingkan, tak ada yang tahu letaknya di mana, dan sejak itu tak terdengar lagi kabar beritanya.”

George Frank Davidson menjadi saksi ketika Pangeran Diponegoro tiba di Pelabuhan Sunda Kelapa pada tanggal 8 April 1830 menggunakan kapal uap SS Van Der Capellen yang dinahkodai oleh kakak Davidson, pasca peristiwa penangkapan oleh Jendral Hendrik Merkus Baron De Kock pada tanggal 28 Maret 1830 di Magelang. Bertolak belakang dengan catatan Davidson yang menyatakan tak ada yang tahu di mana lokasi tempat Pangeran Diponegoro diasingkan, sejarah mencatat Pangeran Diponegoro diasingkan di Stadhuis Batavia (sekarang Museum Sejarah Jakarta), di sebuah kamar yang berada di atas penjara wanita. Tidak heran Davidson tidak mengetahui di mana lokasi pengasingan Pangeran Diponegoro di Batavia, karena peristiwa kedatangan Pangeran Diponegoro di Batavia tidak diberitakan sama sekali dalam Javasche Courant (Lembaran Negara) dan koran-koran lainnya.

Suasana di kamar yang digunakan Pangeran Diponegoro

Kamar yang digunakan oleh Pangeran Diponegoro sebenarnya merupakan kamar pribadi kepala penjara Batavia, yang difungsikan sebagai kamar sementara jika ada tahanan politik yang berstatus tinggi. Seperti kita ketahui, beberapa pahlawan nasional kita juga pernah mendekam di penjara Stadhuis Batavia,  seperti Untung Suropati, Kyai Maja, dan Tjoet Nyak Dien. Namun Pangeran Diponegoro merupakan tahanan politik berstatus tinggi yang disegani oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, sehingga beliau tidak menempati penjara bawah tanah Stadhuis Batavia.

Di kamar ini Pangeran Diponegoro tinggal bersama istrinya Raden Ayu Retnoningsih, adiknya Raden Ayu Dipowiyono, iparnya Raden Tumenggung Dipowiyono, serta 16 abdi yang terdiri dari punakawan, pelayan, dan koki. Mereka menghabiskan waktu 26 hari di kamar ini, sebelum pada 30 April 1830 Gubernur Jendral Johannes Graaf Van den Bosch mengeluarkan besluit (surat keputusan) mengenai pengasingan seumur hidup Diponegoro di Sulawesi Utara. Bagi Pangeran Diponegoro, perjalanan meninggalkan Tanah Jawa menuju tempat pengasingan di Sulawesi ini mengakhiri tiga “tsunami” besar dalam kehidupannya. Tsunami pertama adalah pada tahun 1793, ketika Diponegoro keluar dari Keraton Yogyakarta dan diasuh oleh nenek buyutnya. Tsunami kedua adalah pada 20 Juli 1825, ketika kediamannya di Tegalrejo diserbu tentara Hindia Belanda. Sedangkan tsunami ketiga adalah pada 28 Maret 1830 ketika Diponegoro dikhianati dan ditangkap di Magelang.

Lukisan Kuilkorvet Pollux

Tanggal 3 Mei 1830, Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya bertolak dengan Kuilkorvet Pollux menuju Manado. Setelah tiga tahun menjalani masa pengasingannya di Fort Nieuw Amsterdam, Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya dipindahkan ke Fort Rotterdam Makassar, hingga akhir hayatnya pada 8 Januari 1855. Pangeran Diponegoro dimakamkan di Kampung Melayu, Makassar, di dekat makam putra keduanya, Raden Mas Sarkumo.

Sejak tahun 2018, kamar tempat pengasingan Pangeran Diponegoro tersebut ditata dengan koleksi terkait peristiwa tersebut, dan mulai tanggal 1 April 2019 kamar tersebut dibuka untuk umum. Koleksi ruangan ini ditata dengan dibantu oleh Sejarawan Peter Carey sebagai kurator. Untuk berkunjung ke Ruang Diponegoro, pengunjung harus melepas alas kaki dan menggantinya dengan sandal yang sudah disiapkan, serta jumlahnya dibatasi maksimum 20 orang dalam satu waktu. Hal ini untuk menjaga agar lantai kayu ruangan tersebut lebih awet.


Lukisan Diponegoro 

Saat menaiki tangga menuju Ruang Diponegoro, koleksi pertama yang ditemui adalah foto lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh, yang dibuat pada tahun 1857. Lukisan yang asli merupakan koleksi Istana Kepresidenan RI. Raden Saleh membuat lukisan ini setelah mendapat inspirasi dari lukisan kejadian serupa karya Pieneman dengan judul “De onderwerping van Diepo Negoro aan Luitenant-Generaal De Kock, 28 Maart 1830” (penyerahan diri Dipo Negoro kepada Letnan Jendral De Kock, 28 Maret 1830). Lukisan Pieneman ini semula dimiliki ahli waris De Kock, yang kemudian diserahkan kepada Rijksmuseum di Amsterdam.

Replika lukisan "Penangkapan Pangeran Diponegoro"

Dalam lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro yang dibuat Raden Saleh, digambarkan ekspresi Pangeran Diponegoro yang sangat marah, dipertegas dengan tangan kiri yang mengepal. Di belakang Sang Pangeran, istri beliau Raden Retnaningsih terlihat menangis. Jika diperhatikan, sosok orang-orang Belanda yang ada di lukisan tersebut digambarkan memiliki kepala lebih besar dibandingkan badannya. Hal ini seolah menggambarkan mereka sebagai monster yang licik. Yang menarik, di dalam lukisannya Raden Saleh selalu menyelipkan sosok dirinya. Jika ingin tahu seperti apa wajah Raden Saleh, cari saja tiga orang anggota pasukan Belanda yang berblangkon dengan wajah yang sama, itulah wajah Raden Saleh.

Lukisan Pangeran Diponegoro di Fort Rotterdam

Selain lukisan karya Raden Saleh yang terkenal, di ruangan ini juga terpasang foto lukisan khayali berwarna yang menggambarkan Pangeran Diponegoro di Fort Rotterdam sedang membaca teks tentang ilmu mistik Islam (tasawuf) didampingi istri beliau Raden Ayu Retnoningsih, putri bupati Keniten (Madiun) dan seorang putra – disebut Pangeran “Ali Basah” – yang sedang melihat bayangan mahluk halus atau sedang ditegur punakawan Diponegoro, Banteng Wareng, seorang bertubuh pendek, yang bertindak sebagai tutor untuk anak Diponegoro yang lahir si Sulawesi. Lukisan ini merupakan koleksi Snouck Hurgronje, dan foto yang dipamerkan di ruangan ini berasal dari Leiden Codex Orientalis 7398 atas ijin Universitetsbibliotheek Leiden.


Aktivitas Pangeran Diponegoro di Batavia

Kamar yang digunakan Pangeran Diponegoro tidak memiliki banyak jendela, dan jendela yang ada hanya mengarah ke stadhuisplein. Dapat dibayangkan saat itu Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya hanya bisa melihat aktivitas yang terjadi di halaman depan balai kota Batavia. Konon selama di Batavia, Pangeran Diponegoro beraktivitas sambil mengunyah sirih dan minum jamu (temu lawak dan beras kencur), untuk mengatasi penyakit malaria yang dideritanya. 

Satu-satunya jendela di kamar dengan pemandangan ke stadhuisplein

Kamar ini dilengkapi dengan dipan kayu berhias kelambu, 1 set meja kerja, dan beberapa pusaka yang pernah dibawa Sang Pangeran. Benda-benda ini bukan merupakan perabot asli, hanya merupakan replika untuk menggambarkan situasi pada saat Pangeran Diponegoro mendiami kamar ini. Dapat dibayangkan ketika Pangeran Diponegoro duduk di meja kerja di ruangan ini, untuk menulis surat kepada keluarga dekatnya. Surat pertama ditujukan kepada ibunda beliau, Raden Ayu Mangkorowati, yang meminta agar ibunda beliau tidak khawatir kepada nasibnya. Sedangkan surat kedua ditujukan kepada putra sulung beliau, Pangeran Diponegoro Muda, yang berisi pesan untuk menjaga adik-adiknya.

Kehadiran Pangeran Diponegoro di Batavia diabadikan dalam sketsa pensil oleh Hakim Batavia Adrianus Johannes Bik, yang bertugas mengawasi Pangeran Diponegoro selama berada di Batavia. Bik minta ijin untuk melukis Diponegoro di sela-sela masa penahanan beliau, tak lama sebelum Diponegoro berangkat menuju Sulawesi. Bik sendiri memiliki keahlian sebagai pelukis piring porselen di Belanda, sebelum merantau ke Hindia Belanda pada tahun 1821.

Atas: foto Adrianus Johannes Bik
Bawah: lukisan Diponegoro karya Bik

Bik mencitrakan Diponegoro sebagai ulama sekaligus panglima perang. Diponegoro digambarkan mengenakan pakaian ulama selama Perang Jawa, yaitu sorban, baju koko tanpa kerah, dan jubah. Di bahu kanannya tersampir selempang, serta terselip keris pusaka Kanjeng Kiai Ageng Bondoyudo Sripaduka Petarung Tanpa Senjata pada ikat punggang yang terbuat dari bahan sutra. Diponegoro sendiri digambarkan memiliki pipi cekung akibat serangan malaria yang diperoleh saat bergerilya di daerah Bagelen dan Banyuurip pada akhir masa Perang Jawa. Lukisan ini sangat hidup sekali. Setelah Bik wafat di Amsterdam pada tahun 1872, lukisan ini dihibahkan keponakannya ke Rijkmuseum.