Sunday, October 21, 2018

Meet Me Under The Pring

Jam 05.30, telepon kamar berdering, rupanya kami sudah ditunggu di lobi untuk ke Pasar Papringan! Bu Indah, kepala rombongan kami, mengatakan agar kami segera berangkat, takut terjebak kemacetan. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 menit, waktu menunjukkan pukul 06.30 saat kami masuk ke Desa Ngadiprono. Dari tempat parkir, kami masih harus berjalan sekitar 500 meter sebelum menemukan titik nol Pasar Papringan. Inilah pasar unik yang sedang hype di dunia Instagram.

Find Me Under the Pring!
Pasar Papringan digagas oleh Singgih Susilo Kartono, putra asli Desa Kandangan, Temanggung. Melalui Lembaga Swadaya Masyarakat Spedagi, Singgih dan tim mengubah kebun bambu menjadi sebuah destinasi wisata pasar tradisional. Singgih sendiri dikenal terlebih dahulu sebagai pembuat radio kayu Magno, dan sepeda bambu Spedagi yang telah diekspor ke luar negeri. Sejak didirikan pada tahun 2015, pasar ini hanya buka pada Minggu Wage dan Minggu Pon, dari pukul 6 pagi hingga 12 siang. Pada awalnya pasar ini berlokasi di Kandangan, namun sejak tahun 2017 berpindah lokasi ke Ngadiprono.

Titik Nol Km Pasar Papringan
Sebelum berbelanja, kami harus menukar uang dengan mata uang Pasar Papringan: Pring (dalam bahasa Jawa, Pring berarti bambu). Keping pring terbuat dari bambu dengan setiap pring memiliki "kurs" 2000 rupiah. Rata-rata makanan ringan seharga 1-3 pring, makanan berat seharga 3-6 pring, minuman seharga 1-2 pring, hasil tani 1-15 pring, serta kerajinan tangan 1-5 pring. Keping pring tidak bisa ditukarkan kembali dengan uang, namun dapat digunakan kembali pada gelaran Pasar Papringan berikutnya, atau dijadikan suvenir. Saya sendiri menukarkan 20 pring (senilai Rp 40.000), dengan perhitungan saya hanya akan melakukan wisata kuliner atau membeli kerajinan tangan berukuran kecil.

Pring, Mata Uang Pasar Papringan
Para pedagang di Pasar Papringan merupakan masyarakat lokal Desa Ngadiprono, yang khusus dilatih untuk terlibat dalam Pasar Papringan. Menurut mas Yudi, kurator sekaligus pembina kuliner Pasar Papringan, butuh waktu untuk melatih penduduk Ngadiprono, karena pada dasarnya pekerjaan mereka sehari-hari bukanlah pedagang atau penjual makanan. Komoditas favorit di Pasar Papringan adalah kuliner tempo doeloe. Sesuai kebijakan untuk menggunakan bahan-bahan alami, kuliner yang tersedia di sana tidak menggunakan gula buatan, MSG, dan pewarna buatan. Ketika dicoba, memang rasanya beda ya... (agak sulit diungkapkan dengan kata-kata, karena hanya ada “enak” dan “uenak”).

Salah Satu Jajanan di Pasar Papringan
Kami beruntung datang cukup pagi, sehingga masih bisa mencicipi hampir seluruh makanan yang dijual di sana. Saya hanya "sempat" mencicipi dawet ireng, wedhang ronde, dan beberapa jenis jajan pasar, karena hampir semua counter penuh sesak oleh pengunjung. Rondenya unik, karena diberi emping. Saya sudah "berburuk sangka" rasa emping yang umumnya getir akan merusak rasa wedhangnya. Ternyata tidak sama sekali!

Kerajinan Tangan dari Bambu
Selain kuliner khas Jawa Tengah, di Pasar Papringan juga tersedia produk hasil tani masyarakat lokal dan kerajinan tangan dari bambu dan batok kelapa. Di antara kerajinan tangan yang dijual, terdapat sendok batok, gelas bambu, mainan anak-anak dari bambu. Barang-barang kerajinan seperti sendok batok dan gelas batok serupa dengan yang digunakan untuk berjualan makanan, bahkan bisa dikatakan semua “peralatan” yang digunakan di pasar ini terbuat dari bambu atau bahan organik lainnya, termasuk keranjang sampah dan dinding pembatas antara area berjualan dengan area cuci piring. Untuk berbelanja, pengunjung bisa membeli keranjang bambu seharga 2 pring.

Pedagang Hasil Tani di Pasar Papringan
Ketika kami berjalan kembali ke tempat parkir, alamak, ternyata antrian "money changer" sudah mengular. Dari arah pintu masuk, semakin banyak orang yang berjalan masuk ke pasar. Kami mempercepat langkah kaki menuju tempat parkir, daripada terjebak dalam lautan manusia di Pasar Papringan... Pembludakan pengunjung ini di luar prediksi pengelola, terutama setelah video tentang pasar papringan Ngadiprono beredar di dunia maya. Dan ketika saya membuka akun IG Pasar Papringan, mereka mengumumkan bahwa hari ini terpaksa menutup tempat parkir lebih awal pada pukul 8 pagi. Untung tadi kami datang pagi-pagi!

Sunday, October 14, 2018

Posong Yang Tidak Kosong

Waktu masih menunjukkan pukul 4.30 dinihari ketika bu Indah dan Anis mengordinir sekumpulan tukang ojek untuk mengantar kami dari jalan raya Temanggung-Wonosobo, tak jauh dari jembatan Kledung, menuju sunrise spot Posong. Di tengah kegelapan malam, motor yang kami kendarai beriring-iringan melewati jalanan yang bergerenjul menembus hutan. Terlihat siluet batang-batang pohon menjulang di kiri kanan jalan, ah, tampaknya kami tengah melewati hutan pinus.

Wisata Alam Posong merupakan obyek wisata yang “relatif baru” di Kabupaten Temanggung. Nama “Posong” konon diambil dari kata “kosong”. Nama ini berasal dari masa Perang Diponegoro, di mana di tempat pasukan Pangeran Diponegoro mendirikan pos kosong untuk mengelabui tentara kolonial Belanda. Posong sendiri berlokasi di lembah Gunung Sindoro, dan jika cuaca cerah, dari tempat ini dapat terlihat 7 puncak gunung, termasuk Sindoro-Sumbing, Merapi-Merbabu, puncak Telomoyo, bukit Ungaran, dan gunung Muria.

Fajar Merekah di Balik Gunung Sumbing
Setelah berkendara sejauh 3,5 km, tibalah kami di sunrise spot. Bunyi adzan mengingatkan kami pada waktu shalat Subuh, spontan kami melihat jam tangan, waktu masih menunjukkan pukul 04.30 WIB. Masih cukup waktu untuk shalat, sambil menunggu matahari terbit di ufuk. Pukul 05.00, fajar berwarna merah mulai merekah sedikit demi sedikit. Terlihat siluet gunung Sumbing di sisi timur cakrawala. Harap-harap cemas, akankah kami menikmati golden sunrise yang sempurna, dengan banyaknya lembayung yang menggantung di ufuk timur?

Edelwiess dan Bunga Tembakau
Ketika langit semakin terang, tampaknya harapan untuk melihat sunrise semakin menipis. Namun petualangan belum berakhir. Bu Indah mengajak kami untuk melihat bunga Edelweiss di sisi atas sunrise spot. Ternyata rumpun bunga Edelweiss tersebut berada di tepi kebun tembakau yang baru saja dipanen daunnya, menyisakan batang-batang pohon tembakau dengan bunga-bunga mungil di atasnya. Bunga-bunga Edelweiss tersebut sangat menggoda untuk dipetik. Tapi please, jangan sekali-kali memetik bunga tersebut, biarkan mereka hidup di habitatnya.

Ray of Light
Ketika kami sedang menikmati foto-foto di atas, barulah sang mentari menampakkan diri di antara lembayung fajar, memperlihatkan siluet gunung-gunung lainnya. Dari kejauhan, terlihat puncak gunung Ungaran yang menjulang di antara lautan awan. Rasanya makjleb melihat ray of light yang menembus di antara lautan awan, menyinari gunung yang berdiri dengan gagah. Sungguh merupakan momen yang tepat untuk mensyukuri alam indah karunia Tuhan.

Lautan Awan
Dalam perjalanan kembali ke jalan raya Temanggung-Wonosobo, baru kami melihat bahwa yang semula kami pikir merupakan hutan pinus, ternyata merupakan perkebunan tembakau. Sesuai keterangan mamang ojek, baru kami tahu bahwa karena kami datang bertepatan dengan musim panen tembakau, mobil tidak boleh naik sampai ke sunset spot, sehingga perjalanan dari jalan raya Temanggung-Wonosobo harus kami tempuh dengan ojek.

Tempat Menjemur Tembakau
Di dekat jalan raya, Bu Indah mengajak kami mampir ke rumah penduduk yang memproses tembakau hasil panen. Rupanya tembakau yang sudah dipanen kemudian ditentukan grade-nya, kemudian diperam (diimbon) di dalam ruangan yang tidak boleh kena angin atau panas, agar daun terfermentasi dan tumbuh jamur. Setelah terfermentasi dan warnanya kehitaman, daun dirajang halus, dicampur gula pasir, kemudian ditata pada irig untuk dijemur. Rajangan tembakau yang sudah kering kemudian dimasukkan ke dalam keranjang berkapasitas 40-50 kg, untuk kemudian diserahkan kepada pabrik rokok. Harga keranjangnya sendiri kurang lebih Rp 200.000 per keranjang, sedangkan harga tembakau rata-rata antara Rp 50.000-90.000 per kg, sehingga 1 keranjang penuh tembakau dapat mencapai harga Rp 4.500.000,-

Mbak Penjual Nasi Jagung di Pasar Entho
Perjalanan mengejar sunset pagi ini “berakhir” di Pasar Entho, yang dikenal sebagai pusat jajanan tradisional di Kecamatan Parakan. Untuk sarapan pagi, bu Indah menyarankan kami mencoba nasi jagung. Bayangan saya, yang namanya nasi jagung itu bertekstur kasar dengan ada bulir-bulir jagung diantaranya. Ternyata salah besar! Nasi jagung yang kami santap justru bertekstur sangat halus, lebih halus daripada ampas kelapa. Belum lagi jajanan pasar lainnya, rasanya tidak kepengen pergi sebelum memborong semua jajan pasar di pasar tersebut.