Sunday, October 14, 2018

Posong Yang Tidak Kosong

Waktu masih menunjukkan pukul 4.30 dinihari ketika bu Indah dan Anis mengordinir sekumpulan tukang ojek untuk mengantar kami dari jalan raya Temanggung-Wonosobo, tak jauh dari jembatan Kledung, menuju sunrise spot Posong. Di tengah kegelapan malam, motor yang kami kendarai beriring-iringan melewati jalanan yang bergerenjul menembus hutan. Terlihat siluet batang-batang pohon menjulang di kiri kanan jalan, ah, tampaknya kami tengah melewati hutan pinus.

Wisata Alam Posong merupakan obyek wisata yang “relatif baru” di Kabupaten Temanggung. Nama “Posong” konon diambil dari kata “kosong”. Nama ini berasal dari masa Perang Diponegoro, di mana di tempat pasukan Pangeran Diponegoro mendirikan pos kosong untuk mengelabui tentara kolonial Belanda. Posong sendiri berlokasi di lembah Gunung Sindoro, dan jika cuaca cerah, dari tempat ini dapat terlihat 7 puncak gunung, termasuk Sindoro-Sumbing, Merapi-Merbabu, puncak Telomoyo, bukit Ungaran, dan gunung Muria.

Fajar Merekah di Balik Gunung Sumbing
Setelah berkendara sejauh 3,5 km, tibalah kami di sunrise spot. Bunyi adzan mengingatkan kami pada waktu shalat Subuh, spontan kami melihat jam tangan, waktu masih menunjukkan pukul 04.30 WIB. Masih cukup waktu untuk shalat, sambil menunggu matahari terbit di ufuk. Pukul 05.00, fajar berwarna merah mulai merekah sedikit demi sedikit. Terlihat siluet gunung Sumbing di sisi timur cakrawala. Harap-harap cemas, akankah kami menikmati golden sunrise yang sempurna, dengan banyaknya lembayung yang menggantung di ufuk timur?

Edelwiess dan Bunga Tembakau
Ketika langit semakin terang, tampaknya harapan untuk melihat sunrise semakin menipis. Namun petualangan belum berakhir. Bu Indah mengajak kami untuk melihat bunga Edelweiss di sisi atas sunrise spot. Ternyata rumpun bunga Edelweiss tersebut berada di tepi kebun tembakau yang baru saja dipanen daunnya, menyisakan batang-batang pohon tembakau dengan bunga-bunga mungil di atasnya. Bunga-bunga Edelweiss tersebut sangat menggoda untuk dipetik. Tapi please, jangan sekali-kali memetik bunga tersebut, biarkan mereka hidup di habitatnya.

Ray of Light
Ketika kami sedang menikmati foto-foto di atas, barulah sang mentari menampakkan diri di antara lembayung fajar, memperlihatkan siluet gunung-gunung lainnya. Dari kejauhan, terlihat puncak gunung Ungaran yang menjulang di antara lautan awan. Rasanya makjleb melihat ray of light yang menembus di antara lautan awan, menyinari gunung yang berdiri dengan gagah. Sungguh merupakan momen yang tepat untuk mensyukuri alam indah karunia Tuhan.

Lautan Awan
Dalam perjalanan kembali ke jalan raya Temanggung-Wonosobo, baru kami melihat bahwa yang semula kami pikir merupakan hutan pinus, ternyata merupakan perkebunan tembakau. Sesuai keterangan mamang ojek, baru kami tahu bahwa karena kami datang bertepatan dengan musim panen tembakau, mobil tidak boleh naik sampai ke sunset spot, sehingga perjalanan dari jalan raya Temanggung-Wonosobo harus kami tempuh dengan ojek.

Tempat Menjemur Tembakau
Di dekat jalan raya, Bu Indah mengajak kami mampir ke rumah penduduk yang memproses tembakau hasil panen. Rupanya tembakau yang sudah dipanen kemudian ditentukan grade-nya, kemudian diperam (diimbon) di dalam ruangan yang tidak boleh kena angin atau panas, agar daun terfermentasi dan tumbuh jamur. Setelah terfermentasi dan warnanya kehitaman, daun dirajang halus, dicampur gula pasir, kemudian ditata pada irig untuk dijemur. Rajangan tembakau yang sudah kering kemudian dimasukkan ke dalam keranjang berkapasitas 40-50 kg, untuk kemudian diserahkan kepada pabrik rokok. Harga keranjangnya sendiri kurang lebih Rp 200.000 per keranjang, sedangkan harga tembakau rata-rata antara Rp 50.000-90.000 per kg, sehingga 1 keranjang penuh tembakau dapat mencapai harga Rp 4.500.000,-

Mbak Penjual Nasi Jagung di Pasar Entho
Perjalanan mengejar sunset pagi ini “berakhir” di Pasar Entho, yang dikenal sebagai pusat jajanan tradisional di Kecamatan Parakan. Untuk sarapan pagi, bu Indah menyarankan kami mencoba nasi jagung. Bayangan saya, yang namanya nasi jagung itu bertekstur kasar dengan ada bulir-bulir jagung diantaranya. Ternyata salah besar! Nasi jagung yang kami santap justru bertekstur sangat halus, lebih halus daripada ampas kelapa. Belum lagi jajanan pasar lainnya, rasanya tidak kepengen pergi sebelum memborong semua jajan pasar di pasar tersebut.

No comments: