Saturday, December 8, 2018

Wisata Pemakaman PD II (2): Ereveld Menteng Pulo dan Jakarta War Cemetery

Dari Ereveld Ancol, kami berpindah ke Ereveld Menteng Pulo. Dalam perjalanan dari Ancol ke kawasan Casablanca, di bis Bang Adep memutarkan film Tuan Papa, kisah dokumenter anak-anak indo hasil perkawinan antara tentara Belanda dan orang Indonesia di masa Perang Kemerdekaan. Sebagian besar dari anak-anak indo tersebut menghabiskan masa kecilnya tanpa pernah bertemu ayah kandungnya, dan baru setelah beberapa puluh tahun kemudian sebagian dari mereka dapat bertemu dengan ayah kandungnya. Melihat film tersebut, hati ini merinding, perang ternyata tidak hanya menimbulkan kepiluan akibat kematian. Banyak drama kehidupan lain sebagai dampak dari peperangan, dan walaupun beberapa drama tersebut berakhir dengan happy ending, tapi sebagian masih menyisakan kepedihan.

Ms. Eveline dan Ibu Wulan
Tiba di Menteng Pulo, Eveline sudah menyambut kami bersama Ibu Wulan, “kuncen” dari Ereveld Menteng Pulo, dan mengawali kunjungan kami dengan kisah berdirinya Ereveld Menteng Pulo. Eereveld ini bukan yang terbesar di Indonesia, tetapi merupakan ereveld yang paling dikenal. Diresmikan pada tanggal 8 Desember 1947 oleh Jendral Spoor, sebelumnya tempat ini sudah digunakan sebagai area pemakaman. Desain pemakaman dirancang oleh Letkol Hugo Anthonius van Oerle, seorang arsitek dari sekaligus pimpinan batalion zeni Divisi 7 Desember Koninklijke Landmacht  (Angkatan Darat) Kerajaan Belanda.

Ereveld Menteng Poelo
Dikepung oleh gedung-gedung tinggi di seputaran kawasan Casablanca, Ereveld Menteng Pulo merupakan tempat peristirahatan terakhir bagi 4300 orang, baik dari kalangan militer maupun sipil, termasuk wanita dan anak-anak yang merupakan korban perang dunia kedua di Indonesia. Sebagian besar yang dimakamkan di sini adalah orang-orang Belanda, serta orang-orang Indo Belanda atau orang Indonesia yang menjadi prajurit KNIL. Ereveld Menteng Pulo juga menerima pindahan dari ereveld lain, seperti dari Banjarmasin, Tarakan, Menado, Palembang, Balikpapan, Makassar, dan Cililitan, sesuai perjanjian sentralisasi makam Belanda.

Blok Muslim
Blok paling dekat pintu masuk adalah pemakaman untuk Muslim, yang sebagian besar merupakan orang Indonesia yang menjadi prajurit KNIL. Makam di blok ini menghadap ke arah yang berbeda dengan makam-makam lain, karena diatur agar menghadap ke kiblat. Di belakangnya terdapat Blok Tjililitan, yang merupakan pindahan dari Ereveld Tjililitan (yang semula terletak di kawasan Pangkalan Udara Militer Halim Perdanakusuma) pada tahun 1968. Blok ini ditandai dengan tugu yang dihiasi baling-baling pesawat dan prasasti bertuliskan “ter nagedachtenis aan onze gevallen kameraden” yang bermakna “Untuk rekan-rekan kami yang telah jatuh”.

Tugu Baling-Baling Patah
Di sisi kanan dekat pintu masuk merupakan makam prajurit Belanda dari KNIL maupun Koninklijke Landmacht (KL – Angkatan Darat). Pada umumnya mereka beragama Kristen, namun terdapat pula mereka yang beragama Yahudi dan Buddha yang dimakamkan di tempat ini. Di blok ini terdapat makam Jendral Spoor, panglima tertinggi Tentara Belanda di Indonesia antara 1946-1949. Beliau adalah orang dengan pangkat tertinggi yang dimakamkan di Menteng Pulo. Tidak ada perbedaan antara makam Spoor dengan makam para prajurit lainnya. Seperti mengutip kata-kata Spoor sendiri, “mereka berada di sini tanpa [peduli] ras, agama, etnis, pangkat, atau jabatan”.

Makam Jendral Spoor
Di sisi kanan jauh terdapat Blok Divisi 7 Desember yang merupakan tempat peristirahatan terakhir anggota Pasukan Belanda dari Divisi Pertama 7 Desember yang dikirim pada tahun 1946 ke Indonesia untuk misi pemulihan setelah kekalahan Jepang. Blok ini ditandai dengan kode 7DD, dan terdapat sebuah tugu dengan kalimat di latar belakangnya “Onze eenheid is bevestigd door ons gezamenlijk lijden”, atau “Kesatuan kami diteguhkan dalam penderitaan bersama.”. Sedangkan di bagian belakang kompleks terdapat makam wanita dan anak-anak yang merupakan warga sipil. Mereka umumnya merupakan korban eksekusi yang dilakukan di kamp tawanan perang di Indonesia.

Simultaankerk

Eveline mengajak kami masuk ke Gereja Simultan (Simultaankerk).Walaupun disebut gereja, tempat ini berfungsi sebagai tempat upacara sebelum jenazah dimakamkan, dan saat ini bangunan tersebut digunakan sebagai tempat peringatan. Setidaknya setiap tahunnya Ereveld Menteng Pulo menyelenggarakan dua kali peringatan, yaitu pada tanggal 14 Mei untuk memperingati berakhirnya perang dunia II di Eropa, serta pada tanggal 15 Agustus sebagai peringatan berakhirnya perang dunia II di Asia Tenggara.Di dekat altar Gereja Simultan terdapat salib kayu besar. Salib ini terbuat dari bantalan rel kereta api, sebagai peringatan korban perang yang dipaksa militer Jepang untuk membangun jalur kereta api antara Siam dan Burma. Para korban berasal dari beberapa negara, yaitu Australia, Belanda, Inggris, dan Amerika.

Salib Dari Kayu Rel Kereta Api
Di sisi kanan Gereja Simultan terdapat Columbarium (rumah abu), yang dibangun pada tahun 1950. Bangunan ini ditopang deretan pilar berwarna putih dengan sebuah kubah berwarna tosca di atasnya. Columbarium menyimpan 754 guci logam berisi abu jenazah para prajurit Belanda yang menjadi tawanan perang Jepang terutama mereka yang menjadi korban dalam pembangunan jalur rel Siam-Birma. Ketika mereka meninggal pihak militer Jepang melakukan kremasi pada jenazahnya. Pada setiap guci tertulis nama, pangkat, tanggal lahir, dan tanggal wafat.

Deretan Guci Abu di Columbarium
Baik Gereja Simultan maupun Columbarium dihiasi dengan kaca patri berwarna-warni. Tepat di bawah kubah berwarna tosca, terdapat meja yang di atasnya terdapat satu buah guci abu, serta relief wanita yang di atas kepalanya tertulis “De geest heeft overwonnen”, yang berarti “roh telah menang”. Kalimat ini merupakan semboyan dari Seksi Pemakaman Angkatan Darat Belanda. Meja dan relief ini merupakan tanda peringatan bagi mereka yang wafat dan tidak dikenal.

Peringatan Bagi Mereka Yang Tak Dikenal
Dari Ereveld Menteng Pulo, kami masuk melalui sebuah pintu kecil menuju Jakarta War Cemetery (JWC) yang bersebelahan pagar dengan Ereveld Menteng Pulo. Pemakaman ini merupakan tempat peristirahan terakhir korban perang dari tentara Sekutu yang berasal dari negara-negara Persemakmuran Inggris. Tempat ini dikelola oleh Commonwealth War Graves Cemetery (CWGC), yang merupakan mitra dari OGS dalam mengelola makam orang-orang Belanda yang dimakamkan di pemakaman korban perang dari Inggris.

Jakarta War Cemetery
Berbeda dengan Ereveld Menteng Pulo yang juga digunakan sebagai makam korban perang sipil, Jakarta War Cemetary yang didesain oleh Ralph Hobday O.B.E., arsitek senior dari CWGC, hanya diperuntukkan bagi personil militer anggota tentara Persemakmuran yang berasal dari Inggris, India, Australia, Kanada, Selandia Baru, dan Afrika Selatan, yang gugur pada pertempuran antara tahun 1942-1949. Di awal berdirinya, tempat ini memiliki 474 makam. Pada tahun 1961, atas permintaan pemerintah Republik Indonesia, makam para prajurit Persemakmuran yang berada di Ereveld Kembang Kuning, Palembang, Medan, dan Muntok dipindahkan ke JWC, sehingga total makam yang ada sekarang berjumlah 1181 makam.

Jakarta War Cemetery
Berbeda dengan ereveld yang menggunakan nisan berbentuk patok, nisan di JWC menggunakan marmer prasasti dengan posisi horizontal. Di masing-masing nisan tertulis nama, pangkat, lambang kesatuan, agama (dilambangkan dengan huruf Arab, tanda salib,bintang Daud, atau aksara Hindi), dan tanggal kematiannya. Di setiap nisan juga ditulis kata-kata mutiara dari keluarga. Yang khas dari pemakaman ini adalah adanya taman kecil di sisi kiri-kanan dari setiap nisan.

Kelompok Makam Prajurit Persemakmuran dari India dan Pakistan
Seperti halnya Ereveld Menteng Pulo, para prajurit yang dimakamkan di tempat ini memiliki pangkat yang beragam, dari mulai prajurit rendah hingga perwira tinggi. Terdapat kelompok makam yang khusus bagi para prajurit yang direkrut Inggris dari India atau Pakistan, di mana nisan mereka ditandai dengan tulisan Arab atau tulisan Hindi. Pasukan India ini bukanlah pasukan Gurkha, dan berasal dari beberapa suku di India.

Makam Brigadir Mallaby
Salah satu perwira tinggi yang dimakamkan di tempat ini adalah Brigadier A.W.S. Mallaby. Nama ini tidak asing bagi penggemar sejarah revolusi Indonesia, karena merupakan Mallaby yang gugur di Surabaya pada tanggal 30 Oktober 1945, dan kematiannya memicu “Pertempuran Surabaya 10 November 1945”. Makam Brigadir Mallaby juga tidak berbeda dengan para prajurit yang lain. Semula makam Mallaby terletak di Surabaya, dan baru pada tahun 1947 dipindah ke Jakarta.

No comments: