Sunday, May 14, 2023

Amazing Race Oude Paris Van Java

Program TV Amazing Race mungkin sudah tidak asing bagi kita. Siapa yang tercepat mencapai satu titik, siapa yang tercepat menyelesaikan tantangan di masing-masing pos, dan siapa yang tercepat menyelesaikan seluruh rangkaian tantangan, untuk memperebutkan hadiah sejumlah uang. Saat ini konsep Amazing Race sudah ditiru oleh banyak acara outing – terutama outing Korporat – walaupun versinya lebih sederhana dibandingkan yang dimainkan dalam Program TV.

Seperti pada acara raker Korporat kami menjelang liburan Natal tahun 2022, program berkonsep serupa Amazing Race ini menjadi acara outing yang dilakukan di hari terakhir. Ya, hitung-hitung sekalian refreshing, karena Amazing Race-nya dilakukan dengan berkeliling Kota Bandung. Titik-titik yang dijadikan tempat persinggahan dan menyelesaikan tantangan merupakan landmark terkenal di Kota Bandung. Program kami hari ini rencananya harus mengunjungi 5 titik persinggahan. Eit, tapi di mana titik persinggahannya, sebelumnya kami harus memecahkan clue yang diberikan panitia. Clue-nya gampang-gampang susah, tapi bagi pecinta Kota Bandung, pasti bisa memecahkannya.

Kelompok "Geulis"

Kelompok kami yang terdiri dari 7 orang – kebetulan perempuan semua – kebetulan mendapat titik persinggahan pertama di Titik Nol Bandung. Clue-nya susah-susah gampang, karena harus mencari tempat di mana Gubernur Jendral Daendels konon pernah menancapkan tongkat dan berkata, “usahakan bila aku datang kembali, di tempat ini telah dibangun sebuah kota”. Padahal, titik ini termasuk titik yang ramai dilewati orang.. Daendels memang tak pernah kembali, tapi nyatanya tempat ini telah menjadi kota yang sangat popular.

Titik Nol Bandung, Jl. Asia-Afrika

Setelah berhasil memecahkan tantangan di Titik Nol Bandung, titik persinggahan berikutnya adalah Cikapundung Riverspot. Wah, mana pula itu? Jaman saya kuliah di Bandung belum ada! Ternyata, Plaza Cikapundung Riverspot adalah semacam open public space di tepi Cikapundung, tak jauh dari Titik Nol. Di sana tantangannya lompat tali pakai karet. Hadeuh... udah berapa puluh tahun ga pernah main beginian! Akhirnya setelah mencoba beberapa kali, berhasil, berhasil!

Cikapundung Riverspot

Main tali karet selesai, kami berpindah di titik persinggahan berikutnya di Monumen Bandung Lautan Api. Masuk dari pintu di Jl. Otto Iskandar Dinata (yang ditandai dengan clue “Si Jalak Harupat”), kami harus melintas Lapangan Tegallega untuk sampai ke tempat tantangan berikutnya. Ternyata… kami harus mencoba memanah dengan Panah Sumedang! Hadeuh… mana busurnya berat, dan membutuhkan tenaga serta strategi yang tepat agar panahnya bisa menancap di sasaran! Tapi seru juga… jadi kepikir abis ini mau nyoba olahraga panahan, hihihi.

Monumen Bandung Lautan Api

Tantangan panah selesai, kami berpindah ke persinggahan berikutnya di Padepokan Jugala Gugum Gumbira. Ketika tiba di tempatnya yang terletak di Jl. Kopo 15-17, tidak terlihat ada tanda-tanda yang jelas. Sempat bingung, namun setelah kami menjawab tantangan harus ngibing sambil nyanyi lagu Peuyeum Bandung, akhirnya kami diijinkan masuk ke padepokan melalui gank di antara bangunan.

Foto Abah Gugum di Padepokan Jugala

Rupanya Padepokan Jugala letaknya tersembunyi di dalam gank. Di dalam terdapat pendopo kecil, serta halaman kecil yang bisa digunakan untuk menari. Kami menyaksikan kelompok teman-teman kami yang tiba terlebih dahulu sudah melakukan latihan tari Jaipongan. Ha, seru! Tapi kami harus bersabar menunggu giliran kami.

Setelah tiba giliran kami latihan tari Jaipongan, sebelum mulai, ada Kang Aji yang menjelaskan tentang Padepokan Jugala yang didirikan almarhum Gugum Gumbira Tirasonjaya. Abah Gugum adalah pencipta tari Jaipongan, yang merupakan pengembangan dari tarian ketuk tilu, dikombinasikan dengan seni bela diri pencak silat, tari topeng banjet, dan teater Wayang Golek. Jaipongan memulai debutnya pada tahun 1974, ketika Abah Gugum beserta penari dan para pemain gamelan tampil di depan umum. Nama “Jaipongan” digunakan Abah Gugum untuk membedakan tari Jaipongan dari tari Ketuk Tilu. Nama “Jaipongan” berasal dari kata “Jaipong”, yang sebelumnya tidak ada maknanya. 

Foto Ibu Euis di Padepokan Jugala

Abah Gugum memiliki istri Euis Komariah, yang juga seniman di bidang tarik suara tradisional Sunda. Ibu Euis juga merupakan penyanyi dari Orkestra Jugala. Mereka memiliki 4 orang putri, dan hari ini kami dipimpin oleh Ibu Mira Tejaningrum, putri sulung Abah Gugum dan Ibu Euis, untuk mencoba menari Jaipongan.

Ternyata, tidak gampang sodara-sodara! Antara tangan dan kaki harus sinkron. Belum lagi harus ada efek “ngeper” dari gerakan kaki. Buat yang jarang olahraga, ternyata bikin pegal-pega juga. Bu Mira juga menjelaskan bahwa Jaipongan sebenarnya tidak ada unsur geal geol, yang ada pinggul bergerak mengikuti gerakan kaki.

Museum Kota Bandung di Tahun 2019

Dari Padepokan Jugala, seharusnya kami melanjutkan ke pos terakhir di Museum Kota Bandung. Museum ini menempati bangunan antik di Jl. Aceh, yang didirikan tahun 1920. Di museum ini ditampilkan informasi sejarah Kota Bandung, termasuk Piagam Sultan Agung, Besluit Gubernur Jendral Daendels mengenai pendirian Bandung, rencana pembangunan Negorij Bandoeng oleh Dalem RAA Wiranatakusumah II, serta berbagai informasi terkait Bandung lainnya. Sayangnya, karena waktu tidak memungkinkan, kami harus segera bergabung di Bandoengsche Melk Centrum untuk melanjutkan acara Korporat. Ketika kami kembali melewati museum tersebut (yang hanya 100 meter dari BMC), ternyata museum dalam kondisi tutup. Untung saya pernah ke museum ini di tahun 2019!