Saturday, August 26, 2023

Curug Nangka, Curug Tersembunyi di Antara Tebing

Gerbang bertuliskan "Selamat Datang di Wana Wisata Curug Nangka" baru saja kami lewati. Terlihat warna langit di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak ini cerah, secerah hati kami yang (akhirnya) bisa melarikan diri sejenak dari polusi ibu kota. Adrenalin rombongan kami sedang tinggi-tingginya, tak sabar untuk melihat keindahan Curug Nangka. 

 

Curug Nangka terletak di lereng Gunung Salak, di Desa Sukajadi, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, di dalam Kawasan wana wisata seluas 17 hektar, yang dibuka untuk umum sejak tahun 1991. Tidak sulit untuk mencapai Curug Nangka, dengan berkendara kurang lebih 1 jam ke arah Selatan Kota Bogor. Curug (air terjun) ini merupakan salah satu destinasi wisata alam yang cukup populer di Bogor.

Melangkah menuju hutan pinus, terlihat berbagai pasang mata memandang dengan tatapan penasaran. Namun saya berusaha cuek, karena kalau sampai mereka tertarik untuk mendekat, bisa runyam! Kera-kera ini merupakan penghuni asli dari kawasan wana wisata, dan konon mereka cukup nakal, jika iseng mereka bisa mengambil barang kita dengan paksa. Makanya saya memilih cuek, supaya tidak diganggu.


Menempuh jalan setapak beraspal menuju Curug Nangka, terlihat beberapa warung yang menjajakan makanan dan minuman. Di dekatnya ada toilet, serta beberapa lahan yang bisa dijadikan tempat berkemah. Lumayan, kalau pas perjalanan balik terus lapar atau kehabisan minum, bisa top up logistik di sini!

Di titik percabangan menuju Curug Nangka, terlihat papan petunjuk yang mengarah ke bawah. Kami mengikuti petunjuk tersebut, dan bertemu anak sungai yang diapit 2 tebing. Pemandu kami sejak awal sudah menyampaikan bahwa untuk mencapai Curug Nangka, harus menyusuri anak sungai terlebih dahulu. Untung saya sudah menyiapkan diri dengan sandal gunung dan celana quick dry, jadi kaki tercelup air? No problem!

Ternyata dari ujung anak sungai menuju curug tidak dekat. Makin mendekati curug, terdapat beberapa bagian yang dalamnya hampir sebetis orang dewasa. Setiap melangkah harus hati-hati, jangan sampai tergelincir. Menurut teman-teman yang survey sebelumnya, saat survey air tidak setinggi ini. Kelihatannya karena hari sebelumnya sempat hujan, maka debit airnya naik. Pemandu kami pun berulang kali mengingatkan agar barang bawaan kami dijaga, terutama yang tidak boleh basah.

Setelah menyusuri anak sungai kurang lebih 10 menit, dari kejauhan terlihat Curug Nangka, obyek primadona dari kawasan ini. Nama "Nangka" konon berasal dari pepohonan nangka yang dulu pernah berada di sekitar area ini. Namun mata saya tertumbuk pada rangkaian janur di atas sebuah batu yang cukup besar. Saya mengenali rangkaian janur itu sebagai banten, semacam sajen khas kepercayaan Hindu Bali.


"Tak jauh dari sini kan ada Pura Parahyangan, jadi banyak juga yang beribadah dan meletakkan sajen di sini." Pemandu kami menjelaskan keberadaan banten di batu tersebut. Ah, ternyata demikian. Dari berbagai sumber, diketahui bahwa menurut kepercayaan penduduk setempat, lokasi air terjun ini pernah menjadi tempat semedi para leluhur, antara lain Raden Surya Kencana, Bah Haji Gempor, dan Bah Jamrong, dan lainnya. Dan jika diperhatikan lebih jauh, dalam radius beberapa km dari curug banyak situs-situs purbakala. Mungkin air terjun ini memang dianggap salah satu tempat suci di kawasan ini.


Kami akhirnya tiba di lokasi Curug Nangka. Curug ini memiliki ketinggian 25 meter, dan berlokasi di ketinggian 750 dpl. Airnya selalu  mengalir dan tidak pernah habis, walaupun sedang musim kemarau. Aliran airnya sangat jernih dan sejuk. Kolam yang terbentuk di bawah curug pun bisa direnangi dan tidak terlalu dalam, hanya sekitar sebetis orang dewasa. Namun disarankan untuk menghindari bagian yang terlalu dalam di dekat air terjun.

Masih di kawasan yang sama, sekitar 1 km dari Curug Nangka terdapat 2 air terjun lainnya, yaitu Curug Kawung dan Curug Daun. Ketiga curug ini sejatinya merupakan rangkaian aliran air, mulai dari Curug Kaung yang paling atas dengan ketinggian 17 meter, Curug Daun dengan ketinggian hanya 2 meter, dan Curug Nangka yang paling bawah. Curug Kawung dan Curug Daun memiliki debit lebih kecil dibandingkan Curug Nangka, sehingga keduanya kurang populer dibandingkan Curug Nangka.

Dari pengalaman menyusuri anak sungai menuju Curug Nangka, ternyata memerlukan fisik yang prima dan stamina yang cukup. Jika fisik dirasa kurang siap, sebaiknya tidak perlu memaksakan diri untuk melakukan trekking hingga ke Curug Nangka. Selain itu perhatikan juga cuaca. Jika cuaca kurang mendukung, terutama jika mendung dan berpotensi hujan, sebaiknya mengurungkan niat untuk pergi ke curug, karena ketika hujan maka debit alir bisa tiba-tiba meningkat.


Wednesday, August 9, 2023

Museum Pendidikan Surabaya, Wisata Edukasi di Tepi Kalimas

Surabaya dapat dikatakan mulai menjadi destinasi baru wisata sejarah. Bukan hanya menjadi tempat terjadinya peristiwa penting dalam upaya mempertahankan kemerdekaan, namun banyak tahap kehidupan tokoh bangsa yang terjadi di Surabaya. Bung Karno lahir di Surabaya. WR Supratman wafat di Surabaya. Dan saat ini peninggalan-peninggalan tersebut telah dirawat menjadi museum-museum yang menarik dan edukatif.

Salah satunya adalah Museum Pendidikan Surabaya yang terletak di Jl. Genteng Kali no. 10, Surabaya. Diresmikan walikota Surabaya Tri Rismaharini pada peringatan Hari Guru 25 November 2019, museum tematik ini memilik 860 koleksi memorabilia terkait dunia pendidikan, sekaligus sebagai obyek wisata edukasi di Surabaya 

Fasad Bangunan Museum yang Menghadap ke Kalimas

Museum ini menempati bangunan bekas Sekolah Taman Siswa yang terletak di tepi Kalimas. Bangunan museum diperkirakan sudah ada sejak tahun 1910, dan saat itu merupakan rumah tinggal keluarga Tionghoa yang berada. Terdapat teras yang menghadap ke halaman tengah serta teras belakang yang menghadap ke arah Kalimas. Di atas bangunan terdapat tulisan “Villa Rivierzicht” yang bermakna “villa tepi sungai”, yang mungkin terkait dengan pemandangan ke arah Kalimas.

Setelah kemerdekaan, pada tahun 1952 bangunan tersebut pernah dipakai sebagai sekolah menengah pertama YPPI (Yayasan Pendidikan dan Pengajaran Indonesia). Setelah itu kemudian ditempati oleh SMP/SMA Taman Siswa.sampai tahun 2004. Gedung eks Taman Siswa itu tak ada satu pun yang diubah dari bentuk aslinya, yang dilakukan Pemkot Surabaya hanya memperbaiki.

Bel Sekolah Taman Siswa

Koleksi Museum Pendidikan Surabaya berupa informasi dan artefak yang merepresentasikan dinamika perjalanan pendidikan di Indonesia sejak era pra aksara hingga masa kini. Koleksi diatur mengikuti alur linimasa, dari masa Pra Sejarah, masa Hindu Buddha, masa Kolonial, hingga masa Kemerdekaan.

Koleksi di Zona Pra Aksara yang diwakili dengan diorama Manusia Purba menerangkan bahwa pendidikan telah dimulai sejak awal peradaban manusia, bahkan sebelum manusia menemukan aksara sebagai medium komunikasi dan pengetahuan. Pada masa itu, pengetahuan utama yang diajarkan dan masih sangat relevan hari ini adalah pengetahuan bertahan hidup. Pada masa itu, pengetahuan ditukarkan bukan melalui tulisan, melainkan melalui pengalaman langsung di alam, sensasi indra yang menubuh, dan "ingatan otot".

Koleksi di masa Hindu-Buddha menunjukkan pada masa itu telah terjadi asimilasi antara pengaruh luar nusantara dengan budaya lokal, menjadikan pendidikan pada masa itu menjadi sangat dinamis. Aktivitas niaga dan syiar agama turut mempengaruhi corak pendidikan pada masa itu. Di masa Hindu-Buddha mulai terbentuk lembaga-lembaga pendidikan seperti padepokan yang dipimpin Mpu atau Begawan, Pura, Pencantrikan, dan Pertapaan.

Pengetahuan dasar yang diajarkan pun didasarkan atas sistem Triwangsa yang merupakan pengaruh budaya India. Wangsa Brahmana belajar kitab suci dqn kitab Sastra dari India. Wangsa Ksatria belajar tentang pemerintahan dan strategi perang. Sedangkan wangsa Waisya mempelajari ketrampilan yant menopang kehidupan, seperti bertani, metalurgi, peternakan, pertukangan, perdagangan dll.

Masuknya Islam ke Nusantara membuat corak pendidikan di Nusantara semakin beragam. Pada penghujung abad ke-19, berbagai macam bentuk penyelenggaraan dan institusi pendidikan Islam seperti pendidikan dalam bentuk rumah, surau/langgar, masjid, dan pesantren sederhana mulai dikenal. Perkembangan pesantren pada abad ke-17 merupakan titik puncak dari proses perkembangan pendidikan Islam sebelum akhir abad ke-19, ketika Sultan Agung -Raja Mataram- mulai memerintah antara 1613-1645.

Naskah Surat Yusuf

Di masa Islam inilah banyak manuskrip yang dibuat untuk media pendidikan. Di antaranya adalah Naskah Surat Yusuf yang dibuat dari bahan kulit, ditulis dalam aksara Arab serta ada terjemahan bahasa Jawa dengan aksara Arab Pegon. Naskah lainnya adalah kisah Nabi Muhammad yang ditulis dalam bentuk tembang macapat pada kertas bergaris beraksara Jawa.

Era kolonial barangkali merupakan masa terberat bagi pendidikan bangsa Indonesia. Kedatangan bangsa Eropa yang mengeksploitasi hasil bumi Nusantara dengan menggunakan keringat manusia Nusantara nyaris menghentikan proses pendidikan bangsa. Titik kecil harapan muncul seiring dengan merebaknya politik etis di Eropa. Akses terhadap pendidikan bagi warga non Eropa yang awalnya hanya bisa dijangkau oleh kalangan elit saja, perlahan mulai meluas di beberapa kota besar. Dengan meningkatnya kualitas pendidikan, maka tumbuhlah kesadaran dan keberanian untuk melawan ketidakadilan. Tak perlu menunggu lama bagi munculnya para pemuda aktivis yang dikemudian hari akan mengalirkan arus besar pendidikan dan perlawanan terhadap kolonialisme. Merekalah yang kini kita kenal sebagai pendiri, guru, dan pahlawan bangsa. Dr. Wahidin Soedirohoesodo, R.M. Tirto Adhi Soerjo, H.O.S. Tjokroaminoto, Ernest Douwes-Dekker, Ki Hajar Dewantara, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, dr. Soetomo, Ir. Sukarno, Mochammad Hatta, dll.

Bangku Kuliah Dari Kayu

Di era kolonialisme Jepang yang relatif singkat, terjadi perbaikan sistem pendidikan dan transfer pengetahuan yang sangat signifikan dibanding sebelumnya. Mulai dari pengadaan sekolah hingga ke pelosok, penajaman kurikulum, reformasi sistem pengajaran dan pelatihan guru. Semua upaya ini tak lepas dari kesadaran Jepang melihat potensi pendidikan dan kebudayaan sebagai elemen penting yang mendukung propaganda mereka sebagai Saudara Tua serta Pemimpin, Pelindung, dan Cahaya Asia dalam konstelasi perang dunia kedua.

Artefak-artefak di bagian ini ditandai dengan benda-benda yang menjadi ciri khas dunia pendidikan di masa itu. Salah satunya adalah lampu kuno yang digunakan untuk belajar di malam hari, sepeda kebo yang digunakan oleh guru, dan bangku kayu yang digunakan di sekolah. Koleksi yang menarik adalah mesin handpress milik KH Ahmad Dahlan yang digunakan di Percetakan Muhammadiyah di Karangkajen, Yogyakarta.

Mesin Handpress Milik KH Ahmad Dahlan

Memasuki awal era kemerdekaan, tidak serta merta nasib pendidikan bangsa Indonesia menjadi lebih mudah. Indonesia yang masih sangat muda masih tidak stabil, khususnya dalam situasi sosial politik. Tantangan lainnya adalah keragaman sosial budaya di sepanjang Nusantara. Koleksi di bagian ini terdiri dari bukti materiil dunia pendidikan dari periode 1945-1990-an. Mulai dari batu tulis, buku-buku pelajaran, peralatan laboratorium, hingga peralatan ekstrakurikuler. 

Display "Ini Ibu Budi"

Yang tidak boleh dilewatkan di museum ini adalah satu display tentang "Ini Ibu Budi". Kalimat "Ini Ibu Budi" muncul di tahun 1980-an dalam buku paket pelajaran bahasa Indonesia di SD, hingga tahun 2014. Ibu Siti Rahmani Rauf menciptakan metode ini berangkat dari kegelisahan terhadap metode pembelajaran membaca saat itu, dan berupaya menciptakan metode agar anak-anak dapat lebih mudah dalam belajar membaca. Ibu Siti Rahmani wafat di Jakarta pada 10 Mei 2016.

Air Force One Indonesia Tempo Doeloe

Bolak balik ke Museum Dirgantara Mandala, apa gak bosan? Bagi saya, museum punya banyak koleksi yang kalau dikulik secara mendalam, banyak cerita-cerita menarik di dalamnya. Apalagi Dirgantara Mandala punya koleksi pesawat lebih dari 50, yang masing-masing menjadi saksi sejarah kejayaan kita di udara.

Di pertengahan Juni yang lalu, saya berkunjung untuk kesekian kalinya ke Dirgantara Mandala. Misi utama hari ini adalah melihat C-140 Jetstar "Pancasila". Di kunjungan-kunjungan sebelumnya, saya melewatkan pesawat ini, karena lebih tertarik dengan pesawat tempur. Tapi setelah membaca-baca tentang pesawat "Pancasila", saya memutuskan untuk melihat lebih dekat pesawat “Pancasila” yang pernah menjadi pesawat kepresidenan RI.

Jetstar "Pancasila" sejatinya bukan pesawat kepresidenan RI yang pertama. Pesawat kepresidenan RI yang pertama adalah Ilyushin Il-14 Avia, hadiah dari pemerintah Uni Sovyet di tahun 1957 sebagai tanda persahabafan antara Uni Sovyet dan Indonesia. Pesawat diserahkan pada 24 Januari 1957 oleh Zukhov, Duta Besar Uni Sovyet untuk Indonesia, di Lanud Halim Perdanakusuma.

Ilyushin Il-4 Avia T-414

Pesawat angkut bermesin ganda ini kemudian diberi nomor registrasi T-401 dan diberi nama Dolok Martimbang, nama sebuah gunung di Kabupaten Tapanuli Utara. Pemberian nama ini dengan pertimbangan saat itu di Sumatera Tengah sedang terjadi pergolakan. Dolok Martimbang sendiri memiliki makna “gunung yang seimbang”. Menurut legenda, Dolok Martimbang merupakan tempat melakukan perjanjian perdamaian antar kepala daerah yant bermusuhan. Tempat ini juga menjadi tempat perjanjian perdamaian antara Belanda dengan pemimpin lokal. 

Pesawat berbadan sedang dengan kapasitas 60-100 penumpang ini tidak dirancang secara khusus sebagai pesawat kepresidenan. Walaupun sudah diserahkan sejak Januari 1957, pesawat baru digunakan pada 16 Mei 1957 darj Surabaya ke Jakarta. Banyak yang menduga jarak 4 bulan itu dikarenakan Presiden Soekarno menahan diri untuk tidak terlihat bermewah-mewah dalam kondisi Republik Indonesia yang tengah mengalami pergolakan.

T-401 Dolok Martimbang menjadi cikal bakal berdirinya Skadron Udara 17 atau Satuan Udara Angkut Khusus VIP/VVIP yang didirikan tahun 1963. Jika hari ini kita mengunjungi Skadron Udara 17 di Lanud Halim Perdanakusuma, kita bisa melihat pesawat-pesawat VIP/VVIP, termasuk pesawat kepresidenan Indonesia yang dioperasikan oleh TNI AU. Pesawat yang digunakan cukup bervariasi, termasuk Boeing 737 dan C-130 Hercules yang didesain khusus untuk VIP. (lihat artikel berikut

Boeing 737 milik Skadron Udara 17

Dolok Martimbang hanya beroperasi sebagai pesawat kepresidenan sampai tahun 1962. Tahun 1975, pesawat ini resmi dipurnabaktikan karena faktor usia dan ketiadaan suku cadang. Saat ini nasib T-401 Dolok Martimbang tidak diketahui rimbanya. Namun kita masih bisa melihat pesawat serupa dengan nomor registrasi T-414, yang sempat dijadikan monumen di Lanud Abdulrachman Saleh. Pesawat ini kemudian direstorasi oleh tim gabungan dari Lanud Adisucipto dan Lanud Abdulrachman Saleh untuk diabadikan di Museum Dirgantara Mandala pada tahun 2018.

Pada tahun 1961, presiden Soekarno pergi ke Amerika Serikat. Beliau tidak menggunakan Dolok Martimbang, namun menyewa Boeing 707 PanAm lengkap dengan pilot dan pramugarinya. Sekembalinya Soekarno dari Amerika Serikat, pada tahun 1962 Presiden AS John F. Kennedy memberikan hadiah kepada Indonesia 3 buah pesawat Lockheed C-140 Jetstar berkapasitas 8-10 penumpang, yang merupakan pesawat jet bisnis pertama di dunia. Pesawat-pesawat inilah yang kemudian menggantikan peran Dolok Martimbang sebagai pesawat kepresidenan.

C-140 JetStar "Pancasila" T-1645

Ketiga pesawat C-140 tersebut kemudian diberi nama Saptamarga (T-9446), Irian (T-17845), dan Pancasila (T-1645). Jika diperhatikan, ketiga pesawat ini diberi kode Registrasi dengan “nomor cantik”. Pancasila mendapat nomor T-1645, yang merupakan tanggal lahir Pancasila 1 Juni 1945. Irian mendapat nomor T-17845 yang merupakan tanggal kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Sedangkan Saptamarga mendapat nomor T-9446 yang merupakan hari lahir TNI AU 9 April 1946.

Pada masanya, C-140 merupakan salah satu pesawat ternyaman dan tercanggih. Salah satu dari ketiga pesawat ini sempat dijadikan sebagai pesawat kepresidenan yang standby di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma untuk mengevakuasi presiden, manakala bila terjadi ancaman.Saat ini kita masih bisa melihat pesawat “Pancasila” yang sejak tahun 1987 menjadi koleksi Museum Dirgantara Mandala, serta Sapta Marga yang dijadikan monumen di Garuda Training Center, Duri Kosambi. Adapun pesawat “Irian” tidak diketahui nasibnya. Dari beberapa informasi, konon pesawat ini berada di Amerika Serikat dalam kondisi pretelan.


Wisata Pemakaman PD II (3): Ereveld Kembang Kuning

Jalan Kembang Kuning barangkali identic dengan pemakaman, khususnya bagi warga Surabaya. Di tempat ini memang merupakan TPU untuk berbagai kepercayaan, termasuk untuk muslim, Nasrani, Tionghoa, dan bahkan ada pemeluk agama Yahudi. Bahkan di salah satu sudut jalan, terdapat kompleks pemakaman elite warga Belanda, yang saat ini tampaknya kurang terurus. Kompleks pemakaman Kembang Kuning dibuka pada tahun 1917 oleh walikota Surabaya G.J. Dijkerman.

Di dalam kompleks pemakaman Kembang Kuning inilah terletak Ereveld (Taman Makam Kehormatan) Kembang Kuning, yang secara resmi beralamat di Jl. Makam Kembang Kuning I Atas. Untuk mencapai Ereveld Kembang Kuning, kita harus masuk lebih dalam lagi ke Kawasan TPU Kembang Kuning, melewati tugu malaikat yang menjadi penanda dibukanya kompleks pemakaman ini pada tahun 1917. Berbelok kiri dari tugu malaikat, tak jauh dari tugu tersebut akan terlihat gerbang bertuliskan “Ereveld Kembang Kuning”. Kami diijinkan masuk oleh petugas, dan dipersilakan memarkir mobil di dalam. Petugas menanyakan apakah saya mau ziarah ke salah satu makam. Saya menyampaikan bahwa saya hanya mau melihat-lihat. Tujuan utama saya adalah melihat monumen Karel Doorman. 

Ereveld Kembang Kuning

Ereveld Kembang Kuning merupakan tempat peristirahatan terakhir bagi lebih dari 5000 korban personil militer dari KNIL, Koninklijke Landmacht, dan Koninklijke Maritime, serta warga sipil yang gugur di kamp konsentrasi di Jawa Timur, yang merupakan korban Periode Bersiap pada tahun 1945. Ereveld Kembang Kuning juga menampung makam yang dipindahkan dari ereveld Tarakan (1964), Kupang (1966), Ambon (1967), Balikpapan (1967), Makassar (1968), dan New Guinea (1974).

Seluas mata memandang, yang terlihat adalah nisan berwarna putih, yang didominasi bentuk salib. Dari bentuk nisannya, dapat diketahui agama dari yang dimakamkan di tempat tersebut. apakah Kristen, Islam, Buddha, atau Yahudi. Jika yang bersangkutan adalah personil militer, biasanya disebutkan pangkat dan dari satuan mana yang bersangkutan berasal. Beberapa makam terlihat bertuliskan “Onbekend”, yang berarti “tidak dikenal”. Beberapa makam juga memiliki tulisan yang menjelaskan makam tersebut merupakan pindahan dari ereveld lain. Khusus pemakaman muslim, mereka dikumpulkan dalam 1 blok tersendiri, dan diatur menghadap ke kiblat.

Petugas makam mengingatkan saya, jika saya akan memotret makam, mohon agar tidak memperlihatkan nama-nama pada nisan. “Aturan” serupa pernah saya dengar sebelumnya, ketika saya berkunjung ke Ereveld Ancol dan Ereveld Menteng Pulo. Alasannya masuk akal: tidak semua ahli waris berkenan nama-nama mereka yang dimakamkan di ereveld beredar secara luas.

Suasana ereveld Kembang Kuning tidak jauh berbeda dengan Ereveld Menteng Pulo. Letaknya menempel dengan pemakaman umum Kembang Kuning, dan dibatasi oleh pagar. Dari jauh terlihat beberapa gedung tinggi yang menjulang ke atas langit Surabaya, walaupun tidak sebanyak gedung pencakar langit yang mengepung Ereveld Menteng Pulo. Suasana sangat hening, namun saya tidak merasa kesepian, karena terlihat beberapa petugas makam tengah melakukan perawatan taman makam.

Monumen Karel Doorman dan Monumen Peti Mati
Untuk Pelaut Tak DIkenal

Tanpa menunggu terlalu lama, saya menelusuri jalan berpaving di bagian tengah ereveld. Dari jauh sudah terlihat bangunan yang menjadi tujuan saya: Monumen Karel Doorman. Monumen ini dirancang oleh W.J.G. Zeedijk dan didirikan pada 7 Mei 1954. Monumen ini menandai peristiwa Pertempuan Laut Jawa pada 27 Februari 1942, di mana saat itu pasukan Belanda dan pasukan Sekutu mengalami kekalahan telak dari pasukan Jepang. Dalam pertempuran tersebut, kapal Hr.Ms. De Ruyter yang ditumpangi Laksamana Karel Doorman ditenggelamkan kapal Jepang Haguro, bersama HMAS Perth, USS Houston, Hr.Ms. Java, dan 915 awak kapal di Laut Jawa. 

Di depan monumen Karel Doorman, terdapat monumen kecil berbentuk peti mati bertuliskan "De Onbekende Zeeman". Monumen ini ditujukan bagi awak kapal yang namanya tak dikenal dan gugur semasa perang. Walaupun monumen kecil itu bukan merupakan peti mati dan hanya terbuat dari batu, namun berdiri di dekat monument tersebut membuat saya merenung sekaligus merinding: berapa banyak korban yang telah jatuh selama masa peperangan, termasuk 915 awak 3 kapal perang Sekutu yang tidak pernah kembali dari Pertempuran Laut Jawa, yang bahkan jasadnya tidak dimakamkan di ereveld ini karena berada di dasar laut.

Di bagian depan monumen, terdapat tiga buah plakat. Plakat pertama adalah penjelasan mengenai Laksamana Karel Willem Frederik Marie Doorman, pimpinan pasukan Komando American-British-Dutch Australian (ABDA) di Pasifik, yang memilih tetap tinggal di atas kapal Hr. Ms. De Ruyter saat kapal tersebut mulai tenggelam akibat tak bisa mengatasi serangan kapal tempur Angkatan Laut Kekaisaran Jepang. Dalam plakat tersebut tertuang perkataan terakhirnya kepada awak kapal: "Ik val aan, volg mij!" (saya sedang menyerang, ikuti saya). 

Di plakat sebelah kiri adalah relief kapal The Seven Province yang dikomandoi Michiel Adriaenszoon de Ruyter, laksamana Angkatan Laut Kerajaan Belanda dari masa Perang Anglo-Belanda di abad ke-17, yang namanya digunakan untuk kapal pemimpin armada Sekutu. Terdapat tulisan yang merupakan kutipan dari Laksamana de Ruyter dalam Bahasa Belanda, yang setelah saya terjemahkan dengan bantuan aplikasi, saya menginterpretasikan artinya bahwa beliau rela melaksanakan perintah dari penguasa negara untuk mempertahankan tanah air, bahkan jika itu harus mempertaruhkan nyawa. Sedangkan di plakat sebelah kiri terdapat relief kapal Hr. Ms. De Ruyter, HMAS Perth, dan Hr. Ms. Java. Tulisan pada plakat menunjukkan bahwa plakat ini didedikasikan untuk menghormati seluruh prajurit Sekutu yang tidak pernah kembali dari Pertempuran Laut Jawa, 27 Februari 1942.

Tampak Belakang Monumen Karel Doorman
dengan Plakat Nama-Nama Awak Kapal yang Gugur
di Pertempuran Laut Jawa
 

Nama-nama 915 awak dari 3 kapal perang yang gugur dalam Pertempuran Laut Jawa tersebut terdaftar dalam 15 prasasti perunggu yang terdapat di sisi belakang monumen Karel Doorman. Di antara nama-nama prajurit tersebut, sekitar 20-30% adalah bangsa Indonesia yang bergabung dengan Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Jadi, sejatinya korban dari pertempuran tersebut bukan semata-mata pasukan Sekutu yang terdiri dari orang-orang Eropa. Bahkan bangsa kita yang saat itu menjadi awak kapal perang Belanda pun turut menjadi korban.

Dalam peristiwa Pertempuran Laut Jawa, Hr.Ms. De Ruyter merupakan kapal pemimpin armada tempat Laksamana Karel Doorman memimpin armada kapal perang Sekutu. Kapten De Ruyter sendiri adalah Eugene Lacomble. Pada malam 27 Februari 1942, armada Komando ABDA disergap oleh kapal perang Angkatan Laut Kekaisaran Jepang Nachi dan Haguro. Beberapa menit setelah Hr. Ms. Java ditorpedo dan tenggelam, Hr. Ms. De Ruyter terkena torpedo yang diluncurkan Haguro pada pukul 23:40. Torpedo tersebut merusak sistim kelistrikan kapal, sehingga awak kapal tidak bisa memadamkan api atau memompa air akibat kebocoran. Hr. Ms. De Ruyter akhirnya tenggelam pada pukul 02:30 dinihari bersama 367 awaknya, termasuk Laksamana Doorman dan Kapten Lacomble. Bangkai Hr. Ms. De Ruyter akhirnya ditemukan pada 1 Desember 2002, dan titik situs tersebut dinyatakan sebagai makam perang.


Wednesday, July 19, 2023

Belajar Kriptologi Yang Seru di Museum Sandi

Pilihan yang tepat untuk orang yang traveling sendirian, tentu saja museum. Dan jika kita “terpaksa” ke Yogyakarta sendirian, Yogya punya banyak pilihan museum. Kali ini saya memilih ke Museum Sandi, satu-satunya museum kriptologi di Indonesia. Mengapa didirikan di Yogya? Karena cikal bakal lembaga yang bergerak di bidang persandian ini berawal di Yogyakarta.

Saya berkeliling museum ditemani mas Haris, pemandu dari Museum Sandi. Menurut mas Haris, pemilihan Kotabaru sebagai lokasi Museum Sandi tidak lepas dari lokasi berdirinya Dinas Kode sebagai cikal bakal BSSN. Bangunan yang saat ini dijadikan Museum Sandi di Jl. Faridan Muridan Noto 21 sebenarnya tidak berkaitan dengan sejarah Dinas Kode. Bangunan yang ada sejak tahun 1917 ini semula merupakan rumah dokter Belanda yang melayani Kesultanan Yogyakarta, dan di awal masa Kemerdekaan digunakan oleh Kementerian Luar Negeri. 

Scytale, Alat Sandi Bangsa Yunani dan Sparta

Di lorong pertama, Mas Haris menjelaskan mengenai sejarah perkembangan sandi di dunia. Dapat dikatakan, dunia kriptologi berkembang seiring dengan perkembangan aksara manusia serta kebutuhan mengirimkan pesan rahasia saat berperang. Salah satu penjelasan yang menarik adalah tentang Scytale, yang digunakan bangsa Yunani dan Sparta di masa peperangan. Scytale digunakan dengan melilit gulungan perkamen (kulit) pada tongkat. Setelah pesan dituliskan, perkamen tersebut dilepas dari tongkat dan dikirimkan. Penerima dapat membacanya dengan cara melilitkan perkamen pada tongkat lain yang memiliki diameter yang sama.

Ruangan berikutnya adalah diorama yang menggambarkan pemberian instruksi pembentukan Dinas Kode pada 4 April 1946 oleh Menteri Pertahanan Amir Syarifudin kepada dr. Roebiono Kertopati. Mengapa perintah tersebut diberikan kepada dr. Roebiono? Saat bergabung dengan KNIL setelah lulus dari NIAS, dr. Roebiono pernah dilatih Sekutu di Papua Nugini dan ditugaskan di bagian intelijen sebagai petugas kode. 

Di ruangan ini terdapat Buku Kode C, koleksi unggulan Museum Sandi. Buku ini merupakan dasar Pedoman pengiriman sandi yang menggunakan system substitusi. Uniknya, master buku berisi 10.000 kata ini ditulis tangan oleh dr. Roebiono secara ambidextrous (tangan kanan dan kiri sekaligus) sebelum digandakan dengan cara diketik menjadi 6 jilid. Selain Buku Kode C, Dinas Kode juga membuat Buku Kode B. Buku Kode B merupakan Pedoman persandian dalam versi yang mudah dibawa, dengan sampul luar berbentuk tas. Dapat dibayangkan betapa canggihnya dr. Roebiono dan tim Dinas Kode, ketika Republik ini masih belia, mereka sudah bisa membuat sistem persandian yang canggih dan tidak mudah dipecahkan oleh pihak lawan.

Buku Kode C

Kami kemudian memasuki Lorong yang menunjukkan diorama Rumah Sandi Dukuh. Saat terjadi Agresi Militer II Belanda, pemerintah RI melakukan evakuasi keluar Yogya, tidak terkecuali Dinas Kode. Para Code Officer (CDO) kemudian mendirikan Rumah Sandi di Desa Dukuh, Kulonprogo. Meja kursi dan dinding gedhek dari Rumah Sandi ikut dipamerkan di Museum Sandi. Saat ini rumah tersebut dijadikan monumen dengan nama Rumah Sandi Dukuh. 

Ruangan berikutnya berisi koleksi terkait persandian di masa perang kemerdekaan. Terdapat maket Surau Bulian di Bidar Alam, Solok Selatan, yang berfungsi sebagai stasiun radio AURI semasa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Stasiun radio AURI ini hanya beroperasi di malam hari, agar radiogram tidak disadap, serta menghindari upaya musuh untuk mendeteksi letak stasiun radio. 

Di tengah ruangan, terdapat sepeda onthel. Semula saya agak bingung, apa hubungan sandi dan sepeda onthel? Ternyata sepeda onthel adalah salah satu alat transportasi yang digunakan kurir untuk mengirimkan berita rahasia pada masa Kemerdekaan RI. Surat atau pesan rahasia ini dimasukkan ke dalam stang yang sudah dimodifikasi agar dapat membawa pesan rahasia tanpa diketahui Belanda, jika sewaktu-waktu ada penggeledahan. 

Koleksi yang membuat saya mengernyitkan dahi sekaligus bergairah adalah mesin-mesin sandi yang digunakan untuk kegiatan komunikasi rahasia. Membayangkan bagaimana mesin-mesin itu dipakai untuk mengirim dan menerima pesan rahasia, wow… Di antara mesin-mesin itu, terdapat mesin sandi BC 543 buatan Stockhold Swedia yang dan merupakan salah satu dari 5 mesin yang diserahkan Belanda pasca pengakuan Kedaulatan tahun 1949.

Mesin Sandi SR-64 buatan anak bangsa

Tak butuh waktu terlalu lama, di tahun 1960-an Indonesia telah berhasil membuat mesin sandi. Mesin sandi pertama buatan anak bangsa adalah SR-64. Sampai tahun 1968, Jawatan Sandi telah membuat 49 unit mesin SR-64. Tak hanya membuat mesin sandi, Indonesia juga telah membuat Telepon Anti Sadap SN-011. Telepon produksi tahun 1990-an ini merupakan mesin sandi berbasis suara, yang dilengkapi dengan modul penyandi sehingga dapat berfungsi sebagai telepon persandian.

Mas Haris kemudian mengajak saya ke lantai 2 museum. Ruangan tengah di lantai 2 didedikasikan untuk para tokoh Lembaga Sandi Negara, khususnya dr. Roebiono. Mendengar cerita mas Haris, saya merasa dr. Roebiono sangat istimewa, seolah garis tangannya sudah ditakdirkan untuk menjadi pelopor persandian di Indonesia. Lahir di Ciamis dari keluarga dokter, Roebiono muda menempuh Pendidikan di Nederlandsch Indishe Arten School (NIAS) Surabaya untuk menjadi dokter. Tahun 1941 dr. Roebiono bergabung dengan dinas medis KNIL. Setelah Indonesia merdeka, dr. Roebiono dimanfaatkan NEFIS untuk masuk ke Jawa bersama tentara Sekutu. Mereka ditangkap para pejuang, karena dicurigai sebagai mata-mata. Dengan ketrampilannya sebagai ahli kunci, dr. Roebiono bisa keluar masuk selnya tanpa ketahuan oleh penjaga. Perlengkapan membongkar kunci ini turut dipamerkan di Museum Sandi. Namun dr. Roebiono bukan orang yang haus kekuasaan. Dalam karirnya, ia tak pernah terlibat dalam perpolitikan, sehingga dr. Roebiono dapat memimpin Jawatan Sandi lebih dari separuh hidupnya, melewati Orde Lama dan Orde Baru, hingga akhir hayatnya. 

Diorama dr. Roebiono dan Amir Syarifudin

Selain memamerkan memorabilia dari dr. Roebiono dan beberapa tokoh Lembaga Sandi Negara, di ruangan ini terdapat gambar bulu-cabe. Menurut mas Haris, bulu-cabe adalah Semacam kode yang menandai kurir atau CDO Indonesia pada masa perang Kemerdekaan. Cabe yang berwarna merah dan bulu yang berwarna putih merupakan lambang merah putih, bendera Indonesia. Bulu-cabe kemudian selalu dipasang pada lambang Jawatan Sandi, Lembaga Sandi Negara, dan BSSN.

Mesin Sandi Kryha buatan Jerman

Di ruangan lain, terdapat mesin-mesin sandi dari luar negeri. Di antara mesin-mesin tersebut, terdapat Mesin Sandi KL-7 buatan National Security Agency Amerika tahun 1940. Mesin yang ada di Museum Sandi semula digunakan oleh Fretilin saat Operasi Seroja di Timor Leste tahun 1975. Selain itu terdapat mesin sandi Kryha, mesin sandi Jerman yang dibuat oleh Alexander von Kryha. Mesin sandi ini digunakan pada era 1920-an hingga 1950-an oleh korps diplomatic Jerman. Mesin Kryha memiliki berat sekitar 5 kg dan beroperasi secara mekanik. Sebelum mengakhiri pendampingannya, dengan bercanda mas Haris berkata sayangnya Museum Sandi belum memiliki koleksi mesin sandi Enigma dari Jerman yang terkenal saat PD II. Wah, seru kayanya kalau museum ini sampai punya Enigma!

 

Sunday, June 4, 2023

Waterfront Batavia Tempo Doeloe

 Hari ini, Minggu 29 Mei 2023, PTD komunitas Sahabat Museum yang kesekian kalinya, bertepatan dengan 20 tahun Sahabat Museum. Saya tertarik untuk hadir di PTD kali ini, karena kami akan eksplorasi Menara Syahbandar, Museum Bahari, tembok kota Batavia, dan juga Pelabuhan Sunda Kelapa, Yay! Kapan lagi bisa ke tempat-tempat aneh tapi rame-rame, plus dapat cerita-cerita sejarahnya?

Setelah semua berkumpul di Menara Syahbandar, kami berjalan menuju Pelabuhan Sunda Kelapa. Sunda Kelapa merupakan cikal bakal kota Jakarta. Kala itu Kalapa – nama aslinya – merupakan pelabuhan Kerajaan Sunda, yang direbut oleh pasukan Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah. Di jaman VOC, Sunda Kelapa merupakan pintu masuk Batavia di abad ke-17.

Pelabuhan Tradisional Sunda Kelapa

Saat ini Pelabuhan Sunda Kelapa dikelola oleh PT Pelindo II, dan hanya melayani kapal antar pulau. Kapal-kapal tradisional yang bersandar umumnya mengangkut barang kelontong, sembako, dan tekstil dari Jakarta, ditukar dengan kayu, rotan, dan kopra dari luar Jawa. Menurut petugas HSSE yang kebetulan kami temui, pemilik kapal-kapal kayu di Sunda Kelapa umumnya orang-orang Bugis. Kapal-kapal tradisional ini mengangkut barang ke perairan yang bisa dijangkau kapal, seperti Palembang atau Kalimantan.

Dari Pelabuhan Sunda Kelapa, rombongan PTD kembali ke Menara Syahbandar, yang terletak di Jalan Pasar Ikan Nomor 1, Penjaringan, Jakarta Utara. Menara tersebut (Uitkijk Post atau Lookout Post) dibangun sekitar tahun 1839 yang berfungsi sebagai menara pemantau bagi kapal-kapal yang keluar-masuk Kota Batavia lewat jalur laut serta berfungsi kantor "pabean" Pelabuhan Sunda Kelapa.

Menara Syahbandar Yang "Baru"

Menara ini menempati bekas bastion Culemborg yang dibangun sekitar 1645, seiring pembuatan tembok Kota Batavia oleh Gubernur Jenderal Antolo van Dieman. Nama “Culemborg” merujuk tempat kelahiran Dieman. Pada awal abad ke-19, dengan perpindahan pusat Kota Batavia ke Weltevreden, tembok kota dan banteng tidak lagi diperlukan dan sebagian besar telah dibongkar, hanya menyisakan bastion Culemborg dan Zeeburg. Bastion Culemborg kemudian digunakan sebagai tempat untuk memasang alat bantu navigasi. 

Prasasti Penanda Meridian 0 Batavia

Pada tahun 1839, menara pertama dibangun memiliki tinggi sekitar 18 meter. Di bangunan ini juga pernah terdapat kronometer yang sangat akurat, untuk menentukan meridian Batavia. Penetapan garis bujur nol Batavia juga didokumentasikan dalam prasasti dengan tulisan Tionghoa, yang menyatakan bahwa berdasarkan hasil survey, tempat tersebut merupakan garis bujur nol Batavia. Titik nol meridian Batavia masih digunakan untuk memproduksi peta Indonesia sampai tahun 1942, mesikpun sejak 1883 meridian Greenwich sudah diterima secara universal sebagai meridian utama. 

Di menara ini dipasang bola waktu yang digunakan untuk menyesuaikan jam kapal dengan waktu standar, sekaligus mengkalibrasi alat yang digunakan untuk menentukan posisi kapal saat di laut. Karena menara kemudian digunakan untuk kegiatan lain, pada tahun 1850 didirikan menara sinyal yang baru setinggi 40 meter, sekaligus berfungsi sebagai menara pengamat untuk mengawasi kapal-kapal di depan pelabuhan.  

Tugu Penanda Nol Kilometer Jakarta

Di masa kemerdekaan, dilakukan penataan kembali bangunan, dan pada tanggal 7 Juli 1977, bersamaan dengan peresmian Museum Bahari, Menara Syahbandar diresmikan kembali. Saat itu juga dilakukan peresmian tugu penanda kilometer 0 Jakarta oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Selama beberapa tahun, tempat ini masih digunakan sebagai penanda kilometer 0 Jakarta, sebelum pada tahun 1980 titik kilometer 0 Jakarta dipindahkan ke Monas.

Walaupun bangunan Menara Syahbandar diberitakan perlahan miring karena usia yang semakin tua, adanya penurunan muka tanah, serta getaran kendaraan berat yang melintas di Jalan Pasar ikan, namun bangunan tersebut masih cukup terawat. Peserta PTD hari ini bergantian naik tangga kayu jati yang cukup curam ke lantai 3 menara. Dari jendela-jendela pantau kita bisa memandang deretan perahu di Pelabuhan Sunda Kelapa, Museum Bahari di utara, Kafe VOC yang dulunya merupakan galangan, serta pemandangan jalan raya.

Salah Satu Bagian Bekas Tembok Kota Batavia

Sebelum masuk ke Museum Bahari, kami melihat situs tembok Kota Batavia. Tembok ini semula setinggi 5 meter, namun saat ini ketinggiannya sudah berkurang karena pendangkalan/sedimentasi. Saat ini tembok yang masih tersisa adalah di Jl. Tongkol dan bagian utara tembok di dekat Museum Bahari. Keadaannya sudah parah, tak terawat, hampir roboh, dan penuh tanaman liar. Di beberapa bagian tembok terlihat lapisan keramik seperti dari dapur atau kamar mandi. Kemungkinan besar tembok ini pernah dimanfaatkan sebagai tembok pemukiman warga. 

PTD kami hari ini berakhir di Museum Bahari. Kompleks bangunan museum ini dibangun antara tahun 1652-1773. Dan berfungsi sebagai gudang komoditas VOC untuk menyimpan rempah (pala, cengkeh), kopi, teh, tembaga, timah, dan tekstil. Gedung yang digunakan di Museum Bahari semula adalah Gudang Barat (Westzijdsche Pakhuizen). Ketika masa pendudukan Jepang, bangunan beralih fungsi menjadi gudang logistik tentara Jepang. Setelah Indonesia Merdeka, bangunan digunakan untuk gudang PLN dan PTT. Tahun 1976, bangunan ini mengalami pemugaran, dan pada tanggal 7 Juli 1977 gedung ini diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin sebagai Museum Bahari.

Museum Bahari

Gedung yang digunakan sebagai tempat Museum Bahari ini dibangun di atas rawa, menggunakan teknologi bangunan di Belanda pada masa itu. Seperti kita ketahui, Belanda sangat ahli dalam mengeringkan lahan dan memanfaatkannya. Tembok dibuat dari batu bata dengan tebal dinding 1 meter, karena harus memikul seluruh beban bangunan. Untuk menopang lantai dua, digunakan balok-balok kayu jati sepanjang 4 meter. 

Perahu Borobudur

Koleksi museum yang berjumlah kurang lebih 1835 koleksi sangat terkait dengan sejarah kebaharian dan kenelayanan Indonesia, termasuk perahu tradisional dan peralatan navigasi. Sayangnya sebagian koleksi ini habis terbakar pada 16 Juni 2017. Salah satu koleksi istimewa yang tak boleh dilewatkan adalah replika dari relief yang ada di candi Borobudur, yang menggambarkan perahu bercadik dengan 2 tiang layar dan konstruksi 3 kaki. Mengingat candi Borobudur dibangun pada abad ke-8 Masehi, berarti pada masa itu bangsa Indonesia sudah dapat membuat perahu yang mampu mengarungi samudra. 

Fakta menarik lain yang diungkap saat PTD hari ini, di depan Museum Bahari pernah digunakan untuk Stasiun Kleine Boom (pabean pelabuhan), dengan jalur rel yang menghubungkan tempat ini hingga Stasiun Gambir (Koningsplein). Stasiun Kleine Boom digunakan untuk lalu lintas komoditas dagang, seperti batubara, kopi, teh, dan kina. Setelah pemerintah Hindia Belanda membangun pelabuhan baru di Tanjung Priok beserta jalur rel kereta api pendukungnya, Stasiun Kleine Boom tidak digunakan lagi.


Sunday, May 14, 2023

Amazing Race Oude Paris Van Java

Program TV Amazing Race mungkin sudah tidak asing bagi kita. Siapa yang tercepat mencapai satu titik, siapa yang tercepat menyelesaikan tantangan di masing-masing pos, dan siapa yang tercepat menyelesaikan seluruh rangkaian tantangan, untuk memperebutkan hadiah sejumlah uang. Saat ini konsep Amazing Race sudah ditiru oleh banyak acara outing – terutama outing Korporat – walaupun versinya lebih sederhana dibandingkan yang dimainkan dalam Program TV.

Seperti pada acara raker Korporat kami menjelang liburan Natal tahun 2022, program berkonsep serupa Amazing Race ini menjadi acara outing yang dilakukan di hari terakhir. Ya, hitung-hitung sekalian refreshing, karena Amazing Race-nya dilakukan dengan berkeliling Kota Bandung. Titik-titik yang dijadikan tempat persinggahan dan menyelesaikan tantangan merupakan landmark terkenal di Kota Bandung. Program kami hari ini rencananya harus mengunjungi 5 titik persinggahan. Eit, tapi di mana titik persinggahannya, sebelumnya kami harus memecahkan clue yang diberikan panitia. Clue-nya gampang-gampang susah, tapi bagi pecinta Kota Bandung, pasti bisa memecahkannya.

Kelompok "Geulis"

Kelompok kami yang terdiri dari 7 orang – kebetulan perempuan semua – kebetulan mendapat titik persinggahan pertama di Titik Nol Bandung. Clue-nya susah-susah gampang, karena harus mencari tempat di mana Gubernur Jendral Daendels konon pernah menancapkan tongkat dan berkata, “usahakan bila aku datang kembali, di tempat ini telah dibangun sebuah kota”. Padahal, titik ini termasuk titik yang ramai dilewati orang.. Daendels memang tak pernah kembali, tapi nyatanya tempat ini telah menjadi kota yang sangat popular.

Titik Nol Bandung, Jl. Asia-Afrika

Setelah berhasil memecahkan tantangan di Titik Nol Bandung, titik persinggahan berikutnya adalah Cikapundung Riverspot. Wah, mana pula itu? Jaman saya kuliah di Bandung belum ada! Ternyata, Plaza Cikapundung Riverspot adalah semacam open public space di tepi Cikapundung, tak jauh dari Titik Nol. Di sana tantangannya lompat tali pakai karet. Hadeuh... udah berapa puluh tahun ga pernah main beginian! Akhirnya setelah mencoba beberapa kali, berhasil, berhasil!

Cikapundung Riverspot

Main tali karet selesai, kami berpindah di titik persinggahan berikutnya di Monumen Bandung Lautan Api. Masuk dari pintu di Jl. Otto Iskandar Dinata (yang ditandai dengan clue “Si Jalak Harupat”), kami harus melintas Lapangan Tegallega untuk sampai ke tempat tantangan berikutnya. Ternyata… kami harus mencoba memanah dengan Panah Sumedang! Hadeuh… mana busurnya berat, dan membutuhkan tenaga serta strategi yang tepat agar panahnya bisa menancap di sasaran! Tapi seru juga… jadi kepikir abis ini mau nyoba olahraga panahan, hihihi.

Monumen Bandung Lautan Api

Tantangan panah selesai, kami berpindah ke persinggahan berikutnya di Padepokan Jugala Gugum Gumbira. Ketika tiba di tempatnya yang terletak di Jl. Kopo 15-17, tidak terlihat ada tanda-tanda yang jelas. Sempat bingung, namun setelah kami menjawab tantangan harus ngibing sambil nyanyi lagu Peuyeum Bandung, akhirnya kami diijinkan masuk ke padepokan melalui gank di antara bangunan.

Foto Abah Gugum di Padepokan Jugala

Rupanya Padepokan Jugala letaknya tersembunyi di dalam gank. Di dalam terdapat pendopo kecil, serta halaman kecil yang bisa digunakan untuk menari. Kami menyaksikan kelompok teman-teman kami yang tiba terlebih dahulu sudah melakukan latihan tari Jaipongan. Ha, seru! Tapi kami harus bersabar menunggu giliran kami.

Setelah tiba giliran kami latihan tari Jaipongan, sebelum mulai, ada Kang Aji yang menjelaskan tentang Padepokan Jugala yang didirikan almarhum Gugum Gumbira Tirasonjaya. Abah Gugum adalah pencipta tari Jaipongan, yang merupakan pengembangan dari tarian ketuk tilu, dikombinasikan dengan seni bela diri pencak silat, tari topeng banjet, dan teater Wayang Golek. Jaipongan memulai debutnya pada tahun 1974, ketika Abah Gugum beserta penari dan para pemain gamelan tampil di depan umum. Nama “Jaipongan” digunakan Abah Gugum untuk membedakan tari Jaipongan dari tari Ketuk Tilu. Nama “Jaipongan” berasal dari kata “Jaipong”, yang sebelumnya tidak ada maknanya. 

Foto Ibu Euis di Padepokan Jugala

Abah Gugum memiliki istri Euis Komariah, yang juga seniman di bidang tarik suara tradisional Sunda. Ibu Euis juga merupakan penyanyi dari Orkestra Jugala. Mereka memiliki 4 orang putri, dan hari ini kami dipimpin oleh Ibu Mira Tejaningrum, putri sulung Abah Gugum dan Ibu Euis, untuk mencoba menari Jaipongan.

Ternyata, tidak gampang sodara-sodara! Antara tangan dan kaki harus sinkron. Belum lagi harus ada efek “ngeper” dari gerakan kaki. Buat yang jarang olahraga, ternyata bikin pegal-pega juga. Bu Mira juga menjelaskan bahwa Jaipongan sebenarnya tidak ada unsur geal geol, yang ada pinggul bergerak mengikuti gerakan kaki.

Museum Kota Bandung di Tahun 2019

Dari Padepokan Jugala, seharusnya kami melanjutkan ke pos terakhir di Museum Kota Bandung. Museum ini menempati bangunan antik di Jl. Aceh, yang didirikan tahun 1920. Di museum ini ditampilkan informasi sejarah Kota Bandung, termasuk Piagam Sultan Agung, Besluit Gubernur Jendral Daendels mengenai pendirian Bandung, rencana pembangunan Negorij Bandoeng oleh Dalem RAA Wiranatakusumah II, serta berbagai informasi terkait Bandung lainnya. Sayangnya, karena waktu tidak memungkinkan, kami harus segera bergabung di Bandoengsche Melk Centrum untuk melanjutkan acara Korporat. Ketika kami kembali melewati museum tersebut (yang hanya 100 meter dari BMC), ternyata museum dalam kondisi tutup. Untung saya pernah ke museum ini di tahun 2019!

Sunday, April 30, 2023

Pos Bloc, Dari Kantor Pos Jadi Tempat Nongkrong

Mendengar nama Pos Bloc, hati ini rasanya penasaran. Apalagi bertempat di gedung bekas kantor pos, apakah masih ada hubungannya dengan urusan surat menyurat? Hal ini mendorong saya untuk mampir Pos Bloc Jakarta di daerah Pasar Baru. Selain ingin tahu seperti apa tempat yang (katanya) kekinian, saya – seperti biasa – tidak bisa melihat bangunan kuno tanpa mengetahui sejarah bangunannya.

Pos Bloc Jakarta menempati Gedung Filateli di Jalan Pos No. 2 Pasar Baru, dan mulai beroperasi sejak tanggal 10 Oktober 2021. Konsep dari tempat ini adalah tempat "nongkrong" dengan pilihan kuliner nusantara dan mancanegara, baik makan berat maupun sekadar kudapan ringan. Selain nongkrong sambil menikmati kuliner, pengunjung juga bisa cuci mata melihat barang-barang unik buatan anak negeri, atau melihat toko buku Indie yang menjual buku karya anak negeri. Saat ini Pos Bloc dikelola oleh PT Ruang Kreatif Pos. 

Gedung Filateli Pasar Baru

Berbicara mengenai Gedung Filateli, bangunan ini merupakan bagian dari rangkaian perkembangan aktivitas surat menyurat sejak jaman kolonial Hindia Belanda. Aktivitas surat menyurat modern di Nusantara sejatinya sudah dimulai sejak kehadiran bangsa Eropa di Nusantara. Dengan semakin tingginya arus pengiriman surat dan paket pos, Gubernur Jendral VOC Gustaaf W. Baron Van Imhoff mendirikan Kantor Pos (Postkantoor) pertama di Batavia pada tanggal 26 Agustus 1746. Bangunan kantor pos pertama tersebut terletak di halaman Stadhuis Batavia, dan saat ini masih berfungsi sebagai Kantor Pos Fatahillah.

Di awal abad ke-19, atas prakarsa Gubernur Jendral Herman Willem Daendels, pusat Kota Batavia dipindahkan dari Kawasan Kota Tua ke Weltevreden. Untuk itu dibangun gedung-gedung baru, termasuk yang diperuntukkan bagi kantor pos. Pada tahun 1835 pusat kegiatan kantor pos dipindahkan ke Waterlooplein, di lantai dasar Istana Daendels (sekarang menjadi Gedung AA Maramis, Departemen Keuangan RI). Baru pada tahun 1860-an pusat kegiatan kantor pos dipindahkan ke bangunan di Posweg (Jalan Raya Pos) di tempat yang sekarang menjadi Gedung Filateli, di antara Schooburg (sekarang Gedung Kesenian Jakarta) dan Kleine Klooster (biara Ursulin, sekarang sekolah Santa Ursula). Penempatan Kantor Pos di Posweg didasarkan atas lokasi yang strategis karena terhubung dengan Jalan Raya Pos (De Groote Postweg) dan dekat dengan pusat kota Weltevreden sebagai Nieuw Batavia.

Tahun 1912, gedung ini sempat dipugar ulang oleh arsitek Belanda J.F Von Hoytema. Pemugaran berlangsung selama 17 tahun, dan baru selesai pada tahun 1929. Hasil pemugaran ini adalah gedung bergaya arsitektur Eropa yang kental dengan gaya Art Deco, dan merupakan Kantor Pos terbesar di Hindia Belanda. 

Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, bekas pemerintahan pendudukan Jepang bermaksud menyerahkan Jawatan Pos Telegraf Telepon kepada Sekutu. Namun Angkatan Muda Pos Telegraf Telepon (AMPTT) berupaya mendekati Jepang agar menyerahkan kekuasaan Kantor PTT kepada Republik Indonesia. Karena perundingan gagal dilakukan, maka pada 27 September 1945 AMPTT melakukan perebutan Kantor PTT di Bandung dari tangan Jepang. Tanggal ini yang dikenal sebagai Hari Bakti Pos.

Prasasti Peringatan 27 September 1969

Apa hubungan peristiwa ini dengan Gedung Filateli? Di dalam Gedung Filateli terdapat prasasti peringatan pegawai PTT yang gugur akibat peristiwa di PD II. Peristiwa berdarah di bangunan Pos Bloc saat itu menelan korban jiwa 4 orang petugas Pos, antara lain Imang, Paimin, Sarmada, dan M. Soetojo. Nama-namanya diabadikan dalam sebuah prasasti peringatan yang sekarang ada di dalam bangunan Pos Bloc. Prasasti tersebut tertanggal 27 September 1969, bersamaan dengan peringatan 24 tahun Hari Bakti Pos. Tidak begitu jelas apakah keempat petugas Pos ini termasuk di antara mereka yang gugur dalam perebutan Kantor PTT di Bandung, atau ada peristiwa lainnya.

Pada awal kemerdekaan, Gedung Filateli difungsikan sebagai pelayanan pos, telepon, dan telegram. Dengan berdirinya perkantoran baru berupa Gedung Pos Ibukota (GPI) mejadikan Gedung Kantor Pos Lama Pasar Baru difungsikan sebagai pelayanan filateli dan Kantor Cabang Persatuan Filateli Indonesia di Jakarta. Tahun 1999, Gedung Filateli didaftarkan sebagai bangunan cagar budaya, sehingga menjadi bangunan tua yang terlindungi dan terselamatkan dari penggusuran bangunan kuno. Namun seiring dengan menurunnya aktivitas pos, belum ada ide untuk memanfaatkan gedung tersebut menjadi tempat yang lebih “hidup”.

Tahun 2020-2021, muncul gagasan untuk menjadikan bangunan-bangunan heritage Kantor Pos menjadi ruang public. Gagasan ini terwujud pada tahun 2021, dengan berdirinya Pos Bloc. Nama “Pos” berasal dari fungsi gedung ini sebagai kantor pos, sedangkan “Bloc” merupakan kata Bahasa Inggris yang bermakna blok, dan dimaknai sebagai pusat kegiatan atau berjejaring.

Dan ketika saya mampir di Pos Bloc di saat jam makan siang pada hari kerja, suasana memang tidak terlalu ramai. Namun fungsi tempat ini untuk berjejaring, rasanya sudah berhasil dilakukan. Terdapat banyak tempat makan dan kudapan ringan, yang bisa menjadi meeting point untuk sekadar nongkrong atau berdiskusi. Membayangkan jika saya hadir di akhir pekan atau jika ada event, mungkin tempat ini bisa menjadi sangat penuh.

Kaca Patri, Tribun, dan Brievenbus

Dari tampak luar, sudah terlihat gaya bangunan Art Deco khas awal abad 20. Untuk mengingatkan bahwa tempat ini merupakan kantor pos, di sisi kanan bangunan masih terdapat Brievenbus, atau kotak pos dari masa Hindia Belanda. Masuk ke dalam bangunan Pos Bloc, kita disambut tribun yang biasa digunakan untuk duduk-duduk, atau menonton pertunjukan. Di sisi kiri dan kanan terdapat toko-toko souvenir untuk sekadar cuci mata. Bagian bawah bangunan dilengkapi dengan lantai marmer, seperti aslinya bangunan. Jika kita menghadap ke arah pintu masuk, terdapat kaca patri berwarna warni yang anggun menghiasi gedung.

Ruang Tengah dan Belakang

Saya mencoba menjelajah lebih dalam, sambil melihat-lihat ada makanan apa yang disajikan di gedung ini. Di ruang tengah yang saat ini menjadi pusat kegiatan di Pos Bloc, saya membayangkan dulu tempat ini penuh dengan petugas pos yang sibuk menyortir surat dan paket. Tempat ini juga dilengkapi meja dan kursi, untuk mereka yang sekadar duduk-duduk sambil menikmati kudapan ringan. Di bagian belakang bangunan, ada ruangan yang masih kosong, berhias rangka penunjang atap yang terbuat dari baja. Melihat ruangan masih kosong, gatal rasanya pengen menari keliling ruangan…

PO Box, Bis Surat dan Kantor Pos

Saya masuk ke sayap kiri dan kanan dari bangunan. Di sisi barat, selain terdapat toko buku dan penjual makanan, terdapat kotak pos tempoe doeloe dari jaman Republik, serta laci-laci yang merupakan alamat untuk PO Box. Sedangkan di sisi kiri, selain terdapat penjual makanan, kita juga bisa menemukan Kantor Pos kecil. Yaaa… namanya juga Pos Bloc, tetep harus ada kantor posnya kan?