Thursday, June 4, 2015

Bersama Penyu di Pulau Serangan

"Sendiri aja, Mbak?" Ini pertanyaan klasik yang sering dilontarkan orang-orang ketika melihat saya solo traveling. Tapi bagi saya, solo traveling berarti kita bisa memilih pergi ke tempat yang benar-benar kita inginkan, tanpa "membebani" teman perjalanan kita. Solo traveling juga memungkinkan kita memakaimalkan interaksi dengan lingkungan yang kita sambangi. Akan lebih baik lagi jika interaksi kita dapat memberikan manfaat baik bagi kita maupun lingkungan yang kita kunjungi. Seperti yang saya lakukan hari ini di Bali.

Di solo traveling kali ini saya memilih untuk datang ke Turtle Conservation and Education Center di Pulau Serangan. Karena tidak ada kendaraan umum yang lewat di depan tempat tersebut, saya menyewa mobil untuk mencapai tempat ini. Eh, tunggu dulu, ke Pulau Serangan naik mobil? Ya, Pulau Serangan semula terpisah dari Pulau Bali, dan hanya bisa dicapai dengan perahu dari Tanjung Benoa. Pada dekade 1990-an, pulau ini direklamasi oleh sekelompok investor dengan tujuan untuk dijadikan resort, sehingga pulau ini kemudian “menyatu” dengan Bali. Akibat pergantian rezim di tahun 1998, berakhir pula proses pembangunan resort, membuat pulau ini sempat terbengkalai. Saat ini Pulau Serangan kembali dikembangkan untuk olahraga air, seperti kayak, main perahu, atau paralayang.

Selamat Datang di Pusat Konservasi Penyu
Penangkaran Penyu di Pulau Serangan telah didirikan sejak tahun 2004. Semula tempat ini didanai oleh WWF, namun karena dinilai sudah bisa mandiri, maka pengelolaan tempat ini diserahkan pada Desa Pakraman Serangan. Pertama kali saya dibawa oleh Made Ki, salah satu petugas di kawasan konservasi, untuk melihat kandang tetas telur penyu. Menurut Made Ki, telur penyu yang ditetaskan di tempat ini berasal dari beberapa tempat, di antaranya Pulau Serangan, Pantai Jumpai (Klungkung), Pantai Intercon (Jimbaran), Pantai Saba (Gianyar), dan Padang Bai (Karangasem). Telur-telur ini dibawa oleh para nelayan yang telah mendapat pengarahan agar menyelamatkan telur penyu dari sarang untuk dibawa ke pusat konservasi.

Kandang Tetas
Para petugas konservasi, termasuk Made Ki, umumnya dapat membedakan telur penyu berdasarkan bentuknya. Jika bentuknya kecil seperti bola pingpong adalah telur penyu lekang, sedangkan jika bentuknya agak besar adalah telur penyu hijau. Saya beruntung bisa melihat salah satu telur yang baru saja menetas. Biasanya tukik (bayi penyu) yang baru lahir kemudian diletakkan di atas tumpukan pasir selama 1 hari, menunggu ari-ari mereka kering. Setelah ari-ari mereka kering, tukik baru dilepas di kolam penangkaran dan diberi makan sisa tulang ikan dan rumput laut. Saat tukik berusia 1 bulan, mereka akan dilepas kembali ke laut.

Para Tukik Yang Ditangkarkan
Di deretan kolam penangkaran, Made Ki menunjukkan beberapa kolam yang diisolasi. Di dalam kolam ini terlihat beberapa penyu yang bagian tempurung belakangnya tidak sempurna. Menurut Made Ki, penyu-penyu ini tidak cacat dari lahir. Bagiam tempurungnya tidak sempurna akibat perebutan makanan dengan teman-temannya, sehingga beberapa ekor penyu yang lebih kuat akan mengkanibal temannya sendiri. Duh, saya seperti disadarkan, walaupun kita berupaya untuk menjaga kelestarian penyu-penyu ini, namun sampai kapan pun manusia tidak akan bisa menghentikan hukum alam…

Pusat Konservasi Penyu juga memiliki beberapa ekor penyu dewasa, yang sengaja mereka pelihara untuk menunjukkan bentuk penyu ketika dewasa kepada pengunjung. Di dalam kolam yang dibentuk seperti penyu, Made Ki menunjukkan terdapat 3 spesies penyu yang ditangkarkan di konservasi ini, yaitu penyu hijau, penyu sisik, dan penyu lekang. Orang awam seperti saya agak sulit membedakan setiap spesies penyu, apalagi mereka memiliki ukuran dan penampilan yang serupa satu sama lain, ditambah mereka terus menerus bergerak di dalam kolam. Penyu-penyu ini berusia rata-rata 10 tahun, dan akan dilepas ke alam saat mereka mencapai usia reproduksi. Menurut Made Ki, proses reproduksi penyu memakan waktu berhari-hari, dan kondisi ini tidak bisa direkayasa di tempat penangkaran.

Dua Ekor Penyu Dewasa
Made Ki menawarkan kepada saya barangkali saya mau berpartisipasi dalam program adopsi tukik. Berbeda dengan adopsi anjing atau kucing di mana kita bisa membawa mereka pulang ke rumah, program adopsi tukik tidak demikian. Dengan membayar Rp 50.000, kita "mengganti" biaya perawatan, kemudian membawa tukik tersebut ke Pantai Penyu untuk dilepas ke lautan. Karena tidak tega kalau hanya melepas satu tukik ke pantai untuk dilepas, saya tetap memberikan donasi, namun saya tidak bermaksud melepas tukik tersebut ke pantai. Bagi saya, sekecil apa pun donasi yang saya berikan, mudah-mudahan dapat berarti bagi kelestarian para penyu.

Selain Pusat Konservasi Penyu, Bali juga memiliki banyak tempat-tempat menarik lainnya yang bisa dikunjungi dan dinikmati dengan solo traveling. Ada pantai-pantai cantik yang masing-masing memiliki keunikan, mulai dari Pantai Sanur dengan panorama sunrisenya sampai Pantai Kuta dengan segala hingar bingarnya menjelang sunset. Ada museum-museum dan bangunan-bangunan unik yang menanti untuk dikunjungi dan dieksplorasi, mulai dari Museum Subak, Museum Antonio Blanco, Bale Gili Kerthagosa, Tirta Gangga, dan Taman Ujung Sukasada. Masih belum puas solo travelingnya? Kunjungi juga berbagai desa wisata di Bali, seperti Desa Tenganan, Desa Belimbing, dan desa-desa wisata lainnya.


Tulisan ini diikutkan dalam lomba “Travelio #YourTripYourPrice Solo Traveling Blog Competition” yang di-host oleh wiranurmansyah.com dan disponsori oleh Travelio.com. Tulisan sudah diedit kembali sebagai referensi materi training Travel Writing online.

1 comment:

Unknown said...

http://www.wisataterpopuler.com/