Tuesday, May 6, 2025

Mencari Kesejukan Hati di Candi Cangkuang

 Adem. Itu kata yang pertama terlintas saat saya keluar dari mobil dan menghirup udara segar di Desa Cangkuang. Sengaja saya tidak pakai kata “tiis” atau “tiris”, karena yang adem bukan hanya cuaca, tapi hati ini rasanya pun ikut adem tentrem. Bisa jadi karena suasana yang menyejukkan hati di tepi Situ Cangkuang sangat kontras dengan Situ Bagendit yang kami kunjungi sebelumnya, yang sangat panas dan hingar bingar. Tidak heran, karena Situ Cangkuang dikelilingi oleh empat gunung besar di Kabupaten Garut, meliputi Gunung Haruman, Gunung Kaledong, Gunung Mandalawangi, dan Gunung Guntur. 

Gunung Haruman dilihat dari dermaga Pulau Panjang

Sebagai penggemar candi, sudah lama saya ingin ke Candi Cangkuang. Candi Cangkuang terletak di Kampung Pulo, Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. Candi ini merupakan candi yang pertama kali ditemukan di Jawa Barat, sekaligus satu-satunya candi Hindu yang bertahan di Tatar Sunda.  Candi ini ditemukan kembali pada tahun 1966 oleh Harsoyo dan Uka Tjandrasasmita, dengan mengacu pada laporan penemuan sebelumnya oleh Vorderman dalam buku Notulen Bataviaasch Genotschap terbitan tahun 1893. 

Candi Cangkuang dan makam
Dalem Arief Muhammad

Candi inilah juga yang pertama kali ditemukan di Tatar Sunda serta merupakan satu-satunya candi Hindu yang bertahan di Tatar Sunda (sampai saat ini). Berdasarkan tingkat kelapukan batuan dan kesederhanaan bentuk candi (karena tidak ditemukan relief di badan candi), maka para ahli menduga Candi Cangkuang didirikan pada abad ke-8. Dengan dugaan ini, maka bisa jadi candi ini menjadi salah satu petunjuk mengisi kekosongan informasi sejarah antara Purnawarman dan Pajajaran.

Nama Candi Cangkuang diambil dari nama desa tempat candi ini berada. Kata 'Cangkuang' berasal dari nama tanaman sejenis pandan (Pandanus furcatus), yang banyak terdapat di sekitar candi. Tanaman ini memiliki banyak manfaat. Daunnya bisa untuk membuat tudung, membuat tikar, pembungkus gula aren, pembungkus ketupat, dan obat-obatan. Tunasnya bisa digunakan untuk obat batuk. Buahnya juga bisa digunakan untuk obat .

Pohon Cangkuang (Pandanus furcatus)

Keunikan situs Candi Cangkuang adalah keberadaan makam kuno di sebelah candi. Makam tersebut adalah makam Mbah Dalem Arief Muhammad, yang dianggap sebagai leluhur penduduk Kampung Pulo. Konon Arief Muhammad adalah salah satu Senopati dari Mataram yang menyerang Batavia. Karena kalah melawan VOC, Arief Muhammad tidak berani pulang ke Mataram, dan bermukim di Cangkuang. Arief Muhammad memiliki 6 anak perempuan dan 1 anak laki-laki, yang menjadi cikal bakal Desa Adat Kampung Pulo. 

Hari ini saya bersama teman-teman yang mengikuti program Wisata Kreatif Jakarta mengunjungi Cagar Budaya Cangkuang, ditemani Kang Gungun, pemandu wisata yang kebetulan merupakan warga local di Desa Cangkuang. Karena cagar budaya Cangkuang terletak di Kampung Pulo yang terletak di sebuah pulau di tengah Situ Cangkuang (dalam bahasa Sunda, “situ” berarti danau), kami harus menyeberang dengan menggunakan rakit bambu. Rakit-rakit tersebut memiliki kapasitas antara 15-20 orang. Karena terbuat dari bambu, rakit ini hanya memiliki daya tahan maksimal 2 tahun. Menurut Kang Gungun, biaya pembuatan 1 rakit bisa mencapai 8-9 juta.

Desa Adat Kampung Pulo

Saat mendarat di Kampung Pulo, dari dermaga kita bisa melihat Gunung Haruman dengan jelas, seolah menaungi kesejukan di Situ Cangkuang. Untuk menuju candi, Kang Gungun mengajak kami melintasi pasar seni menuju pemukiman adat Kampung Pulo. Di Desa Adat Kampung Pulo terdapat 6 rumah tradisional berbentuk rumah panggung yang dihuni keturunan anak-anak perempuan Arief Muhammad dari garis perempuan, serta 1 masjid yang melambangkan anak laki-laki dari Arief Muhammad. Saat ini penghuni Desa Adat Kampung Pulo merupakan generasi ke 8 hingga 10. 

Dari Desa Adat, Kang Gungun mengantar kami menuju bangunan candi. Terlihat bangunan candi tunggal dengan langgam arsitektur Hindu, dengan sebuah makam kuno di sebelahnya. Inilah Candi Cangkuang dan Makam Mbah Dalem Arief Muhammad. Selain terkagum melihat bangunan candi dan Lokasi yang sangat asri penuh pepohonan, ada satu hal yang paling berkesan bagi kami: suasananya sangat sejuk dan damai. Rasanya tak ingin pergi dari tempat ini…

Candi Cangkuang tampak depan

Candi yang kami saksikan sekarang merupakan hasil pemugaran tahun 1974. Rekonstruksi dilakukan dengan menyusun kembali batu-batu candi yang ditemukan di sekitar candi. Karena hanya sekitar 40% batu candi asli yang dapat ditemukan kembali, selebihnya pemugaran dilakukan dengan adukan semen, batu koral, pasir dan besi. Di dalam bilik candi terdapat arca Siwa yang kondisinya sudah tidak utuh, dengan wajah yang datar, dengan bagian tangan hingga kedua pergelangannya telah hilang.

Di depan candi dan makam, terdapat rumah joglo yang berfungsi sebagai museum, yang dibangun pada 1976. Koleksi museum merupakan benda-benda bersejarah terkait Candi Cangkuang dan Mbah Dalem Arief Muhammad. Di halaman depan museum kita juga bisa melihat pohon Cangkuang, jenis tanaman pandan yang menjadi asal usul nama Desa Cangkuang.

Dengan hawa yang sejuk, saya bisa membayangkan duduk di salah satu warung, sambil menikmati teh tawar hangat dan kudapan burayot. Burayot merupakan makanan asli Cangkuang, yang awalnya dibuat sebagai makanan untuk menyambut tamu dalam acara adat, atau jika ada perayaan keluarga. Nama "burayot" berasal dari bahasa Sunda yang berarti "menggantung" atau "terjuntai," sesuai dengan bentuknya yang lonjong dan menyerupai tetesan air yang menggantung. 

Burayot

Bahan baku burayot adalah tepung beras dan gula merah yang dikocek di atas api. Setelah adonan matang, adonan dibuat bulat-bulat, kemudian digoreng sebentar dalam minyak panas dan dicutik, kemudian digantung untuk membuat bentuk tetesan air. Tekstur burayot di bagian atas krispi, dengan rasa manis terkumpul di bagian bawah. Namun burayot sebaiknya dimakan panas-panas, takutnya ketika dingin keburu jadi rayut…

No comments: