Friday, April 26, 2019

Mengenang "Kejayaan" Ampiun di Nusantara

Alm. Bapak pernah bercerita bahwa waktu beliau kecil dan tinggal di sekitar Cikini, ada simpangan rel dari stasiun Cikini menuju gang Ampiun. Tapi saya tak pernah melihat bukti keberadaan rel tersebut, dan saya baru faham rel apa yang beliau maksud, setelah ikut Pelesiran Tempo Doeloe (PTD) yang digagas Bang Adep di Kampus Salemba UI pada tanggal 31 Maret 2019 yang lalu.

Yang manakah saya?
(sumber foto FB Indah Fidia Kalim)
Siapa yang mengira bahwa perdagangan candu di Indonesia ternyata cukup berpengaruh pada masa kolonial Belanda, dan salah satu bekas pabriknya berada tak jauh dari kita? Opium, apiun, atau candu adalah getah bahan baku narkoba yang diperoleh dari bunga Papaver somniferum atau P. Paoniflorum (bunga poppy) yang belum matang. Tanaman opium berasal dari kawasan pegunungan Eropa Tenggara, dan dibudidayakan di pegunungan kawasan subtropis. Di Asia, tanaman opium banyak dibudidayakan di Afganistan dan "segitiga emas" Myanmar-Thailand-Laos.

Kampus Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi & Bisnis UI
yang menempati bangunan bekas pabrik opium
Orang Jawa mengenal candu sejak VOC memonopoli perdagangan candu di Nusantara, melalui perantara kaum elit Tionghoa di Jawa. Kebijakan ini tidak mengherankan, karena sampai hari ini negara Belanda masih melegalkan narkoba di lokasi tertentu dengan dosis tertentu. Bunga poppy sebagai bahan dasar candu tidak tumbuh di Jawa, sehingga diduga candu didatangkan dari Turki atau Persia. Penikmat candu meluas khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, terutama di Kediri. Para penikmat candu mulai dari kaum bangsawan Jawa dan para elite Tionghoa, para seniman, kuli-kuli, dan para serdadu. Selain sebagai gaya hidup, candu juga digunakan untuk menikmati sensasi khayali dan mengurangi pegal-pegal di badan. Di Banten dan Preanger, jumlah pecandu tidak banyak, karena mayoritas masyarakatnya pemeluk agama Islam yang relijius.

Laboratorium Farmakokinetik Departemen Farmakologi dan Terapeutik
Fakultas Kedokteran UI yang menempati bangunan bekas pabrik opium
Sejak muncul gerakan Politik Etis di Belanda yang dipelopori C.T. van Deventer di tahun 1899, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan untuk perbaikan kesejahteraan pribumi, termasuk pengaturan peredaran candu. Pemerintah kolonial Belanda membentuk lembaga Regie Candu yang mengendalikan peredaran candu. Selain itu semua urusan opium dipusatkan di Batavia, demikian juga pabrik opium yang semula tersebar di daerah kini dipusatkan di Batavia.

Suasana Pabrik Opium
Semula pabrik opium dibangun pada tahun 1894 di daerah Paseban dan di Meester Cornelis. Namun melonjaknya permintaan membuat kedua pabrik ini tak mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk memenuhi permintaan opium yang semakin meningkat, pada tahun 1901 pemerintah kolonial Belanda membangun pabrik opium modern di jalan raya yang menghubungkan Batavia Centrum dengan Meester Cornelis, dengan kapasitas pengolahan bahan baku 100 ton candu mentah menjadi 70 ton candu hisap. Di tahun 1914, dengan jumlah tenaga kerja menjadi 1000 orang, kapasitas produksi pabrik ini meningkat menjadi 100 ton candu hisap. Pabrik ini dilengkapi dengan jalur kereta api untuk mengangkut bahan baku opium mentah yang diimpor dari Benggala, India, serta mengangkut produk opium hisap untuk didistribusikan ke seluruh kepulauan Nusantara. Pabrik candu ini berhenti beroperasi di masa pendudukan Jepang, karena larangan perdagangan dan penggunaan opium. Pemerintah kolonial Jepang beranggapan opium dapat melemahkan rakyat Indonesia yang diharapkan dapat membantu Jepang memenangkan Perang Asia Timur Raya.

Kemungkinan bekas jalur rel dari pabrik opium
ke Stasiun Salemba
Di masa kini, Bang Adep dan pak Rushdy Hoesin membawa rombongan PTD ke bangunan bekas pabrik opium yang sudah menjadi bagian dari Kampus Universitas Indonesia, yang lebih dikenal sebagai Kampus Salemba 4. Sebagian besar bangunan digunakan untuk ruang kelas program pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI. Di masa lalu, bangunan pabrik terdiri dari 4 baris bangunan. Yang masih terlihat hari ini adalah bangunan dengan langit-langit tinggi khas pabrik.

Bekas Stasiun Salemba

Sambil mengisahkan masa lalu pabrik opium dan sejarah berdirinya Universitas Indonesia, pak Rushdy membawa kami berkeliling Kampus Salemba 4. Salah satu tempat yang ditunjukkan adalah lokasi dekat bangunan program Magister Manajemen (MMUI) yang kemungkinan merupakan bekas jalur rel dari pabrik opium menuju Stasiun Salemba. Membicarakan pabrik candu di Kampus Salemba 4 memang tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan jalur kereta api dan Stasiun Salemba yang digunakan untuk mengangkut bahan baku dan produk opium.

Bekas pintu stasiun di dalam rumah Ibu Aliansyah
Setelah berkeliling Kampus Salemba 4, rombongan PTD kemudian menelusuri Jl. Kenari II, menuju (bekas) Stasiun Salemba. Stasiun Salemba semula merupakan stasiun sentral yang memiliki banyak cabang, namun ketika dilakukan pemindahan stasiun sentral ke Stasiun Manggarai pada tahun 1922, banyak jalur yang ditutup, menyisakan jalur Stasiun Salemba-Halte Pegangsaan yang merupakan jalur pengangkut opium. Penutupan pabrik opium di tahun 1950-an membuat jalur kereta api Stasiun Salemba ke Halte Pegangsaan tidak difungsikan lagi, dan Stasiun Salemba resmi ditutup di tahun 1981. Saat ini kita sudah tidak bisa melihat Halte Pegangsaan lagi, karena sudah digantikan dengan Stasiun Cikini. 

Jembatan Kenari
(sumber foto FB Bang Adep)
Bangunan bekas Stasiun Salemba terletak di depan sebuah mushalla, tak jauh dari Museum M. Husni Thamrin, dan sudah dibagi menjadi 4 rumah tinggal pensiunan pegawai PJKA. Kami beruntung karena Ibu Aliansyah, penghuni salah satu rumah bekas stasiun Salemba, mengijinkan untuk melihat bagian dalam rumah. Di ruang makan rumah yang mungil tersebut terlihat pintu yang jaman dulunya menuju ruang kantor. Hal menarik lainnya, lantai rumah Ibu Aliansyah masih menggunakan lantai peron orisinil, dan konon katanya sulit dibersihkan dengan pel biasa. 

Pasar Cikini Ampiun
Dari Stasiun Salemba, kami menelusuri (bekas) jalur rel antara Stasiun Salemba-Halte Pegangsaan dengan mengikuti jalan setapak dari rumah Ibu Aliansyah ke arah Gang Cikini Ampiun. Nama “Ampiun” sendiri berasal dari kata “Amfioen”, kata bahasa Belanda kuno untuk opium, komoditas yang diangkut melalui jalur tersebut. Jalur rel tersebut melintas di atas Kali Ciliwung, di atas jembatan yang dikenal sebagai Jembatan Kenari. Jalur rel tersebut berakhir di tempat yang kita kenal sebagai Pasar Cikini Ampiun.

1 comment:

Vivi Silvia C. said...

Wah ada Masku di situ, Mas Ferdi... hmmmm....