Apa yang pertama kali terlintas ketika mendengar kata “Ambarawa”? Biasanya kita langsung teringat Museum Kereta Api. Sejarah perkeretaapian di Ambarawa tak lepas dari keberadaan Ambarawa sebagai kota militer di masa kolonial Belanda, yang menyokong kota garnizun Magelang untuk mengontrol area Vorstenlanden. (kawasan Solo-Yogyakarta).
![]() |
Monumen Palagan Ambarawa |
Pemilihan Ambarawa sebagai kota militer berawal sejak masa Perang Diponegoro, ketika Colonel Hoorn mendapat instruksi untuk membangun titik suplai logistik dan barak militer di sekitar Bawen, untuk memberikan bantuan logistik dan tentara dalam peperangan. Bawen dipilih karena berada di persimpangan antara Semarang, Yogyakarta, Salatiga, dan Surakarta. Di tahun 1840, Ambarawa sudah menjadi kota militer yang strategis, yang berfungsi sebagai choke point antara Semarang dan Surakarta, dalam rangka menjaga hubungan dengan Kesultanan di Surakarta dan Yogyakarta, serta mencegah pergerakan tentara keraton. Setelah Benteng Willem I rampung pada tahun 1848 di Ambarawa, Raja Willem I memerintahkan untuk membangun jaringan kereta api untuk mobilisasi tentara. Jalur kereta yang dibangun menghubungkan Ambarawa ke Semarang dan Ambarawa ke Vorstenlanden.
Lokomotif dan gerbong (antik) di Monumen Palagan Ambarawa |
Di masa mempertahankan kemerdekaan, terjadi peristiwa Palagan Ambarawa di tahun 1945, yang merupakan salah satu tonggak sejarah perjuangan bangsa. Palagan Ambarawa adalah peristiwa perlawanan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan badan perjuangan terhadap Tentara Sekutu yang terjadi di Ambarawa pada tanggal 20 Oktober–15 Desember 1945, dengan puncak pertempuran terjadi pada 12-15 Desember 1945.
Berawal pada 19 Oktober 1945, pasukan Sekutu di bawah komando Letnan Kolonel Edwardes mendarat di Semarang untuk melucuti senjata pasukan Jepang dan membebaskan tawanan perang yang masih ditahan di kamp di Jawa Tengah. Ketika pasukan Sekutu dan NICA mulai membebaskan dan mempersenjatai tawanan perang Belanda yang dibebaskan di Ambarawa dan Magelang, banyak penduduk yang marah. Hubungan semakin memburuk ketika Sekutu mulai melucuti senjata anggota TKR.
Pada 21 November 1945, Resimen Kedu Tengah 1 di bawah komando Letkol M. Sarbini mulai mengepung pasukan Sekutu di Magelang sebagai balasan atas upaya pelucutan senjata TKR. Setelah ada campur tangan Soekarno, Sekutu diam-diam meninggalkan Magelang menuju benteng mereka di Ambarawa. Resimen Sarbini mengikuti Sekutu dalam pengejaran, dan kemudian bergabung dengan pasukan Indonesia lainnya dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta. Pasukan Sekutu terhenti di Desa Jambu karena dihadang pasukan Angkatan Muda di bawah pimpinan Oni Sastrodihardjo, dan Pasukan Sekutu berhasil diusir dari Desa Jambu. Di Desa Ngipik, pasukan Sekutu kembali dicegat Batalion 1 Soerjosoempeno, dan dipaksa mundur lagi oleh TKR.
23 November 1945, ketika matahari mulai terbit, pasukan Indonesia mulai menembaki pasukan Sekutu di Ambarawa. Pasukan Sekutu bertahan di kompleks gereja dan kerkhof Belanda di Jl. Margo Agoeng. Indonesia terdiri dari Yon. Imam Adrongi, Yon. Soeharto, dan Yon. Soegeng. Tentara Sekutu mengerahkan tawanan Jepang dengan diperkuat tank-nya, menyusup ke tempat kedudukan Indonesia dari arah belakang. Serangan balik dari Sekutu memaksa TKR mundur ke Desa Bedono.
Untuk memperkuat komando pertempuran Divisi 5, Kolonel Soedirman sebagai Panglima Divisi 5 Banyumas mengirimkan Letkol Isdiman . Pasukan Indonesia di bawah komando Letkol Isdiman mencoba membebaskan desa yang dikuasai Sekutu, tetapi pada 26 November 1945, Isdiman tewas dalam pertempuran tersebut sebelum bala bantuan tiba. Oleh karena itu Kolonel Soedirman turun ke medan pertempuran untuk memimpin sendiri. Pertempuran masih terus berlanjut. Tanggal 5 Desember 1945, Benteng Banyubiru jatuh ke tangan TKR. Tanggal 9 Desember 1945, lapangan terbang Kalibanteng jatuh ke tangan TKR, hingga bantuan logistik Sekutu untuk Ambarawa terputus sama sekali.
![]() |
Peta Pertempuran Palagan Ambarawa dan Supit Urang |
Mengingat pertempuran yang berlarut-larut, serta persenjataan di pihak Indonesia yang terbatas, pada 11 Desember 1945 Kolonel Soedirman mengadakan pertemuan untuk merundingkan strategi mengusir Sekutu secepatnya dari Ambarawa, mengingat Ambarawa merupakan kunci untuk menguasai seluruh Jawa Tengah dan Yogyakarta. Siasat yang disepakati adalah penyerangan mendadak di tiap sektor dengan taktik Mangkara Yudha atau Supit Urang, komando penyerangan dipegang sektor TKR, badan perjuangan sebagai barisan belakang, dan serangan akan dimulai besok pagi jam 04.30 tepat.
Tanggal 12 Desember 1945 pukul 04.30, pasukan Indonesia memulai serangan serentak dari segala jurusan. Ketika jalan raya Semarang-Ambarawa direbut oleh pasukan Indonesia, Soedirman memerintahkan pasukannya untuk memotong jalur logistik pasukan Sekutu yang tersisa dengan taktik Supit Urang. Taktik “Supit Urang” dilakukan dengan pendobrakan oleh pasukan pemukul dari arah selatan dan barat menuju timur (arah Semarang). Tujuannya agar musuh benar-benar dalam kondisi terkurung dan komunikasi dengan pusat terputus. Bala bantuan terus berdatangan dari Yogyakarta, Surakarta, Salatiga, Purwokerto, Magelang, Semarang dll. Tanggal 15 Desember 1945 Benteng Willem I sebagai pusat pertahanan terakhir Sekutu di Ambarawa jatuh ke tangan TKR. Sisa logistik dan senjata mereka tidak dibawa mundur ke Semarang. Pasukan Sekutu mundur ke Semarang, dan Ambarawa dikuasai oleh pasukan TKR. Dapat dikatakan peristiwa ini merupakan serangan Indonesia yang paling sukses selama masa Revolusi Nasional.
Peristiwa Palagan Ambarawa diabadikan di 3 situs, yaitu Museum Dharma Wiratama Yogyakarta, Museum Sasmitaloka Panglima Besar Soedirman Yogyakarta, dan Monumen Palagan Ambarawa serta Museum Isdiman di Ambarawa. Kita bisa melihat memorabilia berupa peta pertempuran, senjata, serta penjelasan jalannya pertempuran dan taktik Supit Urang yang digunakan pada peristiwa tersebut.
Koleksi terlengkap ada di Monumen Palagan Ambarawa, yang diresmikan pada 15 Desember 1974 oleh Presiden Soeharto. Pada relief monumen kita bisa melihat gambaran singkat sejarah pertempuran tersebut. Di halaman kompleks monumen terdapat Lokomotif B2501 beserta gerbong kayu yang digunakan untuk membawa pasukan saat Palagan Ambarawa. Selain itu terdapat truk Dodge, tank kuno, dan beberapa meriam.
![]() |
Replika P-51 Mustang di Kompleks Monumen Palagan Ambarawa |
Yang paling menarik bagi saya, di monumen ini terdapat pesawat P-51 Mustang bercat bendera Belanda, sebagai replika pesawat Mustang milik Belanda yang berhasil ditembak dan jatuh ke Rawa Pening. Dalam keterangannya, tertulis bahwa pesawat itu dikenal sebagai “Si Cocor Merah”. Setahu saya, julukan “Cocor Merah” berasal dari nose art berbentuk mulut ikan hiu berwarna merah, yang ada di seluruh monumen P-51 Mustang milik TNI AU. Tapi yang ini kok beda ya… setelah saya amati lagi, saya baru menyadari kalau P-51 Mustang yang ada di Ambarawa tidak memiliki nose art berbentuk mulut ikan hiu. Adanya adalah warna baut pengunci propeller di depan baling-baling yang berwarna merah. Barangkali lebih cocok kalau pesawat Belanda ini kita namakan si “Cingur Merah” ya…