Wednesday, February 14, 2024

Masjid Cut Mutiah, Biro Yang Menjadi Rumah Ibadah

 Bagi mereka yang sering melintasi kawasan Cikini dan Gondangdia, Masjid Cut Mutiah yang beralamat di Jl. Cut Mutiah Nomor 1 ini bukan merupakan tempat yang asing. Bangunan dua lantai ini semua merupakan kantor biro arsitek dan pengembang N.V. De Bouwploeg, di bawah pimpinan Pieter Adriaan Jacobus Moojen. Moojen sendiri yang merancang bangunan berbentuk kubus yang dibangun pada tahun 1922. Nama De Bouwploeg memiliki arti harfiah “Kelompok Membangun”.

Tampak Luar Mesjid Cut Mutiah

N.V. De Bouwploeg merupakan pengembang wilayah Menteng yang dibangun sejak tahun 1912. Di era Tanam Paksa, hampir semua Perusahaan yang beroperasi di sektor pertanian dan Perkebunan di Hindia Belanda membutuhkan kantor pusat yang berlokasi di dekat Batavia (saat itu batas kota Batavia baru sampai sekitar Kebon Sirih). Sebelum berkantor di kawasan Menteng, N.V. De Bouwploeg berkantor di kawasan Kota Tua, kurang lebih di Gedung BNI yang dekat Stasiun Kota. 

Setelah N.V. De Bouwploeg dinyatakan bangkrut pada tahun 1925, bangunan ini pernah memiliki berbagai fungsi, mulai dari Proviciale Waterstaat, kantor pos pembantu, pada Perang Dunia II digunakan oleh Kempetai Angkatan Laut Jepang (1942-1945), Kantor Jawatan Kereta Api hingga tahun 1957, Dinas Perumahan Rakyat (1957-1964), Gedung Perusahaan Air Minum, Sekretariat DPR-GR dan MPRS, dan Kantor Urusan Agama (1964-1970). Walaupun telah beralihfungsi beberapa kali, sejak tahun 1971 bangunan ini berada di bawah dinas Museum dan sejarah, karena telah ditetapkan sebagai cagar budaya, sehingga tidak boleh diubah bentuknya.

Bangunan ini mulai digunakan sebagai masjid sejak tahun 1970. Bangunan ini kemudian diwakafkan kepada angkatan 66. Para aktivitas angkatan 1966, seperti Akbar Tanjung dan Fahmi Idris, kemudian mendirikan Yayasan Masjid Al Jihad dan memfungsikan bangunan ini sebagai tempat shalat Jumat. Selanjutnya warga mendatangi Jendral A.H. Nasution sebagai Ketua MPRS, dan meminta gedung Bouwploeg bisa dialihfungsikan menjadi masjid sepenuhnya. 

Atas desakan dari berbagai pihak, baru pada masa Gubernur DKI Wiyogo Atmodarminto, bangunan ini diresmikan sebagai masjid tingkat provinsi dengan surat keputusan nomor SK 5184/1987 tanggal 18 Agustus 1987. Nama Masjid Cut Mutiah diambil karena jalan di samping masjid adalah Jl. Cut Mutiah. Namun demikian, nama Bouwploeg sendiri tidak hilang begitu saja, karena daerah tersebut masih sering disebut dengan Boplo, dan pasar yang terletak di sisi barat stasiun kereta api Gondangdia juga masih disebut sebagai Pasar Boplo.

Minggu 28 Januari 2024, akhirnya saya bersama rombongan Sahabat Museum berkesempatan untuk melihat bagian dalam bangunan ini (liputan lengkapnya bisa lihat di sini). Menarik, karena untuk bisa memahami arsitekturnya, kita harus tahu sejarah penggunaan bangunan ini. Karena semula dirancang untuk bangunan kantor, maka bangunan seluas 4.616 meter persegi ini dibuat menggunakan gaya Indie, untuk menyesuaikan dengan daerah tropis. Bangunan yang aslinya berbentuk kubus berlantai dua ini memiliki 3 buah jendela kaca di setiap sisinya, dengan total jendela 104 buah. Di bagian tengah bangunan terdapat menara ventilasi setinggi 4,2 meter untuk mengatur sirkulasi udara di dalam bangunan. 

Interior Mesjid Cut Mutiah

Ketika bangunan ini dijadikan masjid, banyak dilakukan penyesuaian, agar berbagai aspek masjid dapat masuk ke dalam bangunan tersebut. Sebagai hasilnya, bangunan masjid bergaya kolonial ini sangat unik dan tidak ditemukan di masjid lainnya. Salah satunya adalah mihrab masjid yang diletakkan di samping kiri dari saf shalat (tidak di tengah seperti pada umumnya). Selain itu, karena bangunan masjid dibuat tidak mengarah ke kiblat, maka posisi safnya miring terhadap bangunan masjidnya sendiri, kurang lebih 45 derajat dari poros bangunan. 

Jika diperhatikan, di dalam masjid terdapat balkon namun seperti tidak ada tangganya. Perubahan ini terjadi karena tangga balkon semula berada di tengah ruangan, tepat berada di arah kiblat. Agar tidak mengganggu jemaah yang beribadah, tangga ini kemudian dicopot, digantikan dengan tangga yang diletakkan di teras depan. Secara total, masjid ini mampu menampung 3000 jamaah di kedua lantainya.

Bang Adep sebagai pengelola komunitas Sahabat Museum menceritakan bahwa di masa lalu, di taman depan Gedung Bouwploeg terdapat Monumen Van Heutsz yang menghadap ke arah Jl. Menteng. Van Heutsz, lengkapnya Johannes Benedictus van Heutsz, adalah Gubernur Jendral Belanda yang sebelumnya pernah mengikuti misi militer ke Aceh dan pada tahun 1899 terlibat pertempuran dan berhasil menewaskan Teuku Umar. Monumen dengan dimensi lebar 16 meter x Panjang 20 meter x tinggi 12 meter tersebut dibangun pada tahun 1932. Monumen rancangan arsitek Belanda W.M. Dudok ini menggambarkan tuntasnya proses Pasifikasi Belanda selama masa pemerintahan Van Heutsz. Dalam monument tersebut digambarkan patung dada Van Heutsz di atas sebuah pilar, dan di bawah terdapat orang-orang dari Aceh, Jawa, dan Papua. Patung tersebut juga memiliki bentuk gajah, Binatang yang banyak terdapat di Sumatera. Tahun 1953, patung ini dihancurkan, dan sekarang tempat berdirinya patung yang sebelumnya bernama Van Heutsz Plein tersebut menjadi Taman Cut Mutiah.

Menariknya, di masa Hindia Belanda, jalan terbesar di dekat Gedung Bouwploeg dan Monumen Van Heutsz diberi nama Van Heutsz Boulevard. Di masa kemerdekaan, pada tahun 1950-an dilakukan pergantian nama jalan menjadi nama yang lebih nasionalis. Van Heutsz Boulevard kemudian berganti nama menjadi Jl. Teuku Umar, musuh bebuyutan Van Heutsz selama berlangsungnya Perang Aceh. Dan jika diperhatikan, daerah sekitar Mesjid Cut Mutia memiliki nama-nama pahlawan Aceh, termasuk Cut Mutia dan Cut Nyak Dien.

No comments: