Magelang, 28 Maret 1830. Bertepatan dengan Lebaran hari kedua. Namun suasana di rumah residen Kedu terlhat penuh ketegangan. Hari itu, Pangeran Diponegoro ditangkap tentara Hindia Belanda, menandai berhentinya Perang Jawa yang telah berlangsung selama 5 tahun. Terlihat Hendrik Merkus Baron De Kock, Panglima Besar Hindia Belanda, tersenyum penuh muslihat. Sebaliknya, ekspresi Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya memancarkan kemarahan.
Poster Pameran di Dinding Gedung Arca |
Yang membuat pameran ini menarik adalah sosok Pangeran Diponegoro ditampilkan dalam media yang kekinian. Dalam setiap sesi kunjungan, pengunjung akan diajak mendengarkan dongeng kisah Pangeran Diponegoro. Dongeng tidak sekadar disampaikan secara lisan, namun menggunakan teknologi video mapping yang ditembakkan pada layar yang dibentuk menggunakan buku lipat. Karakter sang pangeran juga ditampilkan dengan gaya manga Jepang yang sangat kekinian.
Pendongeng Menceritakan Kisah Pangeran Diponegoro |
Kanjeng Kiai Rondhan |
Setiap pusaka memiliki kisahnya masing-masing. Seperti tombak Kanjeng Kiai Rondhan yang dipercaya memberikan perlindungan dan peringatan (wangsit). Tombak ini tertinggal saat penyergapan tentara Belanda di pegunungan Gowong, tahun 1829. Setelah dipersembahkan kepada Raja Willem I, Kanjeng Kiai Rondhan disimpan di Museum Veteran Tentara Belanda di Bronbeek, Arnhem. Tahun 1977, tombak Kiai Rondhan dikembalikan kepada pemerintah Indonesia.
Pelana Kanjeng Kiai Gentayu |
Saat tinggal di Puri Tegalrejo, Pangeran Diponegoro memiliki banyak kuda. Di antaranya adalah Kanjeng Kiai Gentayu, kuda kesayangan Diponegoro, yang sering disebut sebagai pusaka yang hidup (living legacy). Kiai Gentayu digambarkan sebagai kuda berwarna hitam yang tinggi besar, dengan kaki berwarna putih. Pameran ini “menghidupkan” kembali Kanjeng Kiai Gentayu dalam bentuk hologram, agar kita bisa membayangkan seperti apa bentuk fisiknya di masa lalu. Pelana Kiai Gentayu termasuk dalam pusaka yang tertinggal saat penyergapan tentara Belanda di pegunungan Gowong, tahun 1829. Bersama tombak Kanjeng Kiai Rondhan, pelana Kiai Gentayu dipersembahkan kepada Raja Willem I, dan baru dikembalikan kepada pemerintah Indonesia pada tahun 1977.
Babad Diponegoro |
Koleksi yang tak kalah istimewa adalah kitab Babad Diponegoro, yang merupakan otobiografi sang pangeran yang ditulis saat pengasingan di Manado. Kitab ini ditulis dengan aksara Arab pegon berbahasa Jawa, terdiri dari 1151 halaman. Syair dalam Babad Diponegoro berawal dari zaman Majapahit, masa Mataram Islam, hingga menceritakan Perang Jawa secara rinci dari sudut pandang Pangeran Diponegoro. Pada 21 Juni 2013, Babad Diponegoro telah ditetapkan sebagai Memory of The World (warisan dokumenter dunia) oleh UNESCO.
Namun primadona dari pameran ini adalah keris Kanjeng Kiai Nogo Siluman. Pusaka ini sangat istimewa, karena memiliki kisah yang sangat berliku. Kiai Nogo Siluman diserahkan Diponegoro pada awal tahun 1830 kepada Kolonel Jan-Baptist Cleerens, perwakilan tentara Hindia Belanda, sebagai tanda kepercayaan Diponegoro yang disertai janji jika perundingan tidak memberikan hasil sesuai keinginan Diponegoro, maka Diponegoro dan pasukannya diperkenankan kembali ke pegunungan Bagelen tanpa cedera. Namun ternyata Cleerens ingkar janji, dan pada 28 Maret 1830 Diponegoro ditangkap.
Keris Kiai Nogo Siluman kemudian dipersembahkan kepada Raja Belanda Willem I pada tahun 1831 sebagai rampasan perang, dan kemudian disimpan di koleksi khusus Kabinet Kerajaan Belanda. Tahun 1883, koleksi khusus ini dibubarkan, dan Keris Kiai Nogo Siluman diserahkan kepada Museum Volkenkunde di Leiden. Setelah itu, keris ini sempat dinyatakan hilang selama 150 tahun. Namun setelah melalui pencarian yang cukup lama dan berliku sejak tahun 1983, akhirnya pada 3 Maret 2020 Kanjeng Kiai Naga Siluman dikembalikan Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia melalui Menteri Kebudayaan Belanda Ingrid van Engelshoven, dan diserahkan kepada Duta Besar Indonesia untuk Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja di Den Haag.
Keris Kanjeng Kiai Nogo Siluman |
Rasanya berat untuk mengakhiri kunjungan di pameran kali ini, selain mengingat bahwa ada batas waktu kunjungan maksimal 1 jam di setiap sesi. Sambil menatap keris Kiai Nogo Siluman sekali lagi sebelum meninggalkan ruang pameran, saya membayangkan mungkin masih banyak pusaka Pangeran Diponegoro – atau pusaka dari pahlawan-pahlawan kita yang lain -- yang belum kita ketahui dan kita temukan. Mungkin hanya waktu yang bisa menjawab. Adalah tugas kita sebagai penerus bangsa untuk bisa menjaga dan merawat pusaka-pusaka ini, untuk mempertebal rasa nasionalisme kita.
No comments:
Post a Comment