"Siapa mau jadi pilot?"
Pertanyaan pemandu program edutainment di PT Dirgantara Indonesia ini sontak membuat pengunjung anak-anak berlomba-lomba mengacungkan tangan. Saya, satu-satunya peserta yang tidak membawa anak, barangkali sama sumringahnya dengan mereka, apalagi saat bis Bandros yang kami gunakan masuk ke area pabrik.
Program edutainment PTDI merupakan program memperkenalkan industri dirgantara PTDI sebagai satu-satunya pabrik pesawat di ASEAN. Jika factory tour umumnya dilakukan secara berombongan dengan mengirimkan surat resmi terlebih dahulu, program edutainment memungkinkan peserta perorangan untuk mengikuti factory tour di akhir pekan. Dan karena pesawat adalah cinta pertama saya pada teknologi, jadi saya harus menyegerakan untuk ikut program edutainment ini -- sebelum program ini menghilang tanpa jejak.
Memasuki area pabrik PTDI, pemandu menjelaskan tahapan pembuatan pesawat. Hanggar pertama adalah produksi fuselage yang akan menjadi badan pesawat. Fuselage dan bagian pesawat lainnya seperti sayap, ekor, dan roda pendaratan kemudian dirakit di hanggar berikutnya, serta melengkapi pesawat dengan mesin, instrumentasi, dan interior yang dibutuhkan. Setelah melewati tahap ini, pesawat akan dicat sesuai permintaan pemesan.
Hanggar berikutnya adalah tempat pengujian pesawat yang sudah dirakit. Sebelum diserahkan kepada pemesan, pesawat akan diinspeksi dan diujicoba terlebih dahulu untuk memastikan semua sistemnya berjalan dengan baik. Di dalam hanggar terdapat CN 235 flying test bed yang digunakan untuk uji coba. Sekilas saya cari di internet, kemungkinan pesawat ini digunakan untuk ujicoba green avtur.
Sebelum lanjut ke tahapan berikutnya, bis Bandros berhenti di dekat pesawat-pesawat yang parkir di depan hanggar. Pengunjung diperkenankan turun dan melihat wujud nyata pesawat produksi PTDI, walaupun tidak bisa terlalu dekat karena diberi pembatas. Saya mengenali pesawat pertama yang terlihat, kok ada Gatotkaca? Bukan, itu bukan N250 Gatotkaca yang pulang kampung dari Museum Dirgantara Mandala. Pesawat dengan bentuk dan warna yang sama dengan Gatotkaca tersebut adalah N250 Krincingwesi, "adik" N250 Gatotkaca.
Atas: N250 Krincingwesi Bawah: N250 Gatotkaca di Museum Dirgantara Mandala |
N250 merupakan pesawat penumpang turboprop 2 mesin karya BJ Habibie, sebagai wujud cita-cita agar Indonesia mampu membuat pesawat sendiri. Hal ini sesuai dengan kondisi geografis Indonesia yang berbentuk negara kepulauan, akan lebih mudah jika terkoneksi melalui udara. Pesawat yang diproduksi PTDI ini digadang-gadang akan menjadi tonggak sejarah kejayaan kedirgantaraan Indonesia.
N250 Gatotkaca sebagai purwarupa pertama terbang perdana pada 10 Agustus 1995 di Bandara Husein Sastranegara, Bandung. Pesawat tersebut sempat mengikuti beberapa airshow, dan menjadi bintang Indonesian Air Show 1996 di Cengkareng. Untuk pengembangan selanjutnya, dibuat purwarupa kedua N250 Krincingwesi, yang terbang perdana pada 19 Desember 1996. Krincingwesi dibuat sedikit lebih panjang daripada Gatotkaca, sehingga memiliki kapasitas lebih besar. Namun bobotnya lebih ringan, karena tata letaknya dibuat lebih efisien. Selain itu desain strukturnya juga dibuat lebih halus.
Pada 1997, seiring krisis moneter yang melanda Indonesia, Proyek N250 terpaksa harus berhenti. N250 Gatotkaca dan N250 Krincingwesi terparkir selama seperempat abad di PTDI. Atas permintaan Panglima TNI Hadi Tjahjanto, pada tahun 2020 N250 Gatotkaca dipindahkan ke Yogyakarta menjadi penghuni Museum Dirgantara Mandala, sebagai sarana edukasi masyarakat bahwa bangsa kita telah mampu merancang dan membuat pesawat sendiri. Sedangkan Krincingwesi masih berada di PTDI, dan turut menjadi sarana edukasi bagi para peserta factory tour.
CN 235 Flying Test Bed |
Selain Krincingwesi, di parkiran hanggar terdapat CN 235 flying test bed yang sudah tidak digunakan lagi, CN 235 merupakan signature product pesawat penumpang PTDI yang sukses. Dikembangkan pada 1979 oleh IPTN (nama PTDI pada masa itu) dan CASA (sekarang menjadi Airbus Defense &Space), prototipe CN 235 buatan IPTN bernama Tetuko terbang pertama kali pada Desember 1983. Produksi pertama dilakukan pada 1986, dan saat ini CN 235 sudah diproduksi dengan berbagai varian dan digunakan di berbagai negara.
Peragaan MALE di Ruang Mock Up |
Ada benda panjang berwarna hitam di sisi CN 235. Benda tersebut bukan rudal, melainkan purwarupa drone jenis Medium Altitude Long Endurance (MALE) bernama "Elang Hitam". Drone ini hasil pengembangan Konsorsium Kementerian Pertahanan, TNI Angkatan Udara, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), PT Dirgantara Indonesia (PTDI), PT LEN Industri dan ITB. Purwarupa drone ini telah di-roll out pada 30 Desember 2019. Pesawat nirawak ini direncanakan dapaf dimanfaatkan untuk menangkal ancaman territorial, pengawasan cuaca dan pencegahan kebakaran hutan.
Dari apron, kami naik Bandros menuju hanggar pemeliharaan. Saat kami berkunjung, salah satu pesawat yang ada di dalam adalah Helikopter Super Puma. Helikopter NAS-332 Super Puma merupakan pengembangan SA-330 Puma kerjasama IPTN dengan Aeropastiale (sekarang Airbus Helicopters) dengan mesin yang diperbarui serta kabin penumpang diperbesar. Super Puma pertama kali terbang pada 1978, dan sejak 1980 menggantikan SA-330 Puma, Helikopter dengan 2 mesin ini dapat membawa 29 penumpang, serta dapat dipersenjatai dengan pod senapan, roket, dan misil, serta senjata untuk perang anti serangan laut.
Informasi N219 di Ruang Mock Up |
Hanggar terakhir sebelum masuk ruang mock up adalah tempat perakitan N219. N219 Nurtanio adalah pesawat multiguna generasi baru yang sepenuhnya karya anak bangsa. Dirancang sebagai pesawat angkutan penumpang, pesawat bermesin ganda turboprop berkapasitas 19 penumpang ini memiliki luas kabin terbesar di kelasnya. Ide dan desain N219 dikembangkan oleh PTDI, dengan pengembangan program dilakukan oleh PTDI dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. N219 dirancang dengan fixed tricycle landing gear, memungkinkan pesawat ini untuk melakukan Short Take-off and Landing (STOL), serta melakukan pendaratan dan lepas landas di medan yang sulit, seperti di bandara di ketinggian, atau di landasan bandara perintis. Purwarupa dari N219 telah melakukan uji terbang perdana pada 16 Agustus 2017, dan masih menjalani serangkaian pengujian sertifikasi, untuk menjamin keamanan dan keselamatan.
Informasi KF-21 Boramae di Ruang Mock Up |
Ruang mock up merupakan ruang terakhir sebelum factory tour berakhir. Di sini terdapat informasi lebih detail tentang produk PTDI, seperti PUNA MALE, UAV Wulung, N219, CN 235 dalam berbagai varian, serta NC 212. Di antara pesawat yang diperkenalkan, terdapat KFX/IFX, pesawat hasil kerjasama PTDI dengan Korea Aerospace Industries, yang dikenal juga sebagai KF-21 Boramae. Program pesawat tempur ini didanai 80% oleh Republik Korea dan 20% oleh Republik Indonesia.
Mock Up CN 235 ex Merpati Nusantara Airlines |
Bagi yang ingin tahu seperti apa kokpit sebuah pesawat, ruangan ini memiliki mock up CN 235 yang pernah dioperasikan oleh Merpati Nusantara Airlines. Interiornya sudah dikosongkan, menyisakan galley yang digunakan untuk menyajikan makanan. Mock up ini tentunya menjadi favorit anak-anak, yang langsung menyerbu untuk bergantian menjajal kokpitnya. Sementara saya mencoba mengingat, jangan-jangan dulu saya pernah naik pesawat ini dari Halim menuju bandara Tunggul Wulung pakai mampir di Husein Sastranegara…