Friday, March 22, 2024

Peta Ciela di Pameran Kartografi Nusa Jawa

 "Payah loe, udah dibantu GM*ps tapi tetep aja nyasar!"

Percakapan ini sepertinya lumrah kita dengar saat ini. Yeps, peta digital memang sangat praktis untuk keperluan mobilisasi di jaman kiwari. Peta merupakan representasi visual dari berbagai elemen yang ada di muka bumi. Perjalanan ilmu kartografi atau pembuatan peta saat ini sudah sedemikian canggih, hingga memungkinkan kita membaca peta dalam versi digital, bahkan dalam genggaman. Namun, seperti apa peta-peta di masa lampau, yang digunakan para pelaut untuk navigasi kapal-kapal mereka menjelajah samudra?

Nusa Jawa dalam pandangan kartografer Portugis Abraham Ortelius 1595

Pameran Kartografi Nusa Jawa yang diselenggarakan antara 16 Januari s/d 30 April 2024 di Museum Bahari memamerkan peta-peta kuno -- khususnya peta pulau Jawa dari abad ke-16. Jika kita bandingkan dengan peta masa kini yang penggambarannya sudah sesuai dengan kondisi nyata, peta-peta kuno tersebut sangat berbeda. Bisa dilihat bahwa peta kuno tersebut mencerminkan interpretasi para pembuat peta jaman dulu terhadap wilayah yang dipetakan. Misalnya pada peta penjelajah Belanda abad 16, pulau Jawa digambarkan sama besarnya dengan pulau Sumatera. Atau peta yang dibuat kartografer Belanda pada tahun 1606, yang memperlihatkan seolah Pulau Jawa dibelah oleh sungai besar dari pantai utara hingga pantai selatan. Peta-peta kuno tersebut saat ini dapat dianggap sebagai sebuah karya seni berbasis kartografi. Selain peta-peta kuno, kita juga diperkenalkan dengan peralatan yang membantu kartografer masa lalu untuk membuat peta atau membantu para pelaut menentukan posisi kapalnya. Di antara peralatan tersebut terdapat sekstan dan teropong panjang.

Peta Pulau Jawa Terpisah oleh Pieter Van Der Aa 1707

Salah satu peta yang ditampilkan adalah Peta Tjiela. Peta Tjiela yang asli ditemukan di Desa Ciela, Kec. Bayongbong, Garut, pada tahun 1858 oleh Karel Frederik Holle, pemilik perkebunan the di CIkajang, Garut. Tuan Holla (panggilan akrab masyarakat Cikajang kepada Holle) memang bukan sekadar juragan perkebunan the, namun juga peminat kebudayaan Sunda. Peta Tjiela tergambar pada sehelai kain kafan berukuran 1 meter x 2 meter. Peta tersebut menggambarkan wilayah yang cukup luas, mencakup wilayah yang sekarang menjadi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, sampai dengan Kabupaten Cilacap. Dalam peta tersebut termuat symbol laut, sungai, gunung, bukit, danau, jalan, dan rawa, dengan symbol yang umum digunakan pada peta yang kita kenal hari ini. Peta tersebut memuat keterangan nama yang ditulis dengan huruf Sunda kuno, seperti Cirebon, Bekassih, dan Nusa Kalapa. Di bagian tengah peta tergambar wilayah kerajaan bernama Timbangaten. Uniknya, arah utara pada peta diletakkan di bagian bawah, sedangkan arah selatan pada bagian atas peta.

Holle meyakini peta tersebut dibuat sekitar tahun 1560. Dugaan ini diperkuat oleh penelitian arkeolog lainnya, yang mengatakan kemungkinan peta tersebut berasal dari abad ke-16. Siapa pembuat peta ini, tidak diketahui, namun peta ini dibuat oleh penduduk Nusantara. Ini menjadi bukti bahwa sejatinya penduduk asli Nusantara sudah mengenal pembuatan peta sebelum para penjelajah Eropa hadir di Nusantara. Salah satu tokoh dari Nusantara yang mengenal peta dan globe adalah Karaeng Pattingalloang, Perdana Menteri dan penasehat utama Raja Gowa di abad ke-17. Dari hasil penelitian lebih lanjut oleh para ahli geologi Indonesia di tahun 1976-1977, penulis buku Prof. P. D. A Harvey menduga bahwa Peta Ciela memiliki kemiripan dengan peta masa awal Dinasti Han dari Cina.

Atas: Puzzle Peta Ciela di Museum Sejarah Jakarta (foto koleksi pribadi, 2019)
Bawah: Salinan Peta Ciela di Pameran Kartografi Nusa Jawa (foto koleksi pribadi, 2024)

Beruntung Holle sempat membuat salinan Peta Tjiela tersebut dan menuliskan ulasan tentang peta tersebut dalam sebuah majalah, karena pada tahun 1975 diketahui peta yang asli telah hilang, diduga terbakar dan hilang tenggelam bersama kapal yang mengangkutnya. Tulisan Holle menjadi sumber awal yang penting dalam menelusuri kartografi yang dilakukan penduduk Nusantara. Di Pameran Kartografi Nusa Jawa kita bisa melihat bentuk salinan dari peta tersebut, sedangkan jika kita ingin melihat dari dekat, kita bisa melihat Peta Tjiela dalam bentuk puzzle yang dipamerkan di Museum Sejarah Jakarta. Saat ini salinan Peta Tjiela yang dibuat berdasarkan salinan Holle disimpan oleh keluarga Ihak Lukman di Desa Ciela, dan dianggap sebagai benda pusaka.

Mengingat pentingnya peta untuk membantu menunjukkan posisi atau lokasi relative dalam hubungannya dengan tempat lain di permukaan bumi, khususnya dalam aktivitas pelayaran di masa lalu, tidak mengherankan jika pameran ini dibuat di Museum Bahari Jakarta. Museum ini dulu merupakan gudang VOC untuk menyimpan komoditas seperti rempah, kopi, the, tembaga, timah, dan tekstil. Selain melihat-lihat koleksi terkait kebaharian Indonesia, arsitektur museum sendiri juga menarik untuk ditelisik, mengingat museum ini dibangun dengan teknologi abad ke-17, dan masih bertahan hingga sekarang, walaupun dinding-dindingnya harus menghadapi ancaman penggaraman.

Sisa Pilar Kayu dan Pintu yang Terbakar di Memorial Museum Bahari

Selesai melihat pameran peta, saya tertarik dengan ruangan di Gedung sebelah, yang pintunya terbuka dan cukup terang. Ternyata ruangan tersebut merupakan Ruang Memorial Museum Bahari, dan menyimpan informasi terkait peristiwa kebakaran besar pada 16 Januari  2018 yang melalap 64 koleksi museum. Pada ruang memorial ini dipamerkan beberapa kaki pilar, pintu, dan ambang jendela yang terbuat dari kayu jati, yang sebagian besar hangus dilalap si jago merah. Ruangan ini juga menampilkan video upaya pemadaman kebakaran, serta kliping surat kabar yang memuat berita kebakaran tersebut dan upaya pemulihan kembali museum pasca kebakaran. Saat menapakkan kaki, saya baru sadar, mungkin Ruang Memorial ini adalah salah satu ruangan yang ikut terbakar saat itu, karena terdapat bagian ruangan dengan lantai kayu yang terlihat lebih baru dibandingkan bagian ruangan lainnya. Bagi saya, Ruang Memorial ini mungkin menjadi pengingat bagi kita, untuk terus berupaya memitigasi bencana kebakaran agar tidak terjadi lagi, khususnya di museum-museum kita.

No comments: