Wednesday, August 9, 2023

Museum Pendidikan Surabaya, Wisata Edukasi di Tepi Kalimas

Surabaya dapat dikatakan mulai menjadi destinasi baru wisata sejarah. Bukan hanya menjadi tempat terjadinya peristiwa penting dalam upaya mempertahankan kemerdekaan, namun banyak tahap kehidupan tokoh bangsa yang terjadi di Surabaya. Bung Karno lahir di Surabaya. WR Supratman wafat di Surabaya. Dan saat ini peninggalan-peninggalan tersebut telah dirawat menjadi museum-museum yang menarik dan edukatif.

Salah satunya adalah Museum Pendidikan Surabaya yang terletak di Jl. Genteng Kali no. 10, Surabaya. Diresmikan walikota Surabaya Tri Rismaharini pada peringatan Hari Guru 25 November 2019, museum tematik ini memilik 860 koleksi memorabilia terkait dunia pendidikan, sekaligus sebagai obyek wisata edukasi di Surabaya 

Fasad Bangunan Museum yang Menghadap ke Kalimas

Museum ini menempati bangunan bekas Sekolah Taman Siswa yang terletak di tepi Kalimas. Bangunan museum diperkirakan sudah ada sejak tahun 1910, dan saat itu merupakan rumah tinggal keluarga Tionghoa yang berada. Terdapat teras yang menghadap ke halaman tengah serta teras belakang yang menghadap ke arah Kalimas. Di atas bangunan terdapat tulisan “Villa Rivierzicht” yang bermakna “villa tepi sungai”, yang mungkin terkait dengan pemandangan ke arah Kalimas.

Setelah kemerdekaan, pada tahun 1952 bangunan tersebut pernah dipakai sebagai sekolah menengah pertama YPPI (Yayasan Pendidikan dan Pengajaran Indonesia). Setelah itu kemudian ditempati oleh SMP/SMA Taman Siswa.sampai tahun 2004. Gedung eks Taman Siswa itu tak ada satu pun yang diubah dari bentuk aslinya, yang dilakukan Pemkot Surabaya hanya memperbaiki.

Bel Sekolah Taman Siswa

Koleksi Museum Pendidikan Surabaya berupa informasi dan artefak yang merepresentasikan dinamika perjalanan pendidikan di Indonesia sejak era pra aksara hingga masa kini. Koleksi diatur mengikuti alur linimasa, dari masa Pra Sejarah, masa Hindu Buddha, masa Kolonial, hingga masa Kemerdekaan.

Koleksi di Zona Pra Aksara yang diwakili dengan diorama Manusia Purba menerangkan bahwa pendidikan telah dimulai sejak awal peradaban manusia, bahkan sebelum manusia menemukan aksara sebagai medium komunikasi dan pengetahuan. Pada masa itu, pengetahuan utama yang diajarkan dan masih sangat relevan hari ini adalah pengetahuan bertahan hidup. Pada masa itu, pengetahuan ditukarkan bukan melalui tulisan, melainkan melalui pengalaman langsung di alam, sensasi indra yang menubuh, dan "ingatan otot".

Koleksi di masa Hindu-Buddha menunjukkan pada masa itu telah terjadi asimilasi antara pengaruh luar nusantara dengan budaya lokal, menjadikan pendidikan pada masa itu menjadi sangat dinamis. Aktivitas niaga dan syiar agama turut mempengaruhi corak pendidikan pada masa itu. Di masa Hindu-Buddha mulai terbentuk lembaga-lembaga pendidikan seperti padepokan yang dipimpin Mpu atau Begawan, Pura, Pencantrikan, dan Pertapaan.

Pengetahuan dasar yang diajarkan pun didasarkan atas sistem Triwangsa yang merupakan pengaruh budaya India. Wangsa Brahmana belajar kitab suci dqn kitab Sastra dari India. Wangsa Ksatria belajar tentang pemerintahan dan strategi perang. Sedangkan wangsa Waisya mempelajari ketrampilan yant menopang kehidupan, seperti bertani, metalurgi, peternakan, pertukangan, perdagangan dll.

Masuknya Islam ke Nusantara membuat corak pendidikan di Nusantara semakin beragam. Pada penghujung abad ke-19, berbagai macam bentuk penyelenggaraan dan institusi pendidikan Islam seperti pendidikan dalam bentuk rumah, surau/langgar, masjid, dan pesantren sederhana mulai dikenal. Perkembangan pesantren pada abad ke-17 merupakan titik puncak dari proses perkembangan pendidikan Islam sebelum akhir abad ke-19, ketika Sultan Agung -Raja Mataram- mulai memerintah antara 1613-1645.

Naskah Surat Yusuf

Di masa Islam inilah banyak manuskrip yang dibuat untuk media pendidikan. Di antaranya adalah Naskah Surat Yusuf yang dibuat dari bahan kulit, ditulis dalam aksara Arab serta ada terjemahan bahasa Jawa dengan aksara Arab Pegon. Naskah lainnya adalah kisah Nabi Muhammad yang ditulis dalam bentuk tembang macapat pada kertas bergaris beraksara Jawa.

Era kolonial barangkali merupakan masa terberat bagi pendidikan bangsa Indonesia. Kedatangan bangsa Eropa yang mengeksploitasi hasil bumi Nusantara dengan menggunakan keringat manusia Nusantara nyaris menghentikan proses pendidikan bangsa. Titik kecil harapan muncul seiring dengan merebaknya politik etis di Eropa. Akses terhadap pendidikan bagi warga non Eropa yang awalnya hanya bisa dijangkau oleh kalangan elit saja, perlahan mulai meluas di beberapa kota besar. Dengan meningkatnya kualitas pendidikan, maka tumbuhlah kesadaran dan keberanian untuk melawan ketidakadilan. Tak perlu menunggu lama bagi munculnya para pemuda aktivis yang dikemudian hari akan mengalirkan arus besar pendidikan dan perlawanan terhadap kolonialisme. Merekalah yang kini kita kenal sebagai pendiri, guru, dan pahlawan bangsa. Dr. Wahidin Soedirohoesodo, R.M. Tirto Adhi Soerjo, H.O.S. Tjokroaminoto, Ernest Douwes-Dekker, Ki Hajar Dewantara, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, dr. Soetomo, Ir. Sukarno, Mochammad Hatta, dll.

Bangku Kuliah Dari Kayu

Di era kolonialisme Jepang yang relatif singkat, terjadi perbaikan sistem pendidikan dan transfer pengetahuan yang sangat signifikan dibanding sebelumnya. Mulai dari pengadaan sekolah hingga ke pelosok, penajaman kurikulum, reformasi sistem pengajaran dan pelatihan guru. Semua upaya ini tak lepas dari kesadaran Jepang melihat potensi pendidikan dan kebudayaan sebagai elemen penting yang mendukung propaganda mereka sebagai Saudara Tua serta Pemimpin, Pelindung, dan Cahaya Asia dalam konstelasi perang dunia kedua.

Artefak-artefak di bagian ini ditandai dengan benda-benda yang menjadi ciri khas dunia pendidikan di masa itu. Salah satunya adalah lampu kuno yang digunakan untuk belajar di malam hari, sepeda kebo yang digunakan oleh guru, dan bangku kayu yang digunakan di sekolah. Koleksi yang menarik adalah mesin handpress milik KH Ahmad Dahlan yang digunakan di Percetakan Muhammadiyah di Karangkajen, Yogyakarta.

Mesin Handpress Milik KH Ahmad Dahlan

Memasuki awal era kemerdekaan, tidak serta merta nasib pendidikan bangsa Indonesia menjadi lebih mudah. Indonesia yang masih sangat muda masih tidak stabil, khususnya dalam situasi sosial politik. Tantangan lainnya adalah keragaman sosial budaya di sepanjang Nusantara. Koleksi di bagian ini terdiri dari bukti materiil dunia pendidikan dari periode 1945-1990-an. Mulai dari batu tulis, buku-buku pelajaran, peralatan laboratorium, hingga peralatan ekstrakurikuler. 

Display "Ini Ibu Budi"

Yang tidak boleh dilewatkan di museum ini adalah satu display tentang "Ini Ibu Budi". Kalimat "Ini Ibu Budi" muncul di tahun 1980-an dalam buku paket pelajaran bahasa Indonesia di SD, hingga tahun 2014. Ibu Siti Rahmani Rauf menciptakan metode ini berangkat dari kegelisahan terhadap metode pembelajaran membaca saat itu, dan berupaya menciptakan metode agar anak-anak dapat lebih mudah dalam belajar membaca. Ibu Siti Rahmani wafat di Jakarta pada 10 Mei 2016.

No comments: