Saturday, July 7, 2018

Belajar Membatik di Museum Batik Pekalongan

Pekalongan merupakan kota pesisir di Pantai Utara Jawa yang dijuluki Kota Batik, karena menjadi pusat pengembangan batik pesisir. Industri batik di Pekalongan telah muncul sejak periode 1850-1860, dengan pengusaha batik yang terdiri dari kaum pribumi, pengusaha Tionghoa, dan para istri orang Belanda, sehingga tidak salah kiranya jika di Kota Batik ini didirikan sebuah museum yang menyimpan berbagai koleksi batik dan hal-hal terkait lainnya.

Tampak Depan Museum
Antik dan adem adalah kesan pertama ketika saya memasuki bangunan kuno bergaya art deco peninggalan masa kolonial Belanda yang menjadi tempat Museum Batik Pekalongan. Bangunan yang berada di Jl. Jetayu No. 1 ini didirikan pada tahun 1906, dan sebelumnya pernah digunakan sebagai Balai Kota Pekalongan. Saat ini, bangunan yang memiliki ruangan-ruangan luas dengan pintu dan jendela berukuran besar khas bangunan Belanda tersebut telah disulap menjadi museum dengan 3 ruang pamer, ruang pertemuan, perpustakaan, kedai cenderamata, dan sebuah workshop membatik di bagian belakang museum. Sebuah taman yang terletak di tengah-tengah bangunan menambah keasrian museum.

Halaman Dalam Museum
Sebelum melihat-lihat koleksi museum yang diresmikan pada tanggal 12 Juli 2006 oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, kami mendaftar di meja registrasi, membeli tiket, dan mengambil brosur museum. Pemandu museum kemudian membawa kami memasuki ruang pamer pertama yang berisi peralatan membatik dan koleksi batik pesisir. Koleksi peralatan membatik disimpan dalam meja yang tertutup kaca, dan terdiri dari canting tulis, canting cap, malam, dan zat pewarna, baik pewarna alam maupun perwarna buatan. Khususnya untuk canting tulis, ternyata seperti alat tulis modern, canting tulis pun memiliki ukuran yang beragam, mulai dari canting 0 (canting dengan lubang yang sangat kecil untuk membuat pola) hingga canting 7 yang paling besar.

Aneka Canting Cap
Koleksi batik pesisir yang ada di ruangan ini berasal dari Pekalongan, Cirebon dan Lasem. Walaupun secara umum batik pesisir memiliki ciri warna yang cerah dengan motif naturalis, masing-masing daerah pesisir tetap memiliki ciri khas batiknya sendiri. Batik Pekalongan diwakili motif Jlamprang, yang merupakan pengembangan motif kain Patola dari India. Batik Lasem menampilkan batik dengan ciri khas warna merah seperti darah ayam. Batik Cirebon diwakili motif mega mendung yang dipengaruhi kebudayaan Cina.

Pemandu kemudian membawa kami ke ruang pamer kedua. Di dalam ruangan ini terdapat koleksi batik Nusantara. Walaupun sebetulnya tidak semua daerah di Indonesia memiliki batik, namun saat ini masing-masing daerah di Nusantara mengembangkan motif khasnya. Sebagai contoh adalah koleksi batik Lampung yang mengambil motif kain tenun tapis, koleksi batik Kalimantan yang dipengaruhi motif khas suku Dayak, serta batik-batik dari Jawa Barat yang merupakan kreasi para pengrajin batik dari Yogyakarta atau Surakarta yang mengungsi ke wilayah tersebut akibat peperangan.

Masih belum puas melihat-lihat batik Nusantara di ruangan kedua, pemandu sudah membukakan pintu menuju ruang pamer ketiga. Ruangan ini berisi batik Vorstendlanden, atau batik pedalaman yang berasal dari Yogyakarta dan Surakarta. Batik-batik ini dikembangkan dari batik yang digunakan keluarga keraton, sehingga motifnya sarat dengan makna-makna tersirat. Sebagai contoh adalah batik motif Sekar Jagad, yang bermakna penguasaan dunia. Salah satu batik yang istimewa dari koleksi batik pedalaman yang dipajang saat kami di sana adalah batik Peksi Huk yang diciptakan oleh KRT Hardjonegoro atau Go Tik Swan, seorang pembatik dari Solo yang ditugaskan Bung Karno membuat batik motif Indonesia. Di bagian terakhir dari ruangan ketiga ini terdapat batik yang disumbangkan oleh beberapa petinggi negara, seperti batik milik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Ani, Bapak Hatta Rajasa dan Ibu Okke, serta Walikota Pekalongan Bapak M. Chaeron dan Ibu Corina. 

Belajar Membatik di Workshop
Walaupun hanya terdiri dari 3 ruang pamer, total koleksi batik di museum ini tidak kurang dari 1089 buah, sehingga untuk menampilkan seluruh koleksi, batik-batik tersebut dipamerkan secara bergiliran setiap 4 bulan sekali. Dengan demikian, apabila Anda kembali berkunjung ke museum ini di waktu yang lain, bisa jadi Anda akan menemukan koleksi batik yang berbeda dengan yang Anda lihat sebelumnya. Namun koleksi batik dalam ketiga ruangan tersebut tidak boleh dipotret, agar tidak disalahgunakan untuk merepro motif-motif tersebut.

Alat Pewarnaan Batik
Setelah melihat koleksi batik di ketiga ruangan tersebut, pemandu membawa kami ke bagian paling menarik dari museum ini, yaitu workshop. Di workshop ini terdapat rangkaian gambar yang menjelaskan proses pembuatan batik Jlamprang khas Pekalongan. Ada beberapa pembatik muda yang sedang memperagakan cara nglowong dengan menggunakan canting tulis, dan kami diperbolehkan mencobanya. Ternyata membubuhkan malam di atas kain itu tidak gampang. Salah sedikit, malam cair yang panas akan membleber pada kain, atau bahkan menetes mengenai kulit. Para pembatik kemudian mengajarkan teknik memegang canting yang benar, agar malam bisa menempel dengan rapi pada kain tanpa bleber atau menetes. Di bagian ini juga terdapat peralatan yang digunakan untuk memproses batik, termasuk canting cap dengan berbagai motif, alat-alat untuk pewarnaan batik, dan alat pengolahan limbah pewarnaan batik.

Museum Batik Pekalongan buka setiap hari Senin hingga Minggu, pukul 08.00 hingga 15.00 WIB. Harga tiket masuknya sangat terjangkau, yaitu Rp 5.000,- untuk orang dewasa, dan Rp 1.000,- untuk anak-anak. Bagi Anda yang ingin belajar membatik dengan lebih mendalam, museum ini juga menyediakan pelatihan tata cara membatik dengan biaya yang sangat terjangkau, bergantung pada ukuran kain yang digunakan. Sedangkan bagi Anda yang hobi berfoto narsis, usai kunjungan museum Anda bisa berfoto di depan bangunan museum, atau pada tugu di lapangan depan museum yang berbentuk huruf B, A, T, I, dan K dengan hiasan motif batik.


Artikel pernah diterbitkan di Readers' Digest Tahun 2014

No comments: