Wednesday, July 4, 2018

Desa Adat Ende, Desa Perisai Suku Sasak

"Pletak! Plak! Plak plak plak!"

Bunyi tongkat rotan yang beradu dengan perisai kulit kerbau ini sungguh memekakkan telinga dan membuat hati terkejut-kejut. Terlihat 2 pemuda bertelanjang dada tengah bertarung satu sama lain. Para petarung ini disebut Pepadu, dan mereka diawasi seorang sesepuh yang berperan sebagai Pakembar atau wasit. Tapi tak perlu khawatir, ini bukan pertarungan sesungguhnya. Mereka adalah warga Desa Adat Ende yang tengah melakukan Tari Peresean, sebuah tarian Suku Sasak yang fungsinya melatih kejantanan. Ketika tarian selesai, MC mengatakan bahwa tarian tadi hanya untuk simulasi, dan sebentar lagi akan dimulai sesi pertarungan yang sesungguhnya. Saat MC memanggil para Pepadu untuk memulai pertarungan sesungguhnya, dari salah satu rumah keluarlah 2 orang Pepadu cilik dan 1 orang Pakembar cilik, siap melakukan pertarungan!

 

Tari Peresean

Desa Adat Ende adalah tempat tinggal Suku Sasak yang terletak di Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah. Amak Alfin, warga Desa Adat Ende yang mengantar kami berkeliling,menjelaskan mengenai asal usul nama Desa Ende. “Ende” dalam bahasa Sasak berarti perisai, seperti perisai yang digunakan para Pepadu saat melakukan Tari Peresean. Namun perisai juga dapat bermakna bahwa Desa Adat Ende bertugas sebagai “perisai” adat istiadat Suku Sasak. Desa Adat Ende dihuni oleh 30 kepala keluarga dengan jumlah warga 136 orang.

Desa Adat Ende
Bangunan di Desa Adat Ende terbuat dari bambu, dengan atap terbuat dari alang-alang kering. Atap alang-alang yang tahan antara 7-8 tahun ini bersifat menyejukkan bangunan saat cuaca terik, namun memberikan kehangatan di malam hari. Bangunan adat yang paling banyak terdapat di Desa Ende adalah Bale Tani, yang merupakan rumah tinggal. Bale Tani terdiri dari 2 bagian, bagian pertama adalah sesangkok terletak di sisi depan rumah dan berfungsi sebagai ruang tidur ayah dan anak lelaki. Sedangkan bagian kedua terletak di lantai atas yang disebut Dalem Bale, dan berfungsi sebagai ruang tidur ibu dan anak gadis, sekaligus sebagai dapur. Keunikan dari Bale Tani adalah cara perawatan lantainya yang digosok dengan kotoran kerbau. Penggosokkan dengan kotoran kerbau ini berfungsi untuk membersihkan lantai dari debu, memperkuat lantai, serta menghangatkan rumah di malam hari. Masyarakat Sasak juga percaya kotoran kerbau tersebut dapat mengusir serangga, sekaligus menangkal serangan magis yang ditujukan pada penghuni rumah.

Bale Tani
Jika kita ingat ikon khas bangunan adat Suku Sasak, bangunan yang memiliki bentuk seperti itu adalah Bale Lumbung yang biasanya diletakkan di depan Bale Tani. Bale Lumbung digunakan untuk menyimpan hasil panen warga untuk kebutuhan pangan selama setahun, dan masing-masing lumbung digunakan untuk menyimpan kebutuhan padi bagi 5 kepala keluarga. Menurut kepercayaan masyarakat Sasak, yang boleh mengambil padi di dalam Bale Lumbung adalah wanita yang telah berkeluarga. Dipercaya jika aturan ini dilanggar, maka wanita yang melanggar tidak akan mendapat keturunan.

Sambil menjelaskan mengenai fungsi bangunan-bangunan di Desa Adat Ende, Amak Alfin menyelipkan kisah tentang adat unik masyarakat Suku Sasak, yaitu “Kawin Lari”. Adat ini adalah ketika seorang jejaka berniat untuk menikah, ia harus “menculik” gadis yang menjadi calon istrinya. Walaupun tampaknya mudah untuk dilakukan, namun “Kawin Lari” ini memiliki banyak peraturan dan tata cara yang harus dipenuhi, di antaranya penculikan calon istrinya harus dilakukan tanpa diketahui orang tua sang gadis. Apabila proses penculikan terlihat, sang jejaka akan dikenakan denda. Setelah sang gadis berhasil diculik, pihak lelaki akan mengirimkan utusan adat untuk memberitahukan kepada pihak keluarga perempuan bahwa anak gadisnya sudah diculik dan akan dinikahkan. Menurut Amak Alfin, di era modern, biasanya antara sang jejaka dan sang gadis sudah sepakat mengenai waktu untuk melakukan “Kawin Lari”.

Gadis Sasak Menenun Selendang
Di akhir kunjungan, kami mengunjungi Bale Barugak atau gasebo panggung yang biasanya digunakan untuk balai pertemuan warga. Namun di Desa Adat Ende, Bale Barugak digunakan sebagai tempat peragaan ketrampilan menenun warga. Bagi masyarakat Suku Sasak, ketrampilan menenun merupakan bagian dari tradisi, di mana seorang perempuan Sasak tidak boleh menikah jika belum bisa menenun. ini bermanfaat untuk membantu perekonomian keluarga, khususnya jika hasil pertanian kurang baik. Para gadis Suku Sasak mulai belajar menenun pada usia 7 hingga 10 tahun, dan hari ini kami menemui 2 orang gadis cilik Suku Sasak yang memperagakan cara menenun dengan ATBM. Karena baru belajar menenun, para gadis cilik ini tidak menenun kain songket, tetapi selendang tenun. Gadis-gadis ini sangat berkonsentrasi pada pekerjaan menenun, sehingga ketika ditanya wisatawan mereka tidak menjawab. Yang menjawab adalah salah seorang ibu yang tengah memintal benang. Sayang jawaban beliau dalam bahasa Sasak, sehingga tak ada satu pun perkataan beliau yang kami mengerti!

Matur Tampiasih!
Untuk kenang-kenangan hasil karya adik-adik dari Desa Adat Ende, saya membeli sehelai selendang tenun di toko souvenir yang dikelola oleh koperasi warga desa. Tepat sebelum keluar dari Desa Adat, di bawah Bale Lumbung yang terletak dekat gerbang desa, adik-adik warga Desa Adat Ende berkumpul dan mengucapkan terima kasih atas kehadiran kami, sekaligus mengucapkan harapan semoga selamat dalam perjalanan. Spontan saya menjawab “Matur Tampiasih”, ucapan terima kasih dalam bahasa Sasak yang baru saja diajarkan penjaga toko souvenir kepada saya. Kompak adik-adik itu membalas ucapan terima kasih saya dengan “Pade-pade”. Ah, tak ingin kehangatan mereka cepat berlalu dari benak saya…

No comments: