Wednesday, July 4, 2018

Jelajah Sisi Lain Bandara Halim Perdanakusuma

Vliegveld Tjililitan, 24 November 1924. Fokker VII nomor registrasi NAHCC yang diawaki pilot KLM A.N.J. Thomassen a Thuessink van der Hoop, Co-Pilot Letnan H. Van Weerden Poelman, dan mekanik KLM Van den Broeke, baru saja mendarat di Vliegveld Tjililitan, Batavia setelah take off dari Muntok dalam rangka menyelesaikan tahapan akhir rute Amsterdam-Batavia. Pesawat yang lepas landas dari Schippol pada tanggal 1 Oktober 1924 ini baru saja menyelesaikan 55 hari perjalanannya, sekaligus menjawab “tantangan” membuka rute penerbangan dari Belanda ke koloni-koloninya, khususnya ke Hindia Belanda sebagai wilayah jajahan terbesar.

Monumen T-34 Mentor
Inilah salah satu peristiwa penting yang pernah terjadi di lapangan udara yang saat ini kita kenal sebagai Bandara Halim Perdanakusuma. Menjalani dua fungsi sebagai pangkalan udara militer sekaligus melayani penerbangan komersial, hari ini kami beruntung bisa mengunjungi sisi lain dari Bandara Halim Perdanakusuma. Jika sehari-hari kami ada di sisi bandara komersil untuk terbang dengan Citilink atau Batik Air, hari ini kami diajak Bang Adep dan komunitas Sahabat Museum untuk melihat Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma dan sejarah di balik keberadaan pangkalan udara tersebut. Bisa dibayangkan, bagi saya melihat pesawat sambil mendengarkan cerita sejarah itu udah kaya anak kecil dikasih gadget yang penuh dengan game, wauw.

Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, atau awalnya bernama Vliegveld Tjililitan, dibangun pada tahun 1915 untuk melayani penerbangan sipil, khususnya pesawat-pesawat sport. Lahan yang digunakan untuk Vliegveld Tjililitan semula merupakan tanah partikelir bernama Tandjoeng Oost yang dimiliki oleh Pieter van der Velde, yang semula diperuntukkan sebagai lahan perkebunan. Adanya pendaratan Fokker VII NAHCC tahun 1924 menandai peristiwa penting yang mengubah fungsi Vliegveld Tjililitan menjadi bandara internasional pertama di Hindia Belanda.

Monumen Dakota Skadron Udara 2
Vliegveld Tjililitan “berhenti sementara” sebagai tempat pendaratan pesawat-pesawat dari Eropa pada tahun 1940, ketika fungsi bandara komersial internasional dipindahkan ke Vliegveld Kemajoran. Dua hari sebelum peresmian Vliegveld Kemajoran tanggal 8 Juli 1940, sebuah DC-3 milik KNILM (Koninklijke Nederlands Indische Luchtvaart Maatschappij) lepas landas dari Vliegveld Tjililitan untuk menjadi pesawat pertama yang mendarat di Vliegveld Kemajoran. Pada masa Perang Dunia, seiring meningkatnya kebutuhan militer, Vliegveld Tjililitan beralih fungsi menjadi lapangan udara militer. Fungsi ini berlanjut setelah tahun 1945, ketika Batavia dikuasai Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL), di mana di tahun 1946, Vliegveld Tjililitan menjadi basis  Militaire Luchtvaart van het Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (ML-KNIL atau Angkatan Udara KNIL).

Sebagai salah satu hasil Konferensi Meja Bundar tahun 1949 di Den Haag, pemerintah Belanda diwakili oleh Kepala Militaire Luchtvoort (Penerbangan Militer) menyerahkan Vliegveld Tjililitan kepada pemerintah Indonesia pada 20 Juni 1950. Diterima oleh KSAU Komodor Udara Soerjadi Suryadarma, Vliegveld Tjililitan diperuntukkan sebagai pangkalan udara militer sekaligus markas Komando Operasi Angkatan Udara I TNI-AU. Tanggal 17 Agustus 1952, nama Lapangan Udara Tjiilitan kemudian diganti menjadi Halim Perdanakusuma, sebagai penghormatan kepada Marsekal Muda TNI (Anumerta) Abdul Halim Perdanakusuma yang gugur pada tanggal 14 Desember 1947 ketika pesawat yang diterbangkan jatuh di Tanjung Hantu, Semenanjung Malaya.


Keseharian Bandara HLP
Namun fungsi Lapangan Udara Halim Perdanakusuma sebagai pangkalan udara militer ternyata tidak berlangsung selamanya. Tahun 1974, Bandara Halim Perdanakusuma kembali melayani penerbangan komersial sebagai pendamping Bandara Kemayoran untuk penerbangan internasional. Setelah Bandara Kemayoran ditutup secara resmi pada 1 Mei 1985 dan seluruh penerbangan komersial dipindahkan ke Bandara Soekarno-Hatta, Bandara Halim Perdanakusuma kembali berfokus pada kepentingan penerbangan militer. Seperti kita ketahui, sejak tahun 2014, Bandara Halim Perdanakusuma kembali melayani penerbangan komersial, untuk mengurangi kepadatan penerbangan di Bandara Soekarno-Hatta. 

Hanggar Skadron Udara 31
Di antara hanggar yang diserahkan oleh ML-KNIL kepada TNI-AU di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma pada tahun 1950, salah satunya adalah hanggar yang digunakan Skadron Udara 31. Hanggar ini merupakan hanggar beton buatan masa Hindia Belanda, dan masih berdiri dengan kokoh hingga hari ini. Skadron Udara 31 sendiri adalah Satuan Udara Angkut Berat, dan merupakan “rumah” bagi armada Lockheed Martin C-130 Hercules, pesawat angkut berat buatan Amerika Serikat. Sejak dibuat pertama kali tahun 1954, pesawat itu telah sukses menjalani berbagai misi militer dan sipil, dan telah berkembang dalam berbagai jenis varian. Hanggar Skadron Udara 31 memiliki Ruang Sejarah yang menyimpan kisah kedatangan Hercules di Indonesia untuk pertama kalinya dan berbagai peristiwa penting bagi Skadron Udara 31.

Keberadaan Hercules di Indonesia sendiri memiliki kisah yang menarik, karena Indonesia merupakan negara pertama di luar Amerika Serikat yang menggunakan Hercules. Generasi pertama Hercules di Indonesia merupakan “hadiah” dari pemerintah Amerika Serikat atas penukaran tawanan pilot CIA Allen Pope yang terlibat membantu pemberontakan Permesta di Sulawesi pada tahun 1958. Ketika Presiden AS JFK menawari hadiah, Soekarno meminta ditunjukkan pesawat Hercules yang saat itu masih baru. Indonesia kemudian menerima 10 pesawat Hercules (termasuk 2 varian tanker) yang menjadi embrio lahirnya Skadron Angkut Berat Jarak Jauh TNI AU.

Hanggar Skadron Udara 17
Dari Skadron Udara 31, kami berpindah ke Skadron Udara 17 yang merupakan Satuan Udara Angkut Khusus VIP/VVIP. Hanggar Skadron Udara 17 juga merupakan hanggar jadoel buatan masa Hindia Belanda. Skadron Udara 17 bertugas mengelola pesawat untuk VIP/VVIP, termasuk pesawat kepresidenan Indonesia. Pesawat pertama yang dikelola skadron ini adalah Ilyushin Il-18 pemberian pemerintah Uni Soviet yang diberi nama Dolok Martimbang. Saat ini pesawat yang digunakan cukup bervariasi, termasuk Boeing 737 seri 300 dan Hercules.

C130 Hercules
Di Skadron Udara 17 kami bisa melihat pesawat Hercules dari dekat, termasuk memasuki bagian dalam pesawat yang memiliki interior khusus untuk VIP. Ini bukan pertama kali saya melihat pesawat Hercules dari jarak dekat, tapi rupanya level “kebesaran” pesawatnya berbeda dengan ingatan dan bayangan saya. Semula saya membayangkan akan melihat pesawat yang sangat besar, setidaknya sebesar Airbus 330 di mana orang di dalamnya bisa bermain bola. Namun ternyata Hercules yang saya temui hari ini bahkan tidak sebesar pesawat Boeing 737 yang banyak digunakan untuk penerbangan komersil. Tetap saja saya harus angkat topi pada pesawat-pesawat Hercules yang ada di seluruh dunia, karena begitu banyak fungsi dan misi yang sudah mereka jalankan selama lebih dari ½ abad.

Museum Lanud Halim Perdanakusuma
Setelah melihat hanggar-hanggar buatan masa Hindia Belanda tersebut, kami rehat sejenak di Museum Lanud Halim Perdanakusuma yang terletak tak jauh dari rumah Komandan Lanud. Museum yang diprakarsai oleh Marsekal Pertama TNI A. Adang Supriyadi SE dan diresmikan oleh KSAU Marsekal Imam Sufaat, SIP pada 9 April 2012 ini menyimpan foto-foto peristiwa bersejarah dan memorabilia terkait Lanud Halim Perdanakusuma. Termasuk diantaranya adalah miniatur pesawat, panji-panji, serta foto-foto para perwira yang pernah menjadi Kepala Lanud Halim Perdanakusuma.

Foto Ereveld Tjililitan
Menurut Dr. dr. Rushdy Hoesein, narasumber kami pada hari ini, di dalam area Vliegveld Tjililitan pernah terdapat Ereveld Tjililitan, yang merupakan kompleks pemakaman militer. Beliau menyampaikan bahwa di masa Perang Dunia II sangat umum lapangan udara, khususnya lapangan udara militer, memiliki makam di dekatnya, untuk memakamkan korban perang, korban kecelakaan pesawat, atau tokoh Angkatan Udara yang wafat. Saat ini pemakaman tersebut sudah tidak ada karena pada tahun 1968 dipindahkan ke Ereveld Menteng Pulo, sesuai perjanjian sentralisasi makam Belanda.

Monumen Sapta Marga di Lanud Halim Perdanakusuma
Dari foto-foto tempo doeloe, terlihat bahwa Ereveld Tjililitan saat itu tertata dengan baik. Namun pak Rushdy juga bercerita ketika beliau menanyakan kepada penghuni Pangkalan Militer Halim Perdanakusuma mengenai pemakaman tersebut, hampir tidak ada yang tahu atau ingat bahwa di kompleks tersebut pernah ada pemakaman. Setelah menggali lebih lanjut, pak Rushdy memperkirakan lokasinya kurang lebih di sudut jalan dekat belokan ke bangunan bekas rumah sakit, di mana saat ini tempat tersebut penuh pepohonan seperti hutan kecil, dan di tengahnya berdiri Monumen Sapta Marga. Sebelum meninggalkan Lanud Halim Perdanakusuma, kami berhenti sejenak di tempat tersebut untuk mengenang mereka yang pernah dimakamkan di Ereveld Tjililitan, semoga mendapat tempat yang layak di sisi Tuhan YME.

No comments: