Saturday, September 21, 2024

Wisata Pemakaman PD II (7): Ereveld Kalibanteng

Menuntaskan perjalanan saya ke 7 ereveld di Indonesia, dari Ereveld Candi, saya menuju ke Ereveld Kalibanteng, yang terletak tak jauh dari bandara Ahmad Yani Semarang, bersebelahan dengan Kawasan Pusdik Penerbad, Pangkalan Udara Ahmad Yani. Secara resmi, Ereveld Kalibanteng beralamat di Jl. Siliwangi 293, Semarang, terletak di tepi jalan raya yang merupakan bagian dari Jalan Raya Pos yang dibangun oleh H.W. Daendels. 

Diresmikan pada tanggal 22 April 1949, tempat ini merupakan tempat peristirahatan 3100 korban perang, sebagian besar merupakan korban sipil dari kamp konsentrasi tentara Jepang di Jawa Tengah, seperti Ambarawa, Banyubiru, Lampersari, Halmahera, Bangkong, Gedangan, dan Karangpanas. Pada saat penggabungan ereveld di Indonesia, Ereveld Kalibanteng menerima pemindahan makam dari ereveld di Tegal, Kobong, Blora, Tarakan (1964), Balikpapan (1967), Palembang (1967), dan Makassar (1968).

Saat tiba di Ereveld Kalibanteng, pintu gerbang dalam keadaan terbuka, sehingga saya masuk ke dalam. Saya bertemu pak Eko, penjaga ereveld yang sedang merawat tanaman. Setelah menjelaskan maksud saya berkunjung ke ereveld, Pak Eko mempersilakan saya untuk melihat ke dalam.

Ereveld Kalibanteng yang dikelilingi pohon cemara

Ereveld ini berbentuk segitiga sama sisi, dengan sekeliling lahan ereveld terdapat parit besar yang berisi air. Menurut pak Eko, air pada parit ini berasal dari sungai, dan digunakan untuk perawatan tanaman di Ereveld. Jika melihat dari dalam ke arah jalan raya, akan terlihat pemandangan Gunung Ungaran di kejauhan. Namun kontras dengan Ereveld Candi, Ereveld Kalibanteng terletak di dataran dekat pantai, hanya beberapa ratus meter dari tepi laut. Salah satu keunikan lain dari ereveld ini adalah deretan pohon cemara yang mengelilingi lahan ereveld.

Bagian Malam Perempuan di Sisi Barat Ereveld

Ereveld Kalibanteng dikenal sebagai “Vrouwen-Ereveld” (Ereveld Perempuan), karena banyaknya wanita dan anak-anak yang dimakamkan di tempat ini. di mana di sisi barat digunakan untuk makam wanita, dan di sisi timur digunakan mayoritas untuk makam pria. Sedangkan makam anak-anak terdapat di area tengah, menghadap ke jalan raya. Di Ereveld Kalibanteng juga terdapat pemakaman muslim, yang terletak di sisi belakang ereveld.

Monumen Peti Mati untuk
Korban Perempuan Tak Dikenal

Di dekat tiang bendera terdapat patung batu berbentuk peti mati. Jika biasanya peti mati tersebut untuk mengenang prajurit tak dikenal, kali ini peti mati tersebut ditujukan khusus untuk mengenang korban perempuan tak dikenal. Di seberang peti mati terdapat lempengan batu peringatan dari marmer putih dengan teks yang ditulis dalam bahasa Belanda dan bahasa Inggris yang berbunyi “Ter eerbiedige negadachtenis aan de vele ongenoemden die hun leven offerden en niet rusten op de erevelden.”, yang bermakna untuk mengenang mereka yang tidak disebutkan namanya yang mengorbankan hidup mereka dan tidak beristirahat di Taman Makam Kehormatan.

Monumen "Jongen Kampen"

Berjalan ke arah belakang melintasi jalur yang diapit 18 pilar, terlihat dua buah monumen yang mencerminkan keberadaan Perempuan dan anak-anak yang menjadi korban perang. Monumen pertama adalah monument “Jongen Kampen” (Kamp Anak Laki-Laki) karya Anton Beysens pada tahun 1988. Monumen ini untuk mengenang para anak lelaki yang dipisahkan dari ibunya dan gugur di kamp konsentrasi laki-laki, seperti di di Ambarawa, Bangkong, Gedongjati, dan Cimahi. Patung perunggu tersebut menunjukkan seorang anak lelaki kurus yang membawa pacul di atas pundaknya, bersandar pada kapak, dan tubuhnya hanya dibalut selembar kain. Terdapat tulisan pada monumen itu “Zij waren nog zo jong”, yang bermakna “Mereka masih sangat muda”.

Monumen Perempuan

Di seberang monumen ini terdapat taman dengan monumen dua orang wanita buatan Marian Gobius pada tahun 1954. Monumen perunggu tersebut menggambarkan seorang wanita yang bangga dan berdiri tegap, tengah memegang wanita lain yang membungkuk, seolah berusaha menenangkan. Mereka sama-sama menggandeng tangan seorang anak kecil yang berada di antara mereka berdua. Monumen ini menggambarkan perasaan senasib antara Wanita dan anak-anaknya, khususnya di masa sulit tersebut. 

Wisata Pemakaman PD II (6): Ereveld Candi

Setelah beberapa waktu, akhirnya saya berkesempatan ke Semarang (lebih cepat daripada perkiraan saya), yang saya manfaatkan untuk menuntaskan perjalanan mengunjungi 7 Ereveld yang ada di Indonesia. Pagi itu cuaca sangat cerah, ketika saya memulai perjalanan menuju Ereveld Candi.

Ereveld Candi terletak di Jl. Taman Jendral Sudirman 4, Bendungan Gajahmungkur, Candi Baru, di atas bukit di sisi selatan Kota Semarang. Ereveld ini dibangun atas inisiatif pasukan pertama Belanda dari Tijgerbrigade (T-Brigade) yang mendarat di Semarang pada 12 Maret 1946. Mereka memilih tempat pemakaman untuk rekan-rekan mereka yang gugur di puncak bukit Candi, yang saat itu merupakan Tillemaplein (Taman Tillema, diberi nama dari Hendrik Freerk Tillema, pendiri air minum kemasan pertama di Semarang). Pemakaman tersebut dirancang oleh Letnan Satu Ir. H. Stippel dari pasukan zeni. Pemakaman ini diresmikan pada bulan Maret 1947 dan diberi nama Ereveld Tillemaplein. Namun pada tahun 1967, atas permintaan dari pihak Indonesia, nama ereveld ini berubah menjadi Ereveld Candi.

Ereveld Candi di bawah naungan Gunung Ungaran

Ketika saya tiba di gerbang ereveld ini, yang pertama kali menarik perhatian adalah panorama gunung Ungaran yang seolah menaungi Ereveld Candi. Ini bukan satu-satunya ereveld yang memiliki panorama gunung, karena Ereveld Pandu dan Ereveld Leuwigajah pun juga dinaungi oleh gunung. Namun keunikan dari Ereveld Candi adalah letaknya di lereng bukit, sehingga lahannya dibentuk seperti terasering, dengan 5 teras yang berbentuk setengah lingkaran, Masing-masing teras dihubungkan dengan tangga dari batu alam. 

Karena saya tidak melihat petugas di dekat pintu (dan bel pintu sepertinya tidak berfungsi), saya mencoba membuka gerbang yang tidak dikunci. Dari jauh terlihat ada beberapa petugas sedang melakukan perawatan tanaman ereveld. Di kantor ereveld ternyata ada petugas yang sedang bekerja di depan computer, yang kemudian mengijinkan saya untuk melihat ke dalam ereveld. 

Dari informasi yang saya baca dari berbagai sumber, tempat ini merupakan satu-satunya ereveld khusus militer di Indonesia. Dan sejauh mata memandang nisan-nisan yang ada di Ereveld Candi, terlihat bahwa semua yang dimakamkan di tempat ini adalah laki-laki, tidak ada perempuan. Demikian juga tidak ada orang muslim yang dimakamkan di sini, hanya ada beberapa makam Yahudi dan Tionghoa.

Pada awal didirikan, tempat ini hanya ditujukan untuk memakamkan kembali seluruh tentara yang gugur masa perang kemerdekaan di Jawa Tengah. Namun pada akhirnya tempat ini digunakan sebagai tempat peristirahatan terakhir para tentara yang gugur di Jawa Tengah pada masa Perang Dunia II. Saat ini hampir 1000 anggota tentara Belanda (KNIL) yang dimakamkan di tempat ini, termasuk menampung makam yang dipindahkan dari pemakaman tentara Belanda di Kampung Ploso (Pacitan), Gundih (Semarang), Mario Tjamba (Maros), Patjinang (Makassar), dan Palembang, antara tahun 1960-1970.

Monumen Salib

Tempat ini memiliki monumen salib berwarna putih berukuran besar yang terletak di bagian tengah pemakaman, dihiasi jalan setapak yang terbentuk dari batu-batu alam. Di bagian kaki salib tersebut terdapat prasasti dengan tulisan “Voor Veiligheid en Recht”, atau berarti “For Security and Justice”, yang menjadi titik fokus untuk merefleksikan kedua nilai ini. Pada tangga menuju salib, terdapat plakat yang menandakan ucapan dari Palang Merah Semarang. Pada tangga sisi kanan menuju salib, terdapat plakat bertulisan “Uw plichtsbetrachting maakte ons werk van naastenliefde mogelijk” dari Roode Kruis Semarang (Palang Merah Semarang pada masa Agresi Militer), yang bermakna “Pengabdian Anda pada tugas membuat pekerjaan amal kami bisa terwujud.”

Seperti di ereveld lain, terdapat monument untuk mengenang mereka yang gugur dalam perang namun tak dimakamkan di ereveld. Jika di ereveld lain monumen tersebut dalam bentuk patung peti mati, maka di Ereveld Candi monument tersebut dalam bentuk sebongkah batu berbentuk persegi di dekat tiang bendera, yang bertuliskan “Ter eerbiedige nagedachtenis aan de velle ongenoemden die hun leven offerden en niet rusten op de erevelden.” (Untuk mengenang banyak orang yang tidak disebutkan namanya yang mengorbankan hidup mereka dan tidak beristirahat di Taman Makam Kehormatan). 

Monumen II-13 R.I.

Terdapat juga monumen untuk memperingati gugurnya 8 tentara dari Batalyon II – 13 R.I. (Regiment Infanterie), atau dikenal sebagai Batalyon Limburg. Delapan orang yang namanya terdapat di monumen tersebut sepertinya tidak dimakamkan di ereveld Candi. Batalyon II-13 sebelumnya memperkuat tentara Sekutu di Munich-Gladbach, sebelum diberangkatkan menuju Indonesia melalui Inggris pada 12 Oktober 1945, dan mendarat di Semarang pada 9 Maret 1946. Selama bertugas di Indonesia, mereka berada di bawah pimpinan Letnan Kolonel D.A. Erdman. Mereka sempat ditugaskan di Semarang, Salatiga, Pameungpeuk, Garut, Darmaredja, Gempol, dan Plered, sebelum pada 26 Februari 1948 mereka dipulangkan ke Belanda. 


Saturday, August 24, 2024

Sultan Agung vs VOC di "Kota Tahi"

Anda mungkin sering mendengar cerita pertempuran antara pasukan Mataram Islam yang dikirim Sultan Agung untuk berperan melawan VOC di Batavia yang berakhir dengan kekalahan pasukan Mataram karena dilempari tinja oleh pasukan VOC. Tapi pernahkah Anda mencari tahu, di mana persisnya lokasi pertempuran dengan amunisi aneh tersebut?

Di tanggal 11 Agustus 2024 yang lalu, Sahabat Museum melakukan Plesiran Tempo Doeloe bertajuk Koetika Kompeni Terpodjok, dengan mengunjungi bekas lokasi Fort Hollandia, sebuah bastion yang berada di ujung terluar tembok kota Batavia, yang menjadi lokasi pertempuran antara pasukan Mataram dan pasukan VOC tersebut. Namun sebelum tiba di bekas lokasi Fort Hollandia, sejenak kita akan kilas balik perjalanan pasukan Mataram menuju Batavia di tahun 1628, di bawah pimpinan Ki Mandurareja. Perjalanan dari keraton Mataram di Kerto menuju Batavia memakan waktu selama 3 bulan, melalui Kulon Progo-Prembun-Pekalongan-Tegal-Cirebon-Sumedang- Cianjur-Pakuan (Bogor), untuk kemudian naik rakit menyusuri Ciliwung menuju Batavia. Tak hanya pasukan berjalan kaki, Sultan Agung juga mengirim pasukan pendahuluan melalui laut yang dipimpin Tumenggung Bahureksa. 

Di bulan Agustus 1628, pasukan Mataram telah mengepung Kota Batavia selama sebulan penuh. Pada malam tanggal 21 September 1628, para prajurit Mataram berusaha mendekati Fort Hollandia (atau lebih tepatnya Redoute Hollandia) yang merupakan pertahanan terakhir VOC. Mereka berusaha memanjat kubu atau menghancurkan tembok, serta menembaki kubu dengan bedil laras panjang. Di dalam kubu, Sersan Hans Madelijn beserta 24 serdadunya mencoba bertahan. Pihak VOC sempat kewalahan, hingga mereka kehabisan amunisi. Madelijn memiliki gagasan sinting. Ia meminta anak buahnya membawa sekeranjang penuh tinja. Dengan putus asa, pasukan VOC melemparkan kantong berisi tinja ke tubuh-tubuh prajurit Mataram yang merayapi dinding kubu Hollandia. Sekejap pasukan Mataram lari tunggang-langgang karena terkena peluru tinja tersebut. Hari berikutnya, pasukan Mataram mundur, dan serangan pun gagal. Inilah yang menjadi sumber nama “Kota Tahi”, julukan pasukan Mataram untuk kubu Hollandia.

Kisah pertempuran tersebut tercatat dalam beberapa sumber. Di antaranya adalah laporan Gubernur Jendral Jan Pieterzoon Coen pada Dewan Hindia per 3 November 1628, Namun dalam laporan tersebut, Coen tidak menyebutkan adanya amunisi unik yang digunakan untuk menghalau pasukan Mataram. Kisah tersebut tertulis dalam sebuah buku berjudul Die Gesantschaft der Ost-Indischen Geselschaft in den Vereinigten Niederlaendern an Tartarischen Cham (terbit tahun 1669), serta dalam Babad Tanah Jawi. Di abad berikutnya, kisah ini juga tertulis dalam buku History of Java Volume II karya Thomas Stamford Raffles, serta dalam buku Nieuw Nederlandsch Biografisch Woordenboek, yang terbit pada 1911.

Rombongan Batmus di Situs Bekas Kubu Hollandia

Lalu, di mana lokasi sesungguhnya kubu Redoute Hollandia? Napak tilas dalam Pelesiran Tempo Doeloe kali ini membawa kami menelusuri Jl. Pinangsia Timur hingga ke ujung, blusukan di antara kompleks ruko dan pemukiman padat. Di ujung timur Jl. Pinangsia Timur, dibatasi oleh aliran Sungai Ciliwung, terdapat tapak bekas kubu Hollandia. Jika dibandingkan dengan peta lama dari jaman VOC, aliran Sungai Ciliwung yang pernah membatasi kubu Hollandia masih memiliki alur dan pola yang sama dengan yang kami lihat saat ini.

Lalu, seperti apakah rupa bangunan kubu Hollandia tatkala Mataram menyerbu Batavia pada 1628? Bang Ade Purnama sebagai penggerak Sahabat Museum menunjukkan gambar bahwa terdapat 2 rujukan yang memberikan gambaran berbeda. Dalam sebuah sumber tertulis, terdapat informasi bahwa kubu tersebut berbentuk Menara dengan pagar deretan kayu berujung runcing. Rujukan lain dari peta karya Frans Florisz. van Berckenrode berangka tahun 1627) menunjukkan bahwa pertahanan di timur kota itu berupa dinding batu yang melintang dari selatan hingga ke utara.  Di masa Gubernur Jendral Johan Camphuijs, kubu tersebut pernah dimasukkan dalam daftar monumen bersejarah. Namun disayangkan, bangunan tersebut menghilang di tahun 1766.

Posisi Situs Bekas Kubu Hollandia dari arah Jembatan Manggis

Setelah mendapatkan banyak cerita tentang pertempuran prajurit Mataram dan serdadu VOC di titik yang merupakan bekas tapak kubu Hollandia, kami berjalan kaki menyeberangi Sungai Ciliwung, memasuki Jl. Manggis 1, menuju Jembatan Manggis. Dari arah Jembatan Manggis, terlihat lebih jelas bekas lokasi kubu Hollandia dari arah Sungai Ciliwung. Bisa dibayangkan, kurang lebih demikianlah sudut pandang pasukan Mataram saat mendekati kubu Hollandia untuk melakukan penyerbuan. Dan hari ini, tempat yang pernah menjadi saksi sejarah pertempuran legendaris antara Mataram dan VOC tersebut hanya menyisakan keheningan tanpa jejak.


Sunday, August 18, 2024

Napak Tilas Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

 16 Agustus 1945 dini hari. Kala itu para pemuda dari perkumpulan "Menteng 31" yang terdiri dari Soekarni, Wikana dan Chaerul Saleh "menculik" Bung Karno dan Bung Hatta, untuk diamankan di Rengasdengklok, 81 km dari Jakarta. Tujuan mereka adalah untuk mendesak Bung Karno dan Bung Hatta agar mempercepat proklamasi kemerdekaan. Mengapa ke Rengasdengklok? Karena lokasinya yang cukup terpencil, namun tak terlalu jauh dari Jakarta. Selain itu, di Rengasdengklok terdapat markas PETA. 

Gedung Joang 45 di Jl. Menteng Raya No. 31, Jakarta

Di manakah markas para pemuda “Menteng 31”? Bangunan yang berlokasi di jantung kota Jakarta ini semula merupakan hotel elite yang dibangun oleh L.C. Schomper pada tahun 1938, dan dikenal sebagai Hotel Schomper I. Pada masanya, hotel ini merupakan hotel yang megah. Saat Belanda menyerah di tahun 1942, bangunan hotel dikuasai oleh Badan Propaganda Jepang (Gunseikanbu Sendebu).  Di bulan Juli 1942, para pemuda yang terdiri dari Soekarni, Chaerul Saleh, Adam Malik dan AM Hanafi meminta ijin kepada Jepang untuk memanfaatkan Gedung tersebut sebagai asrama, yang kemudian dikenal sebagai Asrama Menteng 31. Asrama ini kemudian berfungsi sebagai tempat Pendidikan politik kebangsaan, dengan para pengajar di antaranya Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. Moh. Yamin, Mr. Achmad Subarjo, dll. Tahun 1943, Gedung Menteng 31 kemudian dijadikan sebagai markas Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA). Setahun kemudian, PUTERA dibubarkan dan diganti dengan organisasi baru Bernama Jawa Hokokai (Kebangkitan Rakyat Jawa), dan berkantor di Gedung tersebut.

Rumah Penculikan Bung Karno dan Bung Hatta di Rengasdengklok

Selama di Rengasdengklok, Bung Karno dan Bung Hatta tinggal di rumah milik Djiaw Kie Siong. Konon rencana semula Bung karno dan Bung Hatta akan ditempatkan di markas PETA di Rengasdengklok, namun karena kondisinya yang kurang layak sebagai tempat tinggal, maka para pemuda mengalihkan Bung Karno dan keluarga beserta Bung Hatta ke rumah Babah Djiaw.

Bersama Pak Yanto dan Bu Lani

Rumah milik Babah Djiaw di Rengasdengklok pernah saya singgahi bersama rombongan WalkIndies, dalam perjalanan menuju Candi Batujaya di pertengahan April 2024. Dengan sambutan hangat dari pak Yanto, cucu dari Babah Djiaw, serta ibu Lani istrinya, serta kondisi rumah bersejarah yang masih terjaga, kami malah membayangkan jangan-jangan kata “penculikan” sebenarnya agak berlebihan. Mungkin di Rengasdenglok Bung Karno, Bung Hatta dan para pemuda sebenarnya hanya “cangkrukan” sambil merokok dan makan gorengan. Sambil “cangkrukan”, bisa jadi Bung Karno dan Bung Hatta membujuk para pemuda agar bersabar, karena mereka tidak ingin terjadi pertumpahan darah jika proklamasi dipersiapkan secara terburu-buru.

16 Agustus 1945 tengah malam, akhirnya Bung Karno, Bung Hatta dan para pemuda kembali ke Jakarta. Setelah mereka mengetahui bahwa Jepang tidak memberikan ijin untuk mempersiapkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia seperti yang telah dijanjikan Marsekal Terauchi di Dalat, mereka menuju kediaman Laksamana Muda Tadashi Maeda, perwira penghubung Angkatan Laut Jepang dan Angkatan Darat Jepang.

Museum Perumusan Naskah Proklamasi

Di ruang makan rumah Maeda, dilakukan penyusunan teks proklamasi oleh Soekarno, Hatta, dan Achmad Soebardjo. Setelah konsep yang ditulis tangan dirasa cukup, Sayuti Melik mengetik naskah tersebut, dengan diawasi oleh B.M. Diah. Naskah proklamasi ketikan Sayuti Melik ini kemudian ditandatangani Bung Karno dan Bung Hatta di atas piano yang berada di rumah tersebut. Selanjutnya naskah ini pun dibacakan pada 17 Agustus 1945 pukul 10 pagi di kediaman Bung Karno Jl. Pegangsaan Timur 56.

Naskah Proklamasi Ketikan Sayuti Melik

Setelah proklamasi Kemerdekaan, Rumah Laksamana Maeda sempat dijadikan Markas Tentara Inggris, dan sejak itu beberapa kali beralih fungsi. Baru pada tahun 1992 rumah yang terletak di Jl. Imam Bonjol No. 1 ini ditetapkan sebagai Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Satu-satunya yang masih asli dari peristiwa perumusan naskah proklamasi tahun 1945 adalah bangunan tersebut. Sedangkan benda-benda seperti kursi, meja, mesin ketik, pulpen, serta piano yang digunakan pada masa itu sudah tidak ketahuan lagi rimbanya, sehingga yang dipamerkan di museum hanyalah replikanya saja.

Monumen Proklamator

17 Agustus 1945, pukul 10 pagi. Di kediamannya di Jl. Pegangsaan Timur No. 56, Bung Karno membacakan Naskah Proklamasi, membuka babak baru dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Pembacaan Naskah Proklamasi ini selanjutnya diikuti oleh pengibaran bendera Merah Putih yang dijahit Ibu Fatmawati oleh Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed. Pengibaran ini diiringi dengan lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan oleh seluruh hadirin.

Tugu Petir Tempat Bung Karno Berdiri Saat Membacakan Proklamasi

Jika hari ini Anda mencari tahu di apakah kediaman Bung Karno di Pegangsaan Timur itu masih ada, bentuk dan suasananya sudah tidak sama dengan bentuk dan suasana di tahun 1945. Saat ini lokasi tersebut sudah menjadi Taman Proklamasi, dan rumah yang menjadi kediaman Bung Karno di tahun 1945 sudah tidak ada. Pada tahun 1961, rumah tersebut dibongkar untuk dijadikan Gedung Pola Pembangunan Semesta, yang menjadi tempat koordinasi program Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap Pertama 1961-1969. 

Tempat Bung Karno berdiri ketika membacakan naskah proklamasi ditandai dengan Tugu Petir, yang dibangun di tahun 1961. Pada tugu terdapat plakat dengan tulisan "Disinilah Dibatjakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta". Di taman tersebut terdapat patung Bung Karno dan Bung Hatta berukuran besar, yang menggambarkan suasana pembacaan naskah proklamasi. Di antara patung Bung Karno dan Bung Hatta, terdapat patung naskah proklamasi versi ketikan oleh Sayuti Melik, terbuat dari lempengan batu marmer hitam. Monumen ini diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 17 Agustus 1980.


Monday, April 8, 2024

Jalan-Jalan ke Pabrik Pesawat Satu-Satunya di ASEAN

 "Siapa mau jadi pilot?"

Pertanyaan pemandu program edutainment di PT Dirgantara Indonesia ini sontak membuat pengunjung anak-anak berlomba-lomba mengacungkan tangan. Saya, satu-satunya peserta yang tidak membawa anak, barangkali sama sumringahnya dengan mereka, apalagi saat bis Bandros yang kami gunakan masuk ke area pabrik.

Program edutainment PTDI merupakan program memperkenalkan industri dirgantara PTDI sebagai satu-satunya pabrik pesawat di ASEAN. Jika factory tour umumnya dilakukan secara berombongan dengan mengirimkan surat resmi terlebih dahulu, program edutainment memungkinkan peserta perorangan untuk mengikuti factory tour di akhir pekan. Dan karena pesawat adalah cinta pertama saya pada teknologi, jadi saya harus menyegerakan untuk ikut program edutainment ini -- sebelum program ini menghilang tanpa jejak.

Memasuki area pabrik PTDI, pemandu menjelaskan tahapan pembuatan pesawat. Hanggar pertama adalah produksi fuselage yang akan menjadi badan pesawat. Fuselage dan bagian pesawat lainnya seperti sayap, ekor, dan roda pendaratan kemudian dirakit di hanggar berikutnya, serta melengkapi pesawat dengan mesin, instrumentasi, dan interior yang dibutuhkan. Setelah melewati tahap ini, pesawat akan dicat sesuai permintaan pemesan.

Hanggar berikutnya adalah tempat pengujian pesawat yang sudah dirakit. Sebelum diserahkan kepada pemesan, pesawat akan diinspeksi dan diujicoba terlebih dahulu untuk memastikan semua sistemnya berjalan dengan baik. Di dalam hanggar terdapat CN 235 flying test bed yang digunakan untuk uji coba. Sekilas saya cari di internet, kemungkinan pesawat ini digunakan untuk ujicoba green avtur.

Sebelum lanjut ke tahapan berikutnya, bis Bandros berhenti di dekat pesawat-pesawat yang parkir di depan hanggar. Pengunjung diperkenankan turun dan melihat wujud nyata pesawat produksi PTDI, walaupun tidak bisa terlalu dekat karena diberi pembatas. Saya mengenali pesawat pertama yang terlihat, kok ada Gatotkaca? Bukan, itu bukan N250 Gatotkaca yang pulang kampung dari Museum Dirgantara Mandala. Pesawat dengan bentuk dan warna yang sama dengan Gatotkaca tersebut adalah N250 Krincingwesi, "adik" N250 Gatotkaca.

Atas: N250 Krincingwesi
Bawah: N250 Gatotkaca di Museum Dirgantara Mandala

N250 merupakan pesawat penumpang turboprop 2 mesin karya BJ Habibie, sebagai wujud cita-cita agar Indonesia mampu membuat pesawat sendiri. Hal ini sesuai dengan kondisi geografis Indonesia yang berbentuk negara kepulauan, akan lebih mudah jika terkoneksi melalui udara. Pesawat yang diproduksi PTDI ini digadang-gadang akan menjadi tonggak sejarah kejayaan kedirgantaraan Indonesia. 

N250 Gatotkaca sebagai purwarupa pertama terbang perdana pada 10 Agustus 1995 di Bandara Husein Sastranegara, Bandung. Pesawat tersebut sempat mengikuti beberapa airshow, dan menjadi bintang Indonesian Air Show 1996 di Cengkareng. Untuk pengembangan selanjutnya, dibuat purwarupa kedua N250 Krincingwesi, yang terbang perdana pada 19 Desember 1996. Krincingwesi dibuat sedikit lebih panjang daripada Gatotkaca, sehingga memiliki kapasitas lebih besar. Namun bobotnya lebih ringan, karena tata letaknya dibuat lebih efisien. Selain itu desain strukturnya juga dibuat lebih halus.

Pada 1997, seiring krisis moneter yang melanda Indonesia, Proyek N250 terpaksa harus berhenti. N250 Gatotkaca dan N250 Krincingwesi terparkir selama seperempat abad di PTDI. Atas permintaan Panglima TNI Hadi Tjahjanto, pada tahun 2020 N250 Gatotkaca dipindahkan ke Yogyakarta menjadi penghuni Museum Dirgantara Mandala, sebagai sarana edukasi masyarakat bahwa bangsa kita telah mampu merancang dan membuat pesawat sendiri. Sedangkan Krincingwesi masih berada di PTDI, dan turut menjadi sarana edukasi bagi para peserta factory tour.

CN 235 Flying Test Bed

Selain Krincingwesi, di parkiran hanggar terdapat CN 235 flying test bed yang sudah tidak digunakan lagi, CN 235 merupakan signature product pesawat penumpang PTDI yang sukses. Dikembangkan pada 1979 oleh IPTN (nama PTDI pada masa itu) dan CASA (sekarang menjadi Airbus Defense &Space), prototipe CN 235 buatan IPTN bernama Tetuko terbang pertama kali pada Desember 1983. Produksi pertama dilakukan pada 1986, dan saat ini CN 235 sudah diproduksi dengan berbagai varian dan digunakan di berbagai negara. 

Peragaan MALE di Ruang Mock Up

Ada benda panjang berwarna hitam di sisi CN 235. Benda tersebut bukan rudal, melainkan purwarupa drone jenis Medium Altitude Long Endurance (MALE) bernama "Elang Hitam". Drone ini hasil pengembangan Konsorsium Kementerian Pertahanan, TNI Angkatan Udara, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), PT Dirgantara Indonesia (PTDI), PT LEN Industri dan ITB. Purwarupa drone ini telah di-roll out pada 30 Desember 2019. Pesawat nirawak ini direncanakan dapaf dimanfaatkan untuk menangkal ancaman territorial, pengawasan cuaca dan pencegahan kebakaran hutan.

Dari apron, kami naik Bandros menuju hanggar pemeliharaan. Saat kami berkunjung, salah satu pesawat yang ada di dalam adalah Helikopter Super Puma. Helikopter NAS-332 Super Puma merupakan pengembangan SA-330 Puma kerjasama IPTN dengan Aeropastiale (sekarang Airbus Helicopters) dengan mesin yang diperbarui serta kabin penumpang diperbesar. Super Puma pertama kali terbang pada 1978, dan sejak 1980 menggantikan SA-330 Puma, Helikopter dengan 2 mesin ini dapat membawa 29 penumpang, serta dapat dipersenjatai dengan pod senapan, roket, dan misil, serta senjata untuk perang anti serangan laut. 

Informasi N219 di Ruang Mock Up

Hanggar terakhir sebelum masuk ruang mock up adalah tempat perakitan N219. N219 Nurtanio adalah pesawat multiguna generasi baru yang sepenuhnya karya anak bangsa. Dirancang sebagai pesawat angkutan penumpang, pesawat bermesin ganda turboprop berkapasitas 19 penumpang ini memiliki luas kabin terbesar di kelasnya. Ide dan desain N219 dikembangkan oleh PTDI, dengan pengembangan program dilakukan oleh PTDI dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. N219 dirancang dengan fixed tricycle landing gear, memungkinkan pesawat ini untuk melakukan Short Take-off and Landing (STOL), serta melakukan pendaratan dan lepas landas di medan yang sulit, seperti di bandara di ketinggian, atau di landasan bandara perintis. Purwarupa dari N219 telah melakukan uji terbang perdana pada 16 Agustus 2017, dan masih menjalani serangkaian pengujian sertifikasi, untuk menjamin keamanan dan keselamatan.

Informasi KF-21 Boramae di Ruang Mock Up

Ruang mock up merupakan ruang terakhir sebelum factory tour berakhir. Di sini terdapat informasi lebih detail tentang produk PTDI, seperti PUNA MALE, UAV Wulung, N219, CN 235 dalam berbagai varian, serta NC 212. Di antara pesawat yang diperkenalkan, terdapat KFX/IFX, pesawat hasil kerjasama PTDI dengan Korea Aerospace Industries, yang dikenal juga sebagai KF-21 Boramae. Program pesawat tempur ini didanai 80% oleh Republik Korea dan 20% oleh Republik Indonesia. 

Mock Up CN 235 ex Merpati Nusantara Airlines

Bagi yang ingin tahu seperti apa kokpit sebuah pesawat, ruangan ini memiliki mock up CN 235 yang pernah dioperasikan oleh Merpati Nusantara Airlines. Interiornya sudah dikosongkan, menyisakan galley yang digunakan untuk menyajikan makanan. Mock up ini tentunya menjadi favorit anak-anak, yang langsung menyerbu untuk bergantian menjajal kokpitnya. Sementara saya mencoba mengingat, jangan-jangan dulu saya pernah naik pesawat ini dari Halim menuju bandara Tunggul Wulung pakai mampir di Husein Sastranegara…