Wednesday, February 14, 2024

Museum Raja Ali Haji Batam

Di Batam ada museum? Pertanyaan ini terdengar iseng, apa mungkin di Kota Industri berbentuk kepulauan seperti Batam, yang nota bene bukan ibukota provinsi, ada museumnya. Suprisingly… ada dong!


Museum Raja Ali Haji adalah museum daerah milik Pemerintah Kota Batam. Terletak di Dataran Engku Putri, Kawasan Alun-Alun Batam Center, museum menempati bangunan yang pernah digunakan sebagai tempat pelaksanaan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Tingkat Nasional tahun 2014. Dari jauh, bentuk museum serupa dengan masjid, yang terdiri dari kubah dan Menara berwarna putih. Di depan museum juga terdapat mimbar yang digunakan untuk pelaksanaan MTQ 204. Museum Kota Batam Raja Ali Haji dibuka pada 18 Desember 2020, bertepatan dengan peringatan Hari Jadi Kota Batam ke-191. 

Pembukaan museum ditandai dengan Walikota Batam Muhammad Rudi membuka tirai sketsa wajah Raja Isa bin Raja Ali, atau dikenal sebagai Nong Isa. Nong Isa adalah penguasa pertama Pulau Batam yang menerima mandat Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah dari Kesultanan Lingga untuk memerintah Kawasan Nongsa. Surat mandat tersebut diterima pada 18 Desember 1829, yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kota Batam. Sejatinya tak ada yang tahu wajah asli Nong Isa, karena tidak ada foto atau lukisan beliau. Untuk itu pemerintah menghubungi ahli waris Nong Isa untuk membuat sketsa wajah beliau. Pembuatan sketsa memakan waktu cukup lama, mencapai 40 kali revisi hingga menjadi sketsa yang bisa kita lihat di museum saat ini.


Semula ada 3 pilihan nama yang dipersiapkan untuk museum, yaitu Raja Haji Fisabillilah, Raja Ali Haji, dan Raja Ali Kelana. Walikota Batam saat itu, Muhammad Rudi, memutuskan museum diberi nama Raja Ali Haji. Raja Ali Haji adalah pahlawan nasional asal Kepulauan Riau. Lahir di Pulau Penyengat pada tahun 1808, beliau adalah ulama, sejarawan, dan pujangga yang merupakan cucu Raja Haji Fisabilillah, serta memiliki keturunan bangsawan Bugis. Beliau merupakan pencatat pertama dasar-dasar tata Bahasa Melayu, serta merupakan penulis buku Gurindam Dua Belas. Raja Ali Haji wafat di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau pada 1873, dan ditetapkan sebagai pahlawan Nasional pada 5 November 2004.

Koleksi museum ditata sesuai linimasa sejarah Pulau Batam, sejak masa Kerajaan Melayu Riau-Lingga, masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, awal masa kemerdekaan, masa Otorita Batam, hingga masa kini. Tidak ada biaya tiket untuk masuk ke museum, pengunjung cukup mengisi buku tamu.  Bagi saya yang lebih sering melihat candi dan arca batu dari jaman klasik, menjelajahi budaya Melayu di museum ini menjadi menarik, dengan hal-hal baru yang saya temui. 


Salah satunya adalah (replika) Nasi Besar. Nasi Besar merupakan semacam tumpeng yang terbuat dari ketan berwarna kuning berukuran diameter 34 cm dan tinggi 82 cm, yang disajikan di atas pahar/dulang berkaki. Hiasannya adalah bunga puncak yang ditancapkan di sisi tengah, kemudian bunga telur yang harus berjumlah ganjil dan maksimal 25 buah, sesuai jumlah para Rasul dalam agama Islam. Nama Nasi Besar bermakna bahwa hidangan ini disajikan dalam hajatan besar seperti resepsi pernikahan, khitanan, atau khatam Al Quran, sebagai tanda kehalusan budi pekerti Masyarakat Melayu.

Koleksi yang sangat menarik perhatian adalah Cogan, yaitu regalia atau symbol kebesaran Kerajaan Johor-Riau-Lingga-Pahang, yang saat itu wilayahnya meliputi Kepulauan Riau, Riau Daratan, Jambi, Malaysia, dan Singapura. Cogan hanya dikeluarkan untuk diarak saat penabalan para raja. Bentuknya berupa lempengan seperti daun sirih, dengan ukuran besar mencapai 175 cm x 165 cm. Coba terbuat dari tembaga berhias emas, perak dan permata, dengan kedua sisinya terdapat ukiran timbul dalam aksara Arab berbahasa Melayu atau Arab Melayu. Cogan ini dibuat pada tahun 2014 bersamaan dengan event MTQ, semula tersimpan di Museum Nasional, dan menjadi koleksi museum sejak 15 November 2019.


Museum juga memiliki koleksi Topeng Makyong yang sudah berusia 260 tahun. Mak Yong adalah seni teater tradisional masyarakat Melayu khas Pulau Mantang, yang berasal dari daerah Nara Yala, Pattani (Thailand Selatan). Mak Yong ditampilkan dengan menggabungkan unsur ritual, tari, nyanyi dan musik, dengan cerita bertopik kehidupan istana, lengkap dengan pesan moral yang hendak disampaikan. Topeng Mak Yong yang dipamerkan di tata pamer Khazanah Melayu ini dibuat dari kayu dan bubur kertas, dan diperkirakan dibuat tahun 1960-an. Topeng ini diturunkan secara turun-temurun oleh generasi sebelumnya. Untuk mengiringi Teater Mak Yong, digunakan alat musik Gedombak yang terbuat dari kayu, kulit dan rotan.

Sebelum memasuki lorong untuk menuju ruang koleksi, di lobi museum pengunjung disambut miniature kayu kapal berbendera Belanda, buatan Hamdan dari Pulau Galang. Kapal ini adalah HMS Malaka’s Welvaren dengan komandan Arnoldus Lenker, yang ditenggelamkan Kerajaan Lingga karena melanggar perjanjian dagang. Peristiwa tersebut dikenal sebagai Perang Sosoh, yang dipimpin Raja Haji Fisabilliah dari Pulau Bayan, untuk merebut kembali Pulau Penyengat. Kegigihan Raja Haji Fisabillillah ini membuat beliau dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 1997.


Kemudian terdapat foto-foto dari jaman Jepang, di mana di Pulau Rempang-Galang sempat menjadi tempat penampungan tentara Jepang yang menjadi tawanan Sekutu antara tahun 1945-1946. Terdapat foto tugu Minamisebo, monument saksi Sejarah keberadaan serdadu Jepang di Pulau Rempang dan Galang. Kurang lebih 112.708 orang direpatriasi, sedangkan 128 di antaranya wafat di Rempang dan Galang.

Di masa kemerdekaan, Batam menjadi kota administrative. Dengan posisinya yang strategis dan dekat dengan Singapura, Pemerintah Indonesia bermaksud membangun Batam sebagai proyek nasional. Tahun 1970, Pertamina di bawah kepemimpinan Ibnu Sutowo diberi tugas untuk menjadikan Pulau Batam sebagai pangkalan logistic dan operasional yang berhubungan dengan eksplorasi dan eksploitasi minyak lepas pantai, sekaligus merintis Otorita Batam. Namun nama yang lebih sering diasosiasikan dengan Otorita Batam adalah Bachruddin Jusuf Habibie, yang memimpin dari 1978 hingga 1998. Habibie memiliki visi lebih jauh dari sekadar pangkalan logistic, untuk memanfaatkan keunggulan letak geografi strategi Batam. Museum ini menyimpan memorabilia dari BJ Habibie, termasuk telepon dan laptop yang pernah digunakan beliau saat menjadi Ketua Otorita Batam.

Museum juga menyimpan 4 buah jam dinding merk Seiko berdiameter 50 cm, yang selama bertahun-tahun digunakan di tugu pertigaan Simpang Jam. Mungkin jam ini terlihat biasa, namun bagi warga Batam, jam ini merupakan jam bersejarah. Jam ini semula didirikan pada tahun 1991 di Simpang Jam, dan menjadi landmark Kota Batam. Tugu jam ini harus dibongkar pada tahun 2019, karena akan dibangun flyover Laluan Madani. Jam ini menjadi koleksi museum sejak 28 Oktober 2020.

 

No comments: