Wednesday, February 14, 2024

Wisata Pemakaman PD II (4): Ereveld Leuwigajah

Setelah menembus rangkaian kemacetan dari Bandung menuju Cimahi, akhirnya kami tiba di depan gerbang TPU Leuwigajah di Jl. Kerkof. Di gerbang TPU Leuwigajah, terlihat tulisan Ereveld Leuwigajah yang sudah pudar. Sempat terbersit keraguan, apakah ini benar jalan masuk menuju Ereveld Leuwigajah, mengingat secara resmi Ereveld Leuwigajah beralamat di Jl. Cibogo 16, dan tidak terlihat gerbang ereveld yang khas seperti di ereveld yang lain. Ditambah lagi, di TPU sedang ada proses pemakaman, sehingga suasana sangat ramai. Namun petugas TPU mengkonfirmasi bahwa gerbang tersebut memang jalan masuk menuju Ereveld Leuwigajah, dan membantu saya membunyikan bel untuk memanggil petugas Ereveld.

Pintu Gerbang Ereveld Leuwigajah,
tersembunyi di balik TPU Leuwigajah Cimahi

Ereveld Leuwigajah diresmikan pada 20 Desember 1949 oleh Mayor Jendral P. Alons dan Wali Negara Pasoendan Raden Temenggoeng Djoewarsa. Di antara seluruh ereveld di Indonesia, Ereveld Leuwigajah merupakan ereveld terbesar, dengan jumlah makam kurang lebih 5181. Sebelum menjadi ereveld, lahan yang saat ini menjadi lokasi Ereveld Leuwigajah sudah digunakan tentara Jepang untuk memakamkan tawanan yang meninggal di kamp konsentrasi Jepang di Cimahi. 

Sesuai informasi dari pak Sutisna, penjaga ereveld yang sudah bekerja di Leuwigajah selama 31 tahun, mereka yang dimakamkan di sini adalah mereka yang gugur selama Perang Dunia Kedua, khususnya di masa pendudukan Jepang (1941-1945) dan selama masa revolusi (1945-1949). Sebagian dari mereka adalah anggota Tentara Angkatan Darat Kerajaan Belanda (Koninklijk Landmacht) dan Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL), walaupun terdapat orang-orang sipil yang juga dimakamkan di sini. Antara tahun 1960-1970, seiring dengan perjanjian sentralisasi makam Belanda, dilakukan pemindahan makam dari ereveld lain di Indonesia, termasuk dari Muntok (1960), Padang (1962), Tarakan (1964), Medan (1966), Palembang (1967), dan Balikpapan (1967). 

Latar belakang bukit Pasir Gajahlangu dan Pasir Menteng

Jika ereveld Menteng Pulo dan ereveld Kembang Kuning dikelilingi oleh Gedung tinggi, ereveld Leuwigajah memiliki lokasi yang cukup indah, dengan latar belakang bukit Pasir Gajahlangu dan Pasir Menteng. Seluas mata memandang, yang terlihat adalah nisan berwarna putih, yang didominasi bentuk salib. Dari bentuk nisannya, dapat diketahui agama dari yang dimakamkan di tempat tersebut. apakah Kristen, Islam, Buddha, atau Yahudi (ya, di ereveld ini saya menemukan satu nisan berbentuk Bintang Daud). Jika yang bersangkutan adalah personil militer, biasanya disebutkan pangkat dan dari satuan mana yang bersangkutan berasal. Beberapa makam bertuliskan “Onbekend”, yang berarti “tidak dikenal”. Beberapa makam juga memiliki tulisan yang menjelaskan makam tersebut merupakan pindahan dari ereveld lain. Bedanya dengan di ereveld lain, nisan pemakaman muslim di Ereveld Leuwigajah menghadap ke arah yang sama dengan nisan lainnya. Setelah saya cek arah mata angin, tampaknya arah pemakaman tersebut memungkinkan jenazah mereka yang beragama Islam bisa menghadap ke kiblat dengan tetap searah dengan nisan lainnya.

Di sisi belakang Ereveld, terdapat prasasti yang didirikan untuk mengenang tenggelamnya kapal barang “Junyo Maru” milik Kekaisaran Jepang. Jika dibandingkan dengan monumen perang Laut Jawa di Ereveld Kembang Kuning, prasasti ini dapat dikatakan mungil. Namun tragedi “Junyo Maru” sendiri dapat dikatakan sebagai salah satu bencana maritime terburuk selama Perang Dunia II.

Monumen "Junyo Maru"

Kapal “Junyo Maru” digunakan untuk mengangkut tawanan perang dan romusha yang akan ditugaskan membangun rel kereta api dari Pekanbaru ke Muaro Jambi. Pada 16 September 1944, Junyo Maru bertolak dari Pelabuhan Tanjung Priok menuju Padang, membawa 2300 tawanan perang yang terdiri dari tentara Belanda, Inggris, Amerika Serikat, dan Australia, serta membawa 4200 romusha dari Jawa. 18 September 1944, saat menelusuri Pantai Barat Sumatera, tepatnya di sekitar Muko-Muko, Bengkulu, Junyo Maru diserang torpedo kapal selam HMS Tradewind milik Angkatan Laut Inggris, yang tidak mengetahui bahwa Junyo Maru membawa tawanan perang. Mereka menyerang Junyo Maru karena hanya melihat bendera Hinomaru di atas kapal, sehingga langsung bereaksi untuk menenggelamkannya. 

Dari 6500 penumpang, sebanyak 680 tawanan perang dan 200 romusha berhasil diselamatkan oleh kapal Jepang, sedangkan 5620 penumpang lainnya tewas bersama kapal yang karam. Mereka yang selamat masih harus melakukan kerja paksa membangun jaringan rel KA Pekanbaru-Muarosijinjing. Tragedi Junyo Maru ternyata bukan sekadar banyaknya korban yang tewas. Kapal tersebut juga dikenal sebagai kapal neraka, karena fasilitas di dalam kapal sangat tidak manusiawi. Menurut mereka yang selamat dari Junyo Maru, tentara Jepang sebagai pemilik kapal tidak menyediakan air minum, tidak ada sekoci, tidak ada jalur evakuasi darurat, serta tidak ada ventilasi yang layak.

Untuk mengenang peristiwa tersebut, Yayasan Stichting Junyo Maru mendirikan monument pada 21 September 1984. Monumen ini juga ditujukan untuk mengenang seluruh korban yang tewas pada pertempuran laut di Asia Tenggara antara 1942-1945. Mengapa monument ini didirikan di Cimahi? Kemungkinan besar karena pada masa pendudukan Jepang, Cimahi merupakan salah satu kamp interniran besar di Jawa, yang menampung 10.000 tahanan perang.


No comments: