Sunday, March 30, 2025

Ngabuburit di Tanamur

Jika judul di atas dibaca oleh mereka yang tinggal di Jakarta antara tahun 1970-2005, mungkin mereka akan mengernyitkan dahi dan menganggap saya sebagai orang tak berakhlak. Namun di pertengahan bulan Ramadhan 2025 Masehi, saya (beneran) ngabuburit dengan berjalan-jalan di Tanah Abang Timur (Tanamur) bersama Tour WalkIndies, sambil singgah di (bangunan bekas) diskotek ternama bernama Tanamur.


Berbicara Tanah Abang, biasanya identik dengan pasar tekstil dan stasiun KRL. Tanah Abang telah menjadi bagian dari dinamika perkembangan Batavia sejak abad 17. Tempat ini pernah menjadi pangkalan Pasukan Mataram yang menyerang Batavia di tahun 1628. Kemungkinan besar mereka yang memberi nama tempat ini Tanah Abang, melihat tanah bukit dan rawa-rawa yang dulu ada di sekitar Tanah Abang memiliki warna merah (abang dalam bahasa Jawa berarti merah).

Tahun 1733, Justinus Vinck, seorang Landdrost (setara hakim) VOC membeli tanah yang membentang dari Tanah Abang hingga Pasar Senen. Vinck kemudian mendirikan pasar, yaitu Pasar Weltevreden (sekarang menjadi Pasar Senen), serta pasar di Tanah Abang Bukit yang khusus berjualan tekstil dan hewan ternak. Untuk menghubungkan kedua pasar tersebut, Vinck membangun jalan penghubung. Salah satu jalan yang dibangun adalah Tamarindelaan (sekarang menjadi Jl Wahid Hasyim dan Jl Prapatan Kwitang). 


Di awal abad 19, Tanah Abang berkembang menjadi perkantoran dan tempat kediaman elite. Hal ini sejalan dengan lokasi Tanah Abang yang strategis, dekat dengan area Koningsplein dan Paleis van de Gouverneur Generaal. Jalan Tanah Abang West (sekarang menjadi Jl. Abdul Muis) menjadi jalan utama yang menghubungkan Batavia dengan kawasan Tanah Abang. 

Mansion Kapiten Liem Tiang Hoey

Banyak rumah-rumah mansion milik orang-orang kaya di jaman Hindia Belanda dibangun di Tanah Abang. Salah satunya adalah mansion milik Kapiten Liem Tiang Hoey di Tanah Abang Huevel (Tanah Abang Bukit), yang saat ini menjadi Kantor Bank Mandiri Jl. Fachrudin. Kapiten Liem merupakan pendiri NV Maatschappij tot Exploitatie van Tanah Abang yang mengelola puluhan rumah dan toko di sekitar Tanah Abang. Ciri yang masih terlihat adalah kubah kecil pada atap bangunan, serta ornamen semacam pinggiran teras, yang memperlihatkan ukiran xilin, binatang mitologi Tiongkok. 

Ornamen Xilin

Di balik Kantor Bank Mandiri tersebut terdapat Rumah Hati Suci. Yayasan ini didirikan oleh Ny. Lie Tjian Tjoen pada tahun 1914, sebagai rumah perlindungan bagi anak-anak perempuan yang diperjualbelikan dalam human trafficking. Selanjutnya rumah ini berkembang menjadi panti asuhan bagi anak-anak perempuan. Tahun 2014, pada peringatan 100 tahun Yayasan Hati Suci, panti asuhan Hati Suci berubah nama menjadi Rumah Hati Suci.

Kaca Patri Kuno di Rumah Hati Suci

Kami mengunjungi Rumah Hati Suci, yang saat ini menampung 40 orang anak dengan rentang umur dari SD hingga kuliah. Mereka berasal dari keluarga kurang mampu, keluarga retak, atau yatim piatu. Salah satu anak yang kami temui mengatakan bahwa hari itu adalah hari terakhir ia berada di Rumah Hati Suci, karena ia sudah lulus kuliah dan akan kembali ke rumah orang tuanya. Melihat ia membawa kopor dan keluar dari Rumah Hati Suci, ada rasa trenyuh di hati kami, semoga masa depanmu sukses ya Dik…

Tiba waktunya shalat Ashar, sehingga kami singgah di Mesjid Jami Ar-Rohah di Jl Abdul Muis. Mesjid ini didirikan pada tahun 1920, dikembangkan dari mushalla yang sudah ada pada abad ke-19. Jalan samping masjid dulu bernama Gang Comissaris, dan berdasarkan peta kuno di belakang masjid ini pernah ada kantor Commissariaat van de betrokken wijken dan Pos Polisi, namun saat ini sudah tidak bersisa.

Jalan Budi Kemuliaan juga menyimpan banyak cerita. Di masa kolonial, tempat ini dikenal dengan nama Gang Scott, yang diambil dari nama Robert Scott, pria berkebangsaan Inggris yang menjadi kepala pelabuhan di Semarang sebelum datang ke Batavia pada 1820. Ia membangun Kampung Scott pada kedua sisi jalan. Di Gang Scott pernah berdiri Gereja untuk orang-orang Armenia, yang saat ini sudah dibongkar menjadi Gedung Bank Indonesia.

RS Budi Kemuliaan

Landmark terkenal dari Gang Scott adalah RS Budi Kemuliaan. Pendiri rumah sakit ini adalah yayasan Studiefonds Voor Opleiding Van Vrouwelijke Inlandse Artsen (SOVIA), yang didirikan pada 1 September 1912 karena terinspirasi dari Tulisan RA Kartini "Habis Gelap Terbitlah Terang". Yayasan SOVIA mendirikan RS Budi Kemuliaan pada tahun 1917 yang berlokasi di Hospitaalweg No. C7, Pejambon. Baru pada tahun 1935 RS ini dipindahkan ke Gang Scott No. 25. Nama Budi Kemuliaan sendiri baru digunakan pada tahun 1955.

Bergeser ke Jl. Tanah Abang Timur, terlihat sebuah bangunan yang terbengkalai. Bangunan tersebut pada masa jayanya merupakan diskotek Tanamur (akronim dari Tanah Abang Timur) yang merupakan diskotek pertama di Indonesia. Diskotek ini didirikan pada tahun 1970 oleh Ahmad Fahmy Alhady. Fahmi mendapatkan ilham untuk membuka diskotek di Jakarta setelah ia mengunjungi diskotek di Jerman. Hal ini bersamaan dengan dibukanya peluang untuk para investor asing, di mana gemerlap dunia malam seperti kasino dan diskotek dapat menarik investor. Diskotek Tanamur terkenal hingga ke mancanegara, bahkan berbagai pesohor dunia seperti Mick Jagger, Deep Purple, Bee Gees, Mohammad Ali, Ruud Gullit, dan Chuck Norris pernah singgah di tempat ini. 

(Bekas) Diskotek Tanamur

Eksistensi Tanamur meredup sejak krisis moneter di dekade 90-an, apalagi sejak kejadian Bom Bali 2002 membuat pengunjung semakin tidak nyaman berada di klab malam . Diskotek ini resmi menyudahi gemerlapnya pada 2005. Melihat bangunan kosong tidak terurus, saya mencoba membayangkan gemerlap bangunan ini di masa jayanya, dengan ilustrasi lagu Staying Alive dari The Bee Gees yang membuat semua orang bergoyang…

Di seberang diskotek Tanamur, terdapat Jl. Tanah Abang III. Di masa lalu, jalan ini dikenal dengan nama Laan de Riemer, karena banyaknya bangunan yang menjadi milik notaris JD de Riemer, yang membeli lahan tersebut pada tahun 1884. Di antara bangunan yang ada di lahan tersebut, terdapat rumah tinggal De Riemer yang dibangun tahun 1815 oleh Gerrit Willem Casimir van Motman, Kepala Gudang VOC. Kalau menurut peta, katanya lokasi rumah De Riemer berada di sudut Laan de Riemer dan Tanah Abang West. Loh, itu kan lokasi Gedung Pelita Air Service… aku 8 tahun pernah berkantor di situ…

Katanya di lokasi ini pernah ada rumah De Riemer

Tahun 1908, ahli waris keluarga De Riemer menjual lahan Laan de Riemer kepada pemerintah Hindia Belanda, yang kemudian dijadikan kawasan perkantoran. Tahun 1930, bangunan utama rumah de Riemer diruntuhkan, dan kawasan tersebut diubah menjadi daerah hunian yang terdiri dari vila-vila besar bergaya arsitektur Art Deco hasil desain J.A. Raket. Kawasan ini dikenal sebagai Westerpark, dan beberapa bangunan tersebut masih bisa kita lihat hingga sekarang.

Vila Besar Gaya Art Deco di Westerpark (sekarang Jl Tanah Abang III)



Friday, March 28, 2025

Napak Tilas Kereta Api BOS

Panasnya kawasan kota tua di tengah bulan Ramadhan tahun 2025 tidak menyurutkan para peserta Pelesiran Tempo Doeloe Sahabat Museum yang sudah berniat ngabuburit dengan napak tilas jalur kereta yang di jaman baheula dikelola oleh BOS. Tapi omong-omong, siapa si BOS ini?

Rombongan PTD Sahabat Museum

BOS adalah Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschappij (Maskapai Angkutan Kereta Api Batavia Timur), sebuah perusahaan swasta yang menguasai jalur kereta api sepanjang 63 km yang menghubungkan Batavia dengan Krawang via Meester Cornelis dan Bekasi. Singkatan namanya sebenarnya BOS atau BOSM, namun lidah penduduk lokal mungkin menyebutnya sebagai Be-OS, sehingga lama-lama masyarakat menyebutnya sebagai BEOS.

Fasad Stasiun Jakarta Kota (Stasiun BEOS) sebelum pandemi

Napak tilas hari ini dimulai di Stasiun Jakarta Kota, yang sering disebut sebagai Stasiun BEOS. Sebenarnya nama ini salah kaprah, karena Stasiun Jakarta Kota (atau nama aslinya Stasiun Benedenstad) yang kita kenal saat ini bukan milik BOS, melainkan dibangun oleh Staatsspoorwegen (SS). Stasiun BEOS yang asli adalah Stasiun Batavia Zud, yang saat ini sudah dibongkar. Stasiun Jakarta Kota merupakan titik nol jalur kereta api di Pulau Jawa (kita bisa melihat pal titik nol-nya di Jalur 7), dan bertipe stasiun terminus (ujung) yang tidak memiliki jalur lanjutan lagi. Cirinya adalah adanya stopper atau sepur baduk di ujung rel.

Pal Titik Nol Km Rel Kereta Api di Jalur 7

Bangunan stasiun Jakarta Kota merupakan rancangan arsitek Ir. Frans Johan Louwrens Ghijsels. Ghijsels mendesain bangunan stasiun dengan gaya art deco, yang walaupun sederhana, memiliki cita rasa tinggi. Konon, Stasiun Jakarta Kota merupakan salah satu karya terbaik Ghijsels. Pembangunannya selesai pada 19 Agustus 1929 dan secara resmi digunakan pada 8 Oktober 1929. Acara peresmiannya dilakukan secara besar-besaran dalam bentuk pesta satu hari satu malam. Di jaman pendudukan Jepang, semua nama yang berbau-bau Jepang diganti, sehingga stasiun ini berganti nama menjadi Stasiun Djakarta.

Hall Stasiun Jakarta Kota dengan ciri khas lengkung Art Deco

Salah satu benda yang menarik perhatian di Stasiun Jakarta Kota adalah sebuah jam kuno di tengah peron. Jam ini sebenarnya bukan asli milik Stasiun Batavia Benedenstad, melainkan dari Stasiun Sukabumi yang dibangun tahun 1882, yang diserahkan ke Stasiun Jakarta Kota pada tahun 2009. Jam antik ini diperkirakan dibuat pada tahun 1881, dan diduga diimpor oleh FM Ohlenroth, sebuah toko jam mewah di Hindia Belanda.

Jam Antik Stasiun Jakarta Kota

Dari Stasiun Jakarta Kota, napak tilas berlanjut dengan KRL menuju Stasiun Senen, transit di Kampung Bandan. Kami nyaris ketinggalan kereta transit, karena terlalu asyik ngobrol di peron atas! Hahaha… tenang, masih ada KRL yang akan lewat. Karena KRL yang kami naiki ternyata tidak berhenti di Senen, kami harus turun di stasiun Gang Sentiong, untuk kemudian naik KRL arah balik dan turun di Stasiun Pasar Senen.

Stasiun Pasar Senen, sesuai namanya, didirikan untuk mendukung pengembangan Pasar Senen, pasar tertua di Batavia yang didirikan pada tahun 1733. BOS membuka Stasiun Pasar Senen pada 31 Maret 1887 sebagai sebuah perhentian kecil. Lokasinya bukan di stasiun yang sekarang, melainkan di sekitar Gelanggang Remaja Jakarta Pusat. Pembukaan stasiun ini bersamaan dengan pembukaan jalur kereta api Batavia—Bekasi. Jalur ini kemudian dibeli oleh SS pada tahun 1898 karena utang BOS yang membengkak.

Fasad Stasiun Pasar Senen

Seiring peningkatan arus penumpang, Stasiun Pasar Senen kemudian dipindahkan dan dibangun ulang pada tahun 1916, di lokasi yang sekarang. Bangunan stasiun generasi pertama yang dibangun BOS kemudian dialihfungsikan menjadi gudang, sebelum dibongkar untuk pembangunan Gelanggang Remaja Jakarta Pusat.

Rombongan Sahabat Museum di Peron Stasiun Pasar Senen

Bangunan Stasiun Pasar Senen yang sekarang kita kenal diresmikan pada tanggal 19 Maret 1925, bertepatan dengan 50 tahun SS pada 6 April 1925, sekaligus untuk menyambut layanan baru SS yaitu elektrifikasi jalur Tanjung Priok-Meester Cornelis, yang menjadi cikal bakal KRL yang kita kenal sekarang. Bangunan ini dirancang oleh arsitek Johan van Gendt, dengan gaya arsitektur Neo-Indische.

Kanan: Dekorasi khas Art Deco di Stasiun Pasar Senen
Kiri: Terowongan Stasiun Pasar Senen

Stasiun Pasar Senen dirancang sebagai stasiun pulau, dan merupakan stasiun pertama yang memiliki terowongan untuk lalu lintas penumpang yang masih berfungsi sampai saat ini. Di sisi peron penumpang kereta api jarak jauh, kita bisa melihat tiang bergaya art deco yang terbuat dari logam, yang diduga digunakan untuk meletakkan lampu. Posisi tiang yang berada di dekat terowongan membuka dugaan lampu di tiang tersebut berfungsi untuk menerangi terowongan tempat lalu lalang penumpang.

Puas melihat-lihat Stasiun Pasar Senen, rombongan melanjutkan perjalanan menuju pemberhentian terakhir di Stasiun Jatinegara. Karena KRL arah Jatinegara tidak berhenti di Stasiun Pasar Senen, kami harus naik KRL ke Stasiun Kemayoran, baru berpindah ke KRL arah Jatinegara. Melewati stasiun Pondok Jati yang berlokasi di sekitar Palmeriam, teringatlah kisah Gang Solitude, sebuah lokasi yang terkait dengan Perang Napoleon di Jawa (silakan lihat di sini).

Tampak Depan Stasiun Jatinegara

Dan akhirnya, tibalah kami di Stasiun Jatinegara. Stasiun Jatinegara ini aslinya adalah Stasiun Meester Cornelis yang dibangun SS dan mulai beroperasi pada 15 Oktober 1909. Sedangkan Stasiun Meester Cornelis milik BOS dibangun pada 1887 dan mulai beroperasi pada 31 Maret 1887, bersamaan dengan pembukaan jaringan kereta api Batavia-Meester Cornelis-Bekasi pada 31 Maret 1887. Karena menghadapi masalah keuangan, tahun 1889 jaringan rel Batavia-Bekasi dibeli oleh SS, termasuk Stasiun Meester Cornelis BOS. Lokasi Stasiun Meester Cornelis BOS terletak di dekat Depo Jatinegara saat ini.

Atap Ciri Khas Stasiun Jatinegara

Bangunan Stasiun Jatinegara dirancang oleh arsitek Ir. Simon Snuyf. Gaya arsitekturnya merupakan perpaduan antara Indische Empire dan kolonial modern. Ciri khas dari bangunan Stasiun Jatinegara adalah atap yang sangat miring, menyerupai gaya bangunan di Belanda. Di puncak bangunan terdapat menara yang berfungsi seperti mercusuar serta untuk penerang ruangan. Saat ini bangunan lama Stasiun Jatinegara masih dipertahankan, sementara di bagian belakang stasiun sudah berdiri bangunan baru yang lebih modern yang mampu menampung penumpang lebih banyak.

Rombongan Sahabat Museum di Stasiun Jatinegara

Gara-gara sempat mampir ke Stasiun Pasar Senen dan Stasiun Jatinegara, jadi pengen naik kereta api ke luar kota. Jadi, kapan kita naik kereta api ke Surabaya?

Perang Napoleon di Jatinegara

Tahukah Anda, Jatinegara pernah menjadi saksi berbagai pertempuran, termasuk Perang Napoleon? Mungkin tidak banyak yang sadar, dampak Perang Napoleon ternyata sampai juga ke Nusantara, bersamaan dengan masuknya Inggris untuk menguasai Nusantara. Ini tidak lepas dari pergolakan politik di Eropa. 

Berawal di tahun 1810 ketika Belanda takluk dari Perancis, sehingga seluruh daerah kekuasaannya diambil Perancis, termasuk Hindia Belanda. Inggris yang berupaya mengurangi kendali Prancis atas Hindia Belanda mengirimkan ekspedisi militer di pertengahan 1811 di bawah pimpinan Letnan Jenderal Sir Samuel Auchmuty. Jumlahnya luar biasa, mencapai 12.000 tentara dan 100 kapal, termasuk 4 kapal perang, 14 kapal pengawal, 7 kapal penjaga, dan 8 kapal penjelajah East Indian Company. Sejarah mencatat ekspedisi ini menjadi ekspedisi militer laut terbesar sebelum Perang Dunia Kedua.

Minggu, 4 Agustus 1811, konvoi militer ini tiba di Teluk Batavia, kemudian masuk ke Batavia melalui pantai Cilincing. Pada tanggal 10 Agustus 1811, pasukan Inggris telah menguasai benteng di Weltevreden. Pasukan Inggris kemudian bergerak ke arah kamp militer pasukan Prancis di Meester Cornelis. Kamp ini dilindungi benteng pertahanan di pinggir anak Ciliwung, yang dikenal sebagai The Slokan. Pada akhirnya, kamp militer ini berhasil dikuasai. Kekuasaan Prancis di Nusantara berakhir setelah Kapitulasi Tuntang pada 16 September 1811 yang menandai penyerahan kekuasaan dari Prancis ke Inggris.

Stasiun Jatinegara, pernah jadi Stasiun Meester Cornelis
atau Stasiun Rawa Bangke

Pertempuan antara Inggris dan Prancis di Meester Cornelis meninggalkan beberapa penanda. Di antaranya adalah daerah yang bernama Rawa Bunga. Konon di kawasan ini dulu banyak mayat korban pertempuran serdadu Inggris dan Perancis, sehingga awalnya dinamakan Rawa Bangke. Di dekat Rawa Bangke inilah berdirinya Stasiun Meester Cornelis yang sekarang kita kenal sebagai Stasiun Jatinegara.

Anak Sungai Ciliwung (The Slokan)di Jl. KH Ahmad Dahlan - Palmeriam
pernah jadi bagian benteng pertahanan pasukan Prancis

Selain itu, ada sebuah tempat yang dikenal warga lokal Palmeriam sebagai Gang Solitude, yang saat ini menjadi Jl. KH Ahmad Dahlan. Tempat ini merupakan bagian dari benteng pertahanan kamp militer Perancis pada awal abad 19. Solitude sendiri bermakna “hening”. Konon nama ini berasal dari situasi ketika ada gudang mesiu yang meledak, di mana setelah ledakan itu terjadi keheningan yang luar biasa.

Suasana Gang Solitude di Era Millenials

Pada tahun 1820, kamp militer Meester Cornelis berubah fungsi menjadi penjara. Setelah kembali ke tangan pemerintah kolonial Hindia Belanda, kamp militer Meester Cornelis tetap digunakan sebagai kamp militer. Kamp militer ini dilengkapi kompleks perumahan dinas perwira Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL) yang dikenal sebagai Generaal Staallaan. Rumah-rumah di kompleks tersebut memiliki gaya Indisch yang dipadu ornamen ala Betawi dan Jawa.

Roemah Djatinegara, salah satu peninggalan
General Staallaan

Selain para perwira KNIL yang umumnya berkebangsaan Belanda yang menempati kompleks tersebut, terdapat satu perwira KNIL pribumi berpangkat Kapten yang menempati salah satu rumah dinas. Beliau adalah Oerip Soemohardjo, yang menempati rumah dinas di kompleks ini antara tahun 1928-1933. Oerip Soemohardjo adalah Kepala Staf Umum TKR pertama di tahun 1945. Dulu beliau menempati rumah dinas di Generaal Staallaan nomor 17. Saat ini rumah tersebut menjadi sekolah karate.

Rombongan Sahabat Museum di salah satu rumah Generaal Staallaan

Jatinegara juga menjadi saksi pertempuran mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sejarah mencatat sejak November 1945-Januari 1946, kerap terjadi pertempuran besar antara pemuda Indonesia melawan serdadu Inggris/Belanda di sepanjang jalur Pasar Senen-Kramat Raya-Meester Cornelis (Jatinegara). Puncaknya terjadi ketika para serdadu Inggris/Belanda di awal Jamuari 1946 datang dari arah Senen menyerbu ke Jatinegara. Para pemuda Republik dari berbagai etnis (Betawi, Tionghoa, Sunda, Jawa, Batak, Minahasa, Ambon dll) sudah melakukan penghadangan di sekitar Stasiun Rawabangke dan di bawah viaduct Jatinegara. Pertempuran pun berlangsung hebat dan menimbulkan korban di kedua pihak.

Patung Perjuangan Jatinegara
di depan Gereja Koinonia

Peristiwa ini diabadikan dalam sebuah monumen di depan gereja Koinonia, yang diresmikan pada 7 Juni 1982. Patung tersebut menggambarkan 2 orang pejuang, yang merupakan ayah dan anak. Mereka tergabung dalam  laskar KRIS (Kebaktian Rakjat Indonesia Soelawesi) yang aktif di wilayah Jakarta pada 1945-1946. Sang bapak bernama Martinus Runtunuwu, sedangkan patung anak menggambarkan putra bungsunya yang bernama Bernard. Dalam usia masih sangat muda (13 tahun), Bernard sudah ikut bersama ayahnya dalam pertempuran di Stasiun Rawa Bangke dan Viaduct, kendati hanya bersenjata sebuah katapel. Dikisahkan, Bernard Runtunuwu kemudian ikut bersama satu regu pasukan KRIS pimpinan Decky Pontoan, yang bertugas mempertahankan front Karawang.  Pada pertengahan Februari 1946, Bernard gugur di Rawa Buaya saat pasukannya harus berhadapan dengan satu unit tentara Belanda.