Thursday, May 31, 2018

Sad Stories of Ayutthaya

Siang itu Mr. Pattarakeat Phaniert atau Pak Oat (seharusnya kami memanggilnya Mr. Oat, tapi kami lebih suka menyapanya dengan panggilan "Pak"), guide yang mendampingi kami selama di Thailand, mengarahkan mobil memasuki kawasan Ayutthaya Historical Park yang merupakan reruntuhan kota lama Ayutthaya. Sekilas kawasan ini menyerupai Trowulan, namun dengan densitas sisa bangunan candi yang lebih rapat. Ke mana pun arah mata memandang, terlihat sisa bangunan candi di mana-mana. Tidak mengherankan, karena tidak kurang dari 3000 candi terdapat di Ayutthaya.


Ayutthata, atau lengkapnya Phra Nakhon Si Ayutthaya, adalah ibukota Provinsi Ayutthaya. Kota ini semula merupakan ibukota Kerajaan Ayutthaya di Siam, yang didirikan oleh Raja Ramathibodi I (Uthong) pada tahun 1350 saat mengalahkan dinasti kerajaan Sukhothai. Nama Ayutthaya diambil dari kata Ayodhya, nama kerajaan yang dipimpin oleh Sri Rama dalam kisah Ramayana. Wilayah yang digunakan sebagai ibukota merupakan wilayah yang dikelilingi 3 buah sungai, salah satunya adalah Chao Phraya, sehingga sangat subur.

Kerajaan Ayutthaya hampir tak pernah lepas dari kisah pertumpahan darah, baik perebutan wilayah oleh kerajaan tetangga, maupun perebutan kekuasaan antar dinasti. Seperti di tahun 1569, kota Ayutthaya dikuasai oleh Burma. Masa kedamaian diperoleh saat Ayutthaya mencapai masa keemasannya di perempat kedua abad ke-18. Di tahun 1715, Ayutthaya kembali berperang melawan dinasti Nguyen dari Vietnam Selatan untuk memperebutkan kekuasaan atas Kamboja. Pada tahun 1765, wilayah Ayutthaya diserang oleh pasukan Burma yang dipimpin Raja Alaungpaya, dan pada tahun 1767 Ayutthaya menyerah dan dibumihanguskan, sebelum ditinggalkan dalam keadaan hancur, menyebabkan berakhirnya kerajaan Ayutthaya yang sudah diperintah oleh 35 raja.

Reruntuhan di Ayutthaya dimulai sejak tahun 1969 oleh Departemen Seni Rupa. Upaya renovasi ini menjadi lebih serius setelah lokasi ini dinyatakan sebagai Historical Park di tahun 1976. Sebagian dari Historical Park di Ayutthaya kemudian dinyatakan sebagai UNESCO World Heritage Site pada tahun 1991.


WAT PHRA SI SANPHET 
Pertama kali Pak Oat mengajak kami ke Wat Phra Si Sanphet, atau “Temple of the Holy, Splendid Omniscient”. Candi ini semula merupakan tempat paling suci di Istana Raja di Ayutthaya dan secara eksklusif digunakan sebagai tempat ibadah raja-raja Ayutthaya, sebelum dibumihanguskan oleh tentara Burma pada tahun 1767, bersamaan dengan kehancuran kota Ayutthaya. Candi ini merupakan candi terbesar dan tercantik di Ayutthaya, dan arsitekturnya menjadi inspirasi yang ditiru oleh Wat Phra Kaeo (Temple of Emerald Buddha) yang berlokasi di Grand Palace Bangkok.


Lokasi tempat berdirinya Wat Phra Si Sanphet semula merupakan tempat istana raja yang didirikan oleh Raja Uthong pada tahun 1350. Ketika istana tersebut dipindahkan ke lokasi baru pada tahun 1448 oleh Raja Boroma-Tri-Loka-Nat, tempat ini kemudian dijadikan tempat ibadah bagi keluarga kerajaan, sekaligus tempat diselenggarakanya upacara-upacara keagamaan kerajaan.


Ciri khas dari candi ini adalah 3 buah stupa besar (chedi) bergaya arsitektur Ceylon. Ketiga stupa ini dibangun pada masa yang berbeda-beda. Stupa di sisi timur dan di tengah dibangun oleh Raja Ramathibodi II pada tahun 1492 untuk menyimpan abu Raja Boroma-Tri-Loka-Nat dan Raja Boroma-Rachathirat III, sedangkan stupa di sisi barat dibangun pada tahun 1592 oleh Raja Borommaracha IV untuk menyimpan abu Raja Ramathibodi II.Stupa-stupa yang kami lihat hari ini merupakan hasil pemugaran pada tahun 1956.


Pak Oat juga menambahkan bahwa Wat Phra Si Sanphet merupakan salah satu tempat paling berhantu di Thailand, dan bahkan mendapat gelar sebagai 6th most haunted place di Asia. Konon di tempat ini pernah terjadi pembantaian besar-besaran oleh tentara kerajaan Burma, dan sebagian penduduk Ayutthaya masih sering melihat hantu para penduduk yang dibunuh pada peristiwa tersebut, gentayangan di sekitar reruntuhan. Mendengar cerita Pak Oat, mau tak mau bulu kuduk kami pun berdiri, membayangkan betapa menyeramkan suasana pada saat itu.


WAT MAHA THAT 
Pak Oat kemudian membawa kami ke Wat Phra Sri Rattana Mahathat, atau lebih dikenal sebagai Wat Maha That (Temple of the Great Relic). Candi ini didirikan pada tahun 1374 oleh Raja Borommaracha I (Somdet Phra Borommarachathirat) dan Phra Mahathera Thammakanlayan, dan diselesaikan pada tahun 1384 oleh Raja Ramesuan. Pada masa kejayaan Ayutthaya, Wat Maha That menjadi salah satu candi penting, karena merupakan pusat ibadah dan menyimpan relic sang Buddha.


Berbeda dengan Wat Phra Si Sanphet yang memiliki stupa bergaya arsitektur Ceylon, bangunan pada kompleks candi Wat Maha That memiliki gaya arsitektur Khmer. Candi ini memiliki prang (menara) utama dengan gaya arsitektur Khmer setinggi 46 meter. Bahan baku pembangunan candi adalah laterite dan batu bata, yang diperkuat stuko (semen putih yang terdiri dari campuran abu bakaran kayu, getah pohon dan serbuk kerang). Pagoda tersebut pernah runtuh di masa pemerintahan Raja Songtham di tahun 1610, dan kemudian direnovasi pada tahun 1633 pada masa pemerintahan Raja Prasat Thong naik tahta. Ketika Ayutthaya hancur pada tahun 1767, prang utama ini tetap bertahan, sebelum runtuh di tahun 1904. Prang yang saat ini ada merupakan hasil restorasi.


Namun atraksi utama dari Wat Maha That adalah kepala arca Buddha yang dibelit akar pohon beringin, seolah “terjebak” di batang pohon tersebut. Ekspresi wajah arca yang terlihat teduh ini meninggalkan kesan mendalam bagi yang melihat. Pak Oat mengatakan bahwa kemungkinan besar kepala arca ini berasal dari arca Buddha yang dipenggal oleh para pencuri yang mencari harta karun di reruntuhan candi, namun tertinggal di halaman candi. Seiring berjalannya waktu, pohon yang berada di dekat kepala arca tersebut tumbuh dan sulur-sulurnya membelit arca, menghasilkan posisi yang kita lihat sekarang. Saat kami akan berfoto, Pak Oat mengingatkan agar kami berfoto dalam posisi berlutut/berjongkok, untuk menghormati arca tersebut.


Saat menjelaskan tentang prang utama yang ada di candi ini, Pak Oat berbagi kisah-kisah misteri yang terjadi di Wat Maha That. Pada saat penggalian di tahun 1956, pernah tercium aroma cendana dari reruntuhan candi, dan tidak lama kemudian ditemukan relik dan barang berharga yang semula disimpan di candi ini. Kisah lain yang tak kalah seru adalah ketika terjadi penjarahan di prang utama candi pada tahun 1991, dari 20 orang pencuri yang melakukan penjarahan, 11 orang di antaranya mati misterius. Kejadian ini ditambah dengan terbakarnya 7 toko emas yang menjadi penadah benda-benda yang dicuri. Pada akhirnya sisa pencuri yang menjarah candi ini kemudian menyerah kepada pihak berwajib. Sungguh merupakan pelajaran berharga agar kita tidak melakukan hal-hal yang tidak baik, khususnya pada rumah ibadah.


WAT CHAIWATTHANARAM 
Setelah makan siang, kami mengunjungi Wat Chaiwatthanaram (“Temple of Long Reign and Glorious Era) yang terletak di sisi barat Sungai Chao Phraya. Lokasi candi ini berada di luar “pulau” Ayutthaya, dan walaupun memiliki kompleks yang besar, candi ini bukan merupakan bagian dari Historic City of Ayutthaya yang berstatus UNESCO World Heritage Site.


Candi dengan gaya arsitektur Khmer ini didirikan pada tahun 1630 oleh Raja Prasat Thong sebagai tempat pelaksanaan upacara keagamaan, seperti upacara kremasi keluarga kerajaan. Candi ini sempat digunakan sebagai perkemahan tentara pada masa perang dengan kerajaan Myanmar di tahun 1767. Setelah kehancuran Ayutthaya, Wat Chaiwatthanaram ditinggalkan oleh penghuninya, dan perlahan-lahan turut mengalami kehancuran.


Dengan gaya arsitektur dan bangunan yang berbeda daripada candi-candi lain di Ayutthaya, Wat Chaiwatthanaram dianggap merupakan salah satu candi tercantik di masa kejayaan Ayutthaya. Struktur bangunan Wat Chaiwatthanaram didesain untuk merefleksikan cara pandang Sang Buddha terhadap dunia. Candi utama (Prang Prathan) setinggi 35 meter merupakan symbol Gunung Meru (Khao Phra Sumen) atau pusat dunia. Di sekelilingnya terdapat 4 prang kecil yang melambangkan empat penjuru mata angin. Pondasi persegi panjang yang melandasi menara-menara ini merupakan dunia, sedangkan lorong persegi panjang yang membatasi sisi luar pondasi merupakan perbatasan dunia. Di sepanjang dinding lorong terdapat 120 arca Buddha dalam posisi duduk, dan seluruh arca tersebut menghadap ke arah Prang Prathan. Arca yang terdapat di dalam bangunan sudut merupakan Buddha yang diberi mahkota, sebagai lambing perwujudan raja.


Titik pusat candi dikelilingi oleh delapan buah chedi yang memiliki lukisan di dinding dalam. Sedangkan di dinding luar terdapat 12 relief yang menceritakan kisah hidup Sang Buddha, namun hanya sebagian dari lukisan dan relief tersebut yang bertahan. Ketika Pak Oat menjelaskan tentang keberadaan lukisan dan relief ini, Pak Oat sempat menyatakan bahwa ia ingin pergi ke Borobudur. Ah, saya baru menyadari, barangkali bagi para penganut agama Buddha, pergi ke Borobudur memiliki nilai relijius yang berharga, seperti halnya ketika umat Muslim akan pergi umroh ke Baitullah…


Tak lupa Pak Oat menyampaikan kisah pilu sebuah tragedi yang terkait dengan Wat Chaiwatthanaram. Raja Borommarachathirat III, atau lebih dikenal sebagai Raja Borommakot, memerintah di Ayutthaya antara tahun 1733-1758. Walaupun masa pemerintahannya berjalan dengan damai, Raja Borommakot dikenal sebagai raja yang kejam. Raja Borommakot memperoleh tahtanya pada tahun 1732 dengan merebutnya dari Pangeran Aphai dan Pangeran Paramet, dua orang putra raja Thai Sa yang saat itu merupakan raja Ayutthaya. Tahun 1741, Raja Borommakot mengangkat Pangeran Thanmathibet sebagai putra mahkota. Namun Thanmathibet berselingkuh dengan Putri Sangwal dan Putri Nim, keduanya selir Raja Borommakot. Kisah cinta segitiga ini tertangkap basah pada tahun 1746, dan ketiga orang pelakunya mendapat hukuman cambuk. Pangeran Thanmathibet mendapat 120 cambukan, sementara kedua selir mendapat masing-masing 30 cambukan. Pangeran Thanmathibet meninggal saat sedang menjalani hukuman, dan Putri Sangwal wafat tiga hari kemudian. Putri Nim tetap hidup, namun diusir dari istana. Setelah upacara kremasi Pangeran Thanmathibet, Raja Borommakot menginstruksikan untuk membuat pagoda (Chedi) di Wat Chaiwatthanaram untuk menyimpan abu Pangeran Thanmathibet. Konon penduduk setempat masih sering mendengar suara isak tangis di dekat prang yang menyimpan abu Pangeran Thanmathibet.

No comments: