Friday, May 25, 2018

Terpampang di Deswita Pampang

Pampang. Nama ini pertama kali muncul di awal Februari dalam sebuah email dari Mas Yitno, salah satu penggiat Desa Wisata (Deswita) Pampang, yang mengajak saya mengisi sesi tentang travel writing di Pampang. Sulit menolak tawaran ini, dan setelah sedikit melakukan “akrobat” pada jadwal kegiatan saya, saya memutuskan untuk mengiyakan ajakan beliau.

Disambut hujan di Bandara Adisucipto
 Hasil pencarian tentang Pampang di “mbah “ Google ternyata kurang memuaskan, dan baru setelah kopi darat dengan Mas Yitno di bandara Adisucipto saya mendapat pencerahan mengenai latar belakang Deswita Pampang. Dibandingkan deswita lain di Provinsi DIY, Pampang bisa dikatakan masih “bayi”, karena SK sebagai deswita baru diperoleh pada tahun 2017, walaupun Pampang sebenarnya sudah dikenal sebagai sentra kerajinan perak di Gunungkidul. Daya tarik yang ditawarkan Pampang adalah river tubing di Kedungdowo serta konservasi burung. Kenapa konservasi burung? Menurut Mas Yitno, masih lekat dalam ingatannya, di masa kecilnya setiap pagi Desa Pampang penuh dengan cuitan burung, dan makin lama cuitan tersebut makin menghilang. Masyarakat Desa Pampang ingin mengembalikan cuitan tersebut lagi, dan mereka mulai membeli burung-burung endemic dari pasar burung di sekitar Pampang, untuk dilepaskan dan dikonservasi di kawasan desa. Tak hanya melepaskan burung, warga juga dilarang berburu burung, serta dengan kesadarannya telah menanam berbagai pohon sebagai cadangan makanan burung.

River Tubing, Wisata Andalan Deswita Pampang
Perjalanan dari Yogya ke Pampang cukup memakan waktu, ditambah kami sempat mampir ke Embung Nglanggeran untuk menyaksikan sunset. Sepanjang perjalanan rasanya gemas melihat banyak spot-spot wisata menarik. Sayang waktu kami terbatas dan hari sudah semakin gelap, takut kemalaman juga sampai di Pampang. Barangkali kalau dibuat bucket list, daftar tempat wisata di DIY tidak akan cukup mengisi 1 ember cuci berukuran besar… perlu 2 sampai 3 ember tampaknya.

Sunset di Atas Awan, Dilihat Dari Tepi Embung Nglanggeran
Embung Nglanggeran sendiri sebenarnya tidak didesain khusus sebagai sunset spot. Tempat ini sejatinya adalah agrowisata duren, di mana ketika pohon duren bertumbuh besar, wisatawan bisa hadir untuk makan duren sambil menikmati panorama dari ketinggian. Embung (waduk kecil) Nglanggeran sendiri dibangun sebenarnya sebagai sarana irigasi untuk perkebunan duren, namun posisinya yang strategis membuatnya menjadi salah satu sunset spot yang cantik. Saya yang terbiasa mengejar sunset di pantai atau di perkotaan, kali ini berkesempatan melihat sunset di “negeri atas awan”. Sayang sekali, hari ini sunsetnya tidak bisa maksimal, dengan banyaknya awan-awan yang menggantung. Tapi gak pa-pa, lain kali saya harus kembali ke sini!

Memandang Sunset Dari Seberang Embung Nglanggeran
Setelah semalam beristirahat di homestay milik pakde-nya Mas Yitno, pagi-pagi saya berkesempatan menjelajah ke tempat river tubing dan jalan setapak di sekitarnya. Melihat sungainya yang penuh berisi air dan arusnya cukup tenang, rasanya pengen langsung nyebur, hahaha! River tubing ini diberi nama “Bendowo”, yang berasal dari kata “Bendungan” (di tempat river tubing ini terdapat bendungan kecil untuk menahan debit alir) dan nama dusun “Kedung Dowo” tempat sungai ini mengalir. Anyway, nama “Bendowo” ini justru punya makna lain bagi saya: mugi-mugi deswita Pampang “ben dowo” umure (mudah-mudahan deswita Pampang biar panjang umurnya…).



Suasana Kedung Dowo
Sebelum acara dimulai, di homestay saya bertemu mas Hannif, blogger yang mengasuh website insanwisata.com. Mas Hannif hadir di acara ini atas prakarsa mas Zul, rekan mas Yitno yang juga pelaku aktif dalam dunia pariwisata. Yang menarik, Mas Yitno dan kawan-kawan mengundang saya dan mas Hannif secara terpisah, padahal mas Hannif dan saya sudah berteman di Instagram selama beberapa tahun, semenjak saya ikut kompetisi blog tentang Wisata Sleman. Akhirnya kopdar juga ya… Selain mas Hannif, hadir juga mbak Mumun yang merupakan half of Indohoy. Sayang mbak Mumun nggak bisa berlama-lama sampai acara selesai, tepat sebelum makan siang dirinya harus sudah kembali ke Yogyakarta.



Suasana Kelas
Acara sharing session dibuka oleh Pak Iswandi sang kepala desa, sebelum saya memulai presentasi pertama. Walaupun sudah sering presentasi di kantor, yho ndredhek juga je… Mudah-mudahan audience faham apa yang saya sampaikan, soalnya saya merasa ngebut dot com pada saat penyampaian. Presentasi berikutnya disampakan mas Hannif, dan ternyata materinya rodho lumayan nyambung (Alhamdulillah…). Setelah sesi makan siang ditemani sepoi-sepoi angin dan segarnya aroma kali Bendowo, presentasi dilanjutkan dengan materi terakhir dari pak Eko Sugiarto yang membawakan materi terkait penulisan. Acara hari itu diakhiri dengan foto bersama (yang nggak selesai-selesai), sebelum saya harus berpamitan dengan semua teman-teman baru saya di Pampang untuk kembali ke Yogyakarta.

Suasana di Tepi Kali Bendowo

Foto Bersama (yang nyaris tidak berakhir...)
Dalam perjalanan kembali ke Yogyakarta, mas Yitno, mas Hannif dan mas Zul menyempatkan diri memampirkan saya ke Griya Cokelat Nglanggeran. Sebenarnya toko ini tutup pada pukul 16.00, namun karena sempat ditelpon oleh mas Yitno dkk, mereka merelakan diri buka untuk menunggu saya berbelanja, maaph ya… Tapi nggak sia-sia mereka menanti saya, karena begitu mencoba tester minumannya, wauw… rasa coklatnya nendang pake banget! Produk unggulan mereka adalah minuman serbuk Chocomix dan Chocomix Original. Jika Chocomix menggunakan komposisi gula-coklat standar, maka Chocomix Original memiliki kandungan cokklat lebih banyak. Tidak terlalu pahit seperti dark coklat, tapi coklatnya lebih nendang rasanya. Coklat yang dijual di tempat ini berasal dari pohon-pohon coklat yang ditanam warga Desa Wisata Nglanggeran. Saya bisa membayangkan mereka buka cabang di atas Embung Nglanggeran, romantis rasanya melihat sunset sambil menikmati coklat…


Inilah Coklat Asli Gunungkidul
Salah satu hal yang sangat berkesan dalam kunjungan ke Pampang adalah saya berkesempatan mencicipi sayur lombok ijo fresh from the kitchen. Adalah ibunda Mas Yitno yang membuat hal ini menjadi kenyataan. Bukan hanya karena sayur lombok ijonya enak dan segar (dan saya berkesempatan makan bukan hanya sekali, tapi dua kali…), tapi sayur lombok ijo ini mengingatkan saya pada almarhum ayah saya, yang bercita-cita ingin makan nasi merah dengan sayur lombok ijo khas Gunungkidul, dan sempat meminta kami mencari informasi tentang resto yang menjual sayur lombok ijo di Wonosari. Nuwun sewu ya Pak, lah kok malah jadinya saya yang makan sayur lombok ijo… langsung dari dapur pula…

Yang Mana Sayur Lombok Ijo-nya?

No comments: